Eeh pintunya tertutup? Artinya hanya ada dia dan Abhi di ruangan ini? Sejak kapan dia ada di situ?
Rayya menjadi panik, dia belum siap untuk bertegur sapa dengan Abhi.
Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?
Rayya jadi bingung sendiri. Dia memutuskan untuk meninggalkan ruang rapat itu, tapi… ada Abhi yang berdiri mematung tepat di depan pintu! Bagaimana mungkin dia bisa keluar jika seperti ini?
Tapi Rayya mantapkan kakinya untuk melangkah, walau terasa lemas, tetap dia paksakan. Hanya saja, kenapa Abhi malah kemudian mendekatinya? Langkah kaki Abhi bagai seringan kapas, seperti tidak terdengar menjenjak lantai. Semakin dekat dan semakin dekat pada Rayya.
Rayya mundur beberapa langkah, tapi terhenti saat bagian belakang tubuhnya beradu meja. Rayya nekat menatap wajah tampan, yang sesungguhnya sangat dia rindukan. Tapi wajah itu nampak biasa saja, datar. Tidak ada aura gelap, tidak juga ada senyum menggoda.
Ada keinginan untuk memeluk Abhi sekuat keinginannya untuk menampar.
Peluk... tampar... peluk... tampar?
Tubuh Rayya condong ke belakang untuk menghindari Abhi yang berdiri tepat di hadapannya. Dia letakkan iPad di d**a sebagai pembatas yang memisahkan antara dirinya dan Abhi. Mata mereka beradu, bersirobok. Rayya paksakan tersenyum, walau kecut, tapi dia harus mampu buktikan bahwa dia tidak merasa terintimidasi.
Hangatnya hembusan nafas Abhi bisa Rayya rasakan, bahkan dia sampai memejamkan mata demi bisa mengingat masa lalu. Dia sangat rindukan hal ini. Berdiri sangat dekat dengan lelaki yang telah mengambil segalanya dari dirinya. Abhi tersenyum kecil saat melihat mata gadisnya terpejam. Dia semakin yakin bahwa Rayya masih menyimpan rasa untuknya.
Abhi semakin dekat dan dekat. Rayya menelan ludah, dia bingung dengan tubuhnya sendiri. Dia ingin menolak dan menampar, tapi di sisi lain, malah berharap akan kembali merasakan hangatnya pelukan Abhi.
Dasar Rayya labil!
“Ma.. maaf Pak, stop! Tolong hentikan apapun yang bapak ingin lakukan!” bisik Rayya, dengan suara bergetar.
Kening Abhi berkerut mendengar itu.
Bapak? Dia menjaga jarak dengan memanggilku bapak.
“Aku hanya ingin mengambil pulpenku yang kamu pegang sedari tadi kok.” jawab Abhi, dengan wajah datar, tanpa rasa bersalah. Dia berikan isyarat dengan dagunya pada pulpen mahal yang dipegang Rayya, "memangnya kamu pikir, aku mau ngapain?"
Tanpa ragu-ragu, Abhi mengambil pulpen hitam miliknya dari tangan Rayya, “terima kasih sudah menyimpannya.” Abhi membalik tubuhnya dan melangkah satu langkah saja, tapi sudut matanya melirik Rayya yang hembuskan nafas penuh kelegaan.
Seperti aku menyimpan hatiku untukmu. Tapi tentu saja satu kalimat ini hanya mampu Abhi ucapkan dalam hati saja. Mana mungkin dia sampaikan pada Rayya di pertemuan pertama mereka setelah empat tahun pelarian gadis itu?
Baru juga dua langkah Abhi pergi dan Rayya yang masih terpaku di tempat tapi sudah bisa bernafas lega, mengira hal yang menegangkan sudah berakhir, nyatanya satu detik kemudian, Rayya tergagap, luar biasa kaget saat Abhi mendadak meraih pundaknya dan dia bawa secara paksa ke pelukannya. Reflek, Abhi berikan satu kecupan ke pucuk kepala Rayya. Mata Rayya terbelalak, tidak percaya dengan kelakuan Abhi.
Ya Tuhan, aku sungguh rindu pada gadis ini. Bisa kembali memeluk dan berikan kecupan pada pucuk kepalanya saja sudah mampu membuatku melayang.
Pelukan hangat itu hanya dua detik saja, karena kemudian Abhi mendorong lembut tubuh Rayya agar menjauh darinya. Tanpa berkata apapun, hanya seuntas senyum kecil, Abhi membalik tubuhnya, melangkah dan meninggalkan ruang rapat itu, meninggalkan Rayya yang terduduk lemas bersandar meja.
Jika dia bisa selamat lewati hari ini, apakah dia bisa selamat lewati hari esok? Lusa? Minggu depan? Bulan depan?
Hah, aku akan ajukan pengunduran diri saja deh. Mungkin aku akan kembali lagi ke Sulawesi dan bekerja bersama Rivan dan Santi! Baiklah, nanti aku akan membuat surat pengunduran diri.
