Tapi…. Kenapa Rayya diam saja? Sebegitu bencinya dia pada dirinya? Sepertinya ada yang salah. Tapi apa?? Dering suara telepon membuyarkan fantasi liar Abhi. Dia berjengit kaget dan menatap ke arah telepon penuh emosi. Sialan nih telepon, mengganggu fantasiku saja! Eh fantasi? Jadi tadi itu hanyalah mimpi?? Abhi menatap telpon dan Rayya bergantian, matanya memelas, seperti memohon agar Rayya tetap ada di situ untuknya. “Kalau begitu saya permisi pulang pak, selamat sore.” Rayya menarik gagang pintu, tapi Abhi, yang ternyata masih duduk di kursinya walau blingsatan setelah fantasi liarnya tadi, berkata sesuatu yang mencegah gadis itu melangkah. “Aya, besok pagi jangan lupa kopi hitamku ya.” Setelah empat tahun berlalu, ini kali pertama Rayya mendengar Abhi memanggil dengan panggila