“Kalau memang enggak bisa, ya sebisanya. Buat apa gaya-gaya, kalau pada kenyataannya, memang enggak bisa? Itu namanya ria, dan ria itu bagian dari penghuni neraka!”
Episode 4 : Rencana Prewedding Ipul Dan Rena
***
Selepas kepergian Murni yang menggendong Bubu, Fina yang penasaran dengan pembicaraan Rafael dan Rena, berangsur menghampiri sang suami. Fina melangkah sambil mengerucutkan bibirnya, menatap penasaran keberadaan Rafael yang masih berdiri di sekitar lorong depan kamar Rina, dan kebetulan ada di seberang ruang keluarga keberadaannya.
“Kalian mau prewedding?” ucap Rafael tidak yakin, sambil menatap tak percaya wajah Rena yang memenuhi layar ponselnya. Ia sampai bengong lantaran kabar yang baru saja Rena sampaikan, membuatnya sulit untuk percaya.
Setelah Rena mengangguk, wanita itu juga menjawab sambil mengulas senyum. Senyum yang membuat Rena terlihat sangat semringah. “Iya, Raf! Rencananya minggu-minggu depan!”
“Gaya!” balas Rafael cepat, lantaran baginya, acara prewedding untuk Rena dan Ipul terlalu dipaksa. Apalagi sejauh ini, Ipul sangat sulit menyesuaikan diri untuk menjalani hal-hal yang cukup rumit. Rafael takut, semua tuntutan Rena yang mengharapkan segala sesuatu serba ‘wah’, hanya akan membuat Ipul kewalahan.
“Gaya kan kalau kami model. Kami kan mau prewedding, Raf!” kilah Ipul yang tiba-tiba menggeser wajah Rena dan membuat layar ponsel Rafael dipenuhi wajah Ipul.
“Tumben kamu ngomongnya bener? Tapi memangnya kamu tahu, prewedding itu apa?” balas Rafael cepat.
Fina yang sudah nyaris di sisi Rafael, menjadi menunduk demi menahan tawanya.
“Kan sudah belajar, Raf ... prewedding. Ngono kuwi, kan? Tapi omong-omong, prewedding itu apa, Beb? Nikahan gitu, kan? ‘mbesan’?” balas Ipul dari seberang yang sampai menoleh dan Rafael yakini karena sedang menatap Rena.
Jika dilihat dari tanggapan Ipul yang kebingungan, sepertinya, pria itu memang tak tahu-menahu mengenai maksud prewedding.
“Ih ... apa-apaan, sih? Kamu ngomongnya jadi ‘ngono kuwi ... ngono kuwi’, Beb? Lagian, masa iya, kamu enggak tahu prewedding? Kalau kamu enggak tahu, kenapa kamu ‘iya ... iya!’ saja, pas aku bahas dan minta semua tentang prewedding?” semprot Rena yang langsung berbicara dengan sangat cepat..
Mendapati Rena sampai memarahi Ipul, Rafael menjadi bersemangat. “Hajar, Ren ... hajar, jangan sampai enggak! Bress!”
Fina yang melihat suaminya begitu bersemangat, yakin, suasana hati Rafael sedang sangat baik. Kemudian, ia meletakan kedua tangannya yang tertumpuk di sebelah pundah Rafael untuk mengamati layar ponsel pria tersebut. Ia dapati, Rena dan Ipul yang sampai memakai kaus pasangan berwarna pink. Kaus lengan pendek dengan tulisan sablon warna hitam : LELEBRITY.
“Ya Alloh, Rina sama Daniel kalah romantis. Tapi ... Rina sama Daniel enggak pernah marahan sampai begini, sih. Segalak-galaknya Rina, dia belum pernah marah-marah ke Daniel. Nah ini Rena, marah-marah sampai kayak mau nelan Ipul hidup-hidup, sedangkan Ipul tetap nurut sambil menunduk diem takut begitu. Kalau gini keadaannya, bisa jadi judul sitkom baru : LELEBRITY TAKUT ISTRI!” batin Fina yang menjadi menekap mulutnya menggunakan sebelah tangan, lantaran ia telanjur tersenyum geli, sedangkan sebelah tangannya berangsur mengelus sebelah bahu Rafael.
“Pah, aku mandi dulu,” bisik Fina sebelum berlalu, di tengah kenyatannya yang menjadi sibuk menahan tawa.
“Emm ....” Rafael mengangguk. “Nanti aku nyusul. Beresin ini dulu, mau prewedding saja sampai koar-koar ke aku,” lanjutnya.
Tanpa menjawab, Fina mengangguk-angguk sambil terus melangkah. Namun, Rafael yakin, istrinya itu sedang susah payah mengendalikan tawa gara-gara tingkah laku Ipul dan Rena.
“Kamu ngomongnya udah beres, belum, Beb? Kalau sudah, tinggal aku yang ngomong,” ucap Ipul kemudian.
“Sakkarepmu!” balas Rena masih mengomel.
“Wah ... Rena sudah bisa bahasa Jawa?” batin Rafael masih menjadi penyimak yang baik. Ia masih menatap saksama layar ponselnya yang masih dipenuhi wajah Ipul dan Rena. “Heran. Ribut saja masih tetap stand by pegang ponsel?” Kali ini, Rafael menggeleng tak habis pikir.
“Ohemji, Beb ... aku cuma ‘iya .. iya.’ yang penting, kamu seneng, kan? Aku cukup nyiapin banyak uang, biar aku bisa kasih kamu pernikahan impian?” ucap Ipul kemudian.
Rena yang sampai menangis, memanyunkan bibirnya sambil mengangguk-angguk. Rena terlihat sangat manja dan membuat Rafael semakin tidak percaya.
“Ya sudah, jangan nangis lagi. Jangan marah-marah. Gini-gini, aku banting tulang jadi kuli di depan televisi, aku jadi LELEBRITY, ya demi bahagiain kamu. Tapi ya ingat, jangan hanya memikirkan pernikahan dan resepsi mewah, karena kita juga harus memikirkan setelahnya. Masa iya, habis pesta foya-foya, kita mendadak kismin dan hidup di gubuk sebelah kandang kambing?” lanjut Ipul.
“Kalau kalian masih ribut, aku tutup teleponnya, ya?” ujar Rafael kemudian. Rafael mulai curiga, jangan-jangan, maksud Rena dan Ipul menghubunginya, karena keduanya memang membutuhkan bantuannya perihal bantuan dana untuk pernikahan berikut seperangkatnya.
Dan Rafael semakin yakin mengenai kecurigaannya, lantaran tak lama setelah itu, baik Ipul maupun Rena mendadak akur. Ipul merangkul pundak Rena, terlepas dari keduanya yang juga sampai memasang wajah memelas hingga keduanya terlihat sangat memilukan.
“Sudah kuduga! Wajah-wajah kalian sudah cocok jadi wajah peminta sumbangan!” ujar Rafael sambil menggeleng tak habis pikir sekaligus tersenyum masam.
Tanpa banyak mengubah kesedihan di ekspresinya, Ipul dan Rena kompak mengangguk.
“Kalau memang enggak bisa, ya sebisanya. Buat apa gaya-gaya, kalau pada kenyataannya, memang enggak bisa? Itu namanya ria, dan ria itu bagian dari penghuni neraka!” tegas Rafael sambil menatap tegas kedua wajah yang memenuhi layar ponselnya.
“Pencemaran nama baik itu namanya, Raf. Masa iya, yang namanya Ria bagian dari penghuni neraka. Tuh, ada, penyanyi dangdut idamanku, namanya juga Ria!” ujar Ipul sambil menyeka air mata buayanya menggunakan kedua punggung jemarinya.
Rafael mulai merasa sebal kepada Rena dan Ipul. Pun meski keduanya memang bagian dari keluarganya, terlepas dari Rena yang notabene satu-satunya saudara kandungnya.
“Raf ....” Kali ini, Rena sampai merengek.
“Weekend besok, kalian datang ke sini. Kalian minta restu yang benar, tanpa ada sandiwara konyol seperti tadi lagi.” Rafael belum selesai bicara, tapi Ipul dan Rena sudah langsung terlihat sangat girang. Keduanya tersenyum lepas dengan mata yang berbinar-binar, dan terlihat sangat semringah.
“Tapi ingat, kalian harus melakukannya di depan Fina dan keluarganya! Itu satu-satunya syarat dariku!” lanjutnya dan sukses membuat Rena dan Ipul kebingungan.
Rena dan Ipul berangsur saling tatap, membuat keduanya tak ubahnya orang bodoh yang benar-benar sulit memahami keadaan bahkan kenyataan.
“Oke. Aku tunggu weekend besok. Sekarang sudah dulu, aku mau mandi. Assalamualaikum!” Rafael langsung mematikan sambungan telepon videonya, tanpa menunggu balasan apalagi persetujuan dari Rena maupun Ipul lebih dulu.
Rafael mengembuskan napas lega melalui mulutnya dengan sebelah tangan yang masih menggenggam ponsel. Baru Rafael sadari, dasi yang awalnya nyaris ia lepas, masih menggantung tak jelas di lehernya, lantaran beberapa saat lalu, ia telanjur panik atas tangis Bubu. Akan tetapi, Rafael menjadi tersenyum geli seiring pria itu yang berangsur melepas dasinya.
“Sudah ... nikmati saja. Masa-masa tangis Bubu yang bikin panik kan enggak mungkin terulang,” pikir Rafael yang kemudian disuguhi pemandangan kebersamaan Bubu yang diemban Murni. Putra pertama dan sangat ia banggakan itu, sedang mengamati lampu kristal yang menerangi ruang keluarga, persis di atas bagian tengah-tengah ruangan.
Murni menimang-nimang Bubu sambil melantunkan sholawat dengan suara yang terdengar lirih. Sesekali, Murni juga akan mengelus rambut Bubu yang berwarna legam. Murni menjabrik-jabrikkan rambut Bubu yang tampak kaku tanpa harus dipelumas.
“Seserius itu, Bu? Lampunya enggak bakalan lari, kok! Kamu lihat lampu seserius itu, sampai-sampai, Papah dicuekin?” ujar Rafael sambil mengelus Pipi Bubu menggunakan punggung telunjuk tangan kanannya.
Murni hanya mesem mendapati senyum yang tak pernah putus dari Rafael yang juga terus menatap Bubu dengan banyak kasih sayang. Bubu sendiri tetap fokus memandang lampu kristal yang ada di atasnya, kendati sang papah terus menunggu responsnya.
****