Memikirkan hal itu, membuat Rayya menjadi lebih tenang. Tapi tubuhnya kaku, wajahnya semakin pucat karena tempat duduknya tepat di depan ruangan Abhi. Dia paksakan untuk bekerja walau tentu tidak berkonsentrasi penuh.
Tapi Ray, kalau kamu mengundurkan diri dari kantor ini dan kembali ke Sulawesi, terus bagaimana dengan Shaka? Bukankah kamu ingin habiskan waktumu bersama Shaka?
Sejenak, jemari lentik Rayya berhenti mengetik. Hatinya membisikkan sebuah nama yang membuatnya harus mampu bertahan, bahkan menjadi asisten pribadi seorang Abhi Hafi Ihsan sekalipun.
Rayya mendunga, matanya terpejam, bibirnya hembuskan nafas panjang dan berat. Dia tidak tahu bahwa Abhi mengawasinya dari balik kaca ruangannya.
Heeum, pasti sekarang dia sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari sini. Maaf saja sayang, itu tidak akan mungkin bisa kamu lakukan. Aku tidak akan setujui hal itu! Kamu bisa mundur hanya jika kamu sudah resmi menjadi istriku! Tapi.., kenapa wajahnya jadi pucat banget. Lebih baik aku suruh Amel temani dia untuk makan siang. Aku tidak mau sakit maagnya kambuh hanya karena kegundahannya melihatku.
Abhi menelpon Amel dan tanpa basa-basi langsung saja memintanya untuk menemani Rayya makan siang.
“Hai Amel, tolong segera ajak Rayya makan siang. Wajahnya pucat banget. SEKARANG!” sebuah titah yang terdengar penuh nada kekhawatiran di telinga Amel.
“Baik pak.” tanpa banyak pertanyaan, Amel segera saja menuju ke lantai lima belas. Dilirik jam tangannya, lima belas menit jelang jam istirahat.
Ini benar-benar mengonfirmasi bahwa ada sesuatu antara Rayya dan Bos Akang, sampai-sampai Rayya disuruh makan siang walau belum waktu istirahat. Aku curiga apa hubungan mereka di masa lalu, tapi… hah biarlah, lebih baik aku tidak tahu deh. Kecuali Rayya yang dengan rela hati bercerita padaku.
“Hai Ray! Jam segini bengong aja. Makan yuk, lapar nih.” sosok Amel yang bertubuh atletis mendadak muncul di depan Rayya, membuat gadis manis itu berjengit kaget.
“Amel apa-apaan sih? Kaget tahu. Lagian ini belum jam makan siang. Enggak ah Mel, kamu kan tahu ini hari pertamaku ketemu si bos sebagai PA.” Rayya menolak ide istirahat dipercepat sebelum waktunya.
“Ray, wajahmu pucat banget tahu gak? Daripada pingsan di sini kan malah berabe. Atau, kamu mau dibopong sama Bos Akang ya? Seperti di n****+-n****+ gitu deh.” goda Amel, membuat mata Rayya membola.
“Minta ijin ada deh ke si bos, pasti dikasih ijin kok.” tutur Amel.
“Gimana minta ijin ke si bos Mel, ini belum ada jam dua belas.” keluh Rayya.
“Ya udah, aku yang minta ijin ya. Eeh tapi harusnya kan kamu yang minta ijin ke Bos Akang kan? Aku temani aja yuk.” tawar Amel, penuh antusias. Dia ingin melihat reaksi Rayya saat bertemu Bos Akang.
Rayya menggeleng. Baginya lebih baik dia menunggu saja hingga jam dua belas daripada dia harus minta ijin ke Abhi.
“Bentar lagi kok Mel. Tunggu aja ya.”
Ponsel Amel bergetar, menandakan ada pesan w******p masuk. Mata Amel memicing melihat nama pengirim pesan.
Bos Akang
Kenapa belum berangkat makan siang, Amel? Kasian Rayya kalau kelamaan kalian akan susah dapat tempat di kantin kan?
Ya, Amel mengubah nama Abhi di ponselnya menjadi Bos Akang, mengikuti panggilan Rayya.
Amel
Rayya tidak mau pak, katanya tunggu jam istirahat aja. Dia tidak berani minta ijin ke Bapak katanya.
Si bos akang sampai paham betul sih kami kalau makan di kantin. Sesekali bayarin ke resto dong pak. Modal dikit napa sih?
Dalam hati Amel tersenyum melihat kelakuan Abhi yang malu-malu pada Rayya
Di ruangannya, Abhi berpikir rencana. Jemarinya mengetuk meja menimbulkan bunyi teratur. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ruangan Abhi terbuka. Tubuh Rayya jadi tegak, otomatis menjadi kaku. Tapi dia tidak mau melihat ke arah Abhi. Dia tetap berpura mengetik.
“Eh ada Amel, mau makan siang ya?” tanya Abhi, basa-basi. Abhi putuskan untuk dia saja yang berikan ijin agar Rayya bisa makan sesegera mungkin.
“Euum iya Pak Abhi, benar. Boleh kan pak, saya ajak Rayya makan siang jam segini?” tanya Amel langsung, mengikuti rencana Abhi, berpura mengajak Rayya makan siang.
“Boleh dong, silakan. Saya juga akan makan siang di luar kok. Enjoy the lunch ya.” Abhi lambaikan tangan dan segera pergi dari situ. Tubuh Rayya mendadak lemas dan dia segera sandarkan punggungnya.
“Huufft… Legaa…” bisiknya. Semua tidak lepas dari pengamatan Amel. Kening Amel berkerut melihat tingkah Rayya yang seperti ketakutan pada Abhi.
Kalau Bos Akang seperti malu-malu pada Rayya, tapi kenapa Rayya malah ketakutan sama si bos? Ini artinya sebuah hubungan yang tidak dua pihak? Cinta bertepuk sebelah tangan? Heei… jadi si bos akang suka pada Rayya tapi Rayya enggak? Yang benar saja nih? Bisa-bisanya Rayya menolak Bos Akang? Waah kalau admin Lambemu Turah-turah tahu bisa terjadi kehebohan ini.
“Ray, kamu kenapa sih? Kok kaya ketakutan gitu lihat si bos? Wajahmu pucat seperti habis lihat hantu tahu gak.”
Abhi malah lebih menakutkan daripada hantu bagiku, Mel. Andai saja aku bisa cerita ke kamu apa yang terjadi pada kami di masa lalu. Tapi itu artinya aku mengumbar aibku sendiri.
Rayya menolak memberi informasi pada Amel tentang masa lalunya.
“Mungkin karena hari pertama ketemu si bos sih Mel.” Rayya menyembunyikan kegelisahannya.
“Eh itu si bos udah kasih ijin untuk kamu istirahat. Ayuk buru kita ke kantin.” Amel bahkan nekat menarik tangan Rayya untuk segera berdiri, daripada dia diomeli Abhi karena membuat gadis itu kelaparan.
Usai makan siang, Amel bahkan sempatkan mengantar Rayya ke meja kerjanya. Mumpung yang punya kantor sudah ijinkan dia kan? Sesekali manfaatkan situasi untuk istirahat lebih lama.
“Ray, ada yang kasih cemilan nih,” tunjuk Amel ke paper bag yang ada di atas meja kerja Rayya bertulis merk minuman organik ternama, “wah Ray, ini sebotol imut ini harganya sama dengan lima kilogram beras premium loh. Ini kamu dibeliin banyak, ada rasa almond coklat, coklat oatmilk dan infused water. Holang kaya ini yang beliin.”
Saat Amel ingin membuka paper bag itu untuk lihat isinya lebih jelas, tiba-tiba gawainya bergetar. Dia meringis melihat isi pesan itu.
Bos Akang
Amel, itu untuk Rayya, kamu gak boleh ambil! Punyamu aku belikan online, tapi merk lain. Tunggu saja!
Amel
Baik pak
Diih pelit amat sih Bos Akang ini!
Amel mendumel dalam hati.
Rayya membuka paper bag re.juv* dan melihat isinya. Rayya bisa pastikan, ini dari Abhi. Ini semua minuman kesukaannya dari dulu. Tapi untuk apa dia lakukan ini?
“Ada kartunya nih Ray, baca deh.” Amel menunjuk kartu yang terjatuh saat Rayya membuka dus.
“Jangan telat lagi makan siang, ingat sakit maagmu. Aku belikan minuman kesukaanmu.” bisik Rayya pelan.
Tidak ada nama pengirim, tapi baik Rayya dan Amel tahu siapa pengirimnya. Mata Rayya melihat ke arah depannya. Dia hembuskan nafas panjang. Baru hari pertama bertemu Abhi sebagai PA, tapi kepalanya sudah sangat pusing dengan kelakuan Abhi yang bertingkah layaknya saat mereka masih menjalin hubungan kasih, penuh perhatian.
“Sepertinya kamu punya pengagum rahasia ya Ray?,” tepuk Amel ke pundak Rayya, “aku balik ke ruanganku ya. Kamu yang betah dan kuat di sini, harus tebal kuping, tebal muka dan pasang kaca mata kuda. Si bos akang mah sebenarnya orang baik, hanya saja kadang menyebalkan.”
Usai ditinggal Amel, Rayya coba kembali fokus pada pekerjaannya. Tapi tentu saja tidak bisa karena bayangan Abhi yang selalu menghantuinya.
“Memang dasar hantu!” desis Rayya, kesal.
“Siapa yang kamu sebut hantu? Saya?” sebuah suara mengagetkan Rayya.
*