PERJODOHAN

729 Words
"Koe gelem to le, Ibuk jodohkan sama Alika? (Kamu mau kan le, Ibuk jodohkan sama Alika?)" tanya seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di sofa sebuah rumah mewah lalu kembali menyesap teh hangat yang sejak tadi menemaninya di malam ini. “Alika?” tanya seorang pria berumur tiga puluh tahun yang sedang duduk di samping ibunya tersebut. “Iyo. Alika Prihapsari Soetedjo, anak-e pakdhe Hendra. (Iya. Alika Prihapsari Soetedjo, anaknya paman Hendra)” ujar sang ibu. “Bapakmu yo wes setuju kok. (Bapak kamu juga udah setuju kok)” ucapnya kembali seraya melirik pria paruh baya yang duduk di single sofa sedang menatap pertandingan bola di layar televisi sedangkan pria yang sedang ditanyakan olehnya hanya bisa menghela nafas dengan perlahan. “Kulo penggalih rumiyin nggih, Buk ... (Aku pikirkan dulu ya, Buk)” ucap Bimo seraya tersenyum dengan lembut. “Ora usah dipikir, kesuen le mu mikir le, gek ndang dirabeni wae. (Nggak usah dipikir, kelamaan kamu mikirnya le, langsung nikahin aja). Kamu itu udah tiga puluh tahun lho. Kapan ibuk bisa gendong cucu?” tanya sang ibu yang bernama Lastriana Kusuma Rahardjo kepada putra semata wayang nya yang bernama Bimo Satria Rahardjo, putra semata wayang keluarga Rahardjo. “Alika juga belum tentu mau nerima perjodohan ini to, Buk ... ,” jawab Bimo. Pria itu mencoba memberi pengertian terhadap wanita yang sangat ia cintai selama ini. “Dia pasti mau, percaya sama Ibuk,” ucap Lastriana kembali dengan percaya diri, hal yang menurun kepada sang putra. Prasetyo Adi Rahardjo, pria yang menjadi kepala keluarga Rahardjo tersebut segera menoleh ke arah sang istri yang terlihat begitu memaksakan keinginannya. “Sudah, Buk ... Biar Bimo berpikir dulu ... ,” ucap Prasetyo seraya mengusap punggung tangan sang istri. “Pokoknya Ibuk cuma mau Alika yang jadi mantu Ibuk, titik!” ucap Lastriana lalu bangkit dari duduk nya, meninggalkan dua pria berbadan tegap di ruang keluarga tersebut. Bimo dan Prasetyo hanya bisa memandangi wanita yang mereka cintai melenggang pergi meninggalkan ruang keluarga tersebut. “Ibukmu itu, keras kepalanya nggak ilang-ilang!” ucap Prasetyo sedikit jengkel membuat Bimo menoleh. “Tapi bapak cinta, kan?” goda Bimo yang membuat sang ayah terkekeh. Itulah sisi Bimo Satria Rahardjo yang begitu kalem dan ramah ketika berhadapan dengan keluarganya, berbeda seratus delapan puluh derajat ketika ia sedang berhadapan dengan orang lain. *** “Ha? Coba ulangin sekali lagi, Pa,” ucap Alika seraya mengusap kasar kedua telinganya sedangkan pria paruh baya yang bernama Mahendra Setyo Soetedjo itu hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan sang putri semata wayang nya tersebut. “Papa mau ngejodohin kamu sama Bimo, anaknya Tante Lastriana.” Alika kembali menatap sang ayah yang masih tenang menyantap sarapan nya pagi ini. “Yang bener aja, Pa?” ucap Alika dengan lesu. “Ya emang bener. Papa udah ngerencanain hal ini semenjak kamu bilang nggak mau nikah,” ucap Mahendra lalu melanjutkan kegiatannya menyantap sarapan pagi itu tanpa mempedulikan wajah sang putri yang sudah memerah menahan emosi. “Papa kan tau alasan aku nggak mau nikah!” ketus Alika seraya melempar roti selainya ke atas piring, hal tersebut membuat Mahendra menghentikan kegiatannya lalu menatap ke arah sang putri. “Terus kamu mau nolak perjodohan ini?” tanya Mahendra dengan tenang seraya menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi. “Ya iyalah, Pa!” jawab Alika seadanya seraya melipat kedua tangannya di depan d**a. “Ya udah, coba kamu ngomong sama Bimo, soalnya dia udah nerima perjodohan ini, bahkan dia udah cetak undangan pernikahan kalian.” “Uhuk uhuk.” Alika tersedak oleh salivanya sendiri kala mendengar perkataan sang ayah. “Un-undangan?” tanya Alika dengan tatapan bingung. “Pernikahan?” tanyanya kembali yang diangguki oleh Mahendra. “Maksudnya gimana, Pa?” “Ya Bimo udah setuju buat nerima perjodohan ini, terus dia juga udah cetak undangan pernikahan kalian,” ucap Mahendra kelewat santai sedangkan telinga Alika sudah memerah karena amarah nya. “Sejak kapan aku setuju buat nerima perjodohan ini sampai dia bisa cetak undangan seenak jidatnya?!” Emosi Alika sudah berada di ubun-ubun, segera saja ia bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan meja makan, Mahendra yang melihat hal itu hanya bisa mengendikkan kedua bahunya lalu kembali melanjutkan sarapannya, dalam pikirannya toh putri semata wayang nya itu tidak akan bisa menolah perjodohan tersebut, bahkan akan terkesan menerima setelah mengetahui lebih dalam sifat dari sang calon suami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD