Danian terbangun dengan senyum yang seketika mengembang hanya karena ia teringat apa yang terjadi tadi malam. Rencananya menjebak Velery sukses. Bisa Danian pastikan, wanitanya itu tak lagi menghindari pernikahan mereka.
Namun, ketika Danian memastikan suasana, tak hanya Velery yang tak lagi ada dalam dekapannya, sebab kamarnya juga dalam keadaan kelewat sepi. Di sana tak ada tanda-tanda kehidupan lain, selain Danian sendiri.
“Vel …?” Danian berangsur duduk, ia menyisihkan selimut di sebelahnya dan tak lain merupakan bekas Azura tidur, tapi Danian yakini sebagai Velery.
Kedua mata Danian refleks memelotot, Danian tercengang ketika pandangannya mendapati sprei putih bekas Azura tidur, dihiasi noda darah.
“Velery sedang mens?” Danian menjadi ragu jika wanita yang semalam menghabiskan malam bersamanya bukan Velery, melainkan wanita lain yang belum Danian ketahui jati dirinya. Dari semalam aku bahkan sadar, rasanya semuanya jadi beda, kan? Dan sekarang ada bekas darah.
Dugaan tersebut dikuatkan dengan beberapa helai rambut bergelombang panjang yang menghiasi sekitar bantal bahkan bahu Danian. Rambut berwarna kecokelatan yang juga terbilang kasar tak terawat tersebut bukan milik Velery. Danian yakin dan memang paham.
“Ini bukan Velery,” lirih Danian kecewa seiring jantungnya yang menjadi berdegup lebih kencang. Jangan sampai dugaannya justru benar, bahwa wanita yang semalam telah menghabiskan malam panas bersamanya, benar-benar bukan Velery, melainkan wanita lain!
Danian mengamati darah di sprei berikut selimut, dengan lebih teliti. Karena jika itu merupakan darah mens, harusnya bekas darah tak hanya di satu tempat layaknya kenyataan yang ia dapati. Karena jika darah tersebut merupakan darah mens, harusnya bekasnya ada di banyak bagian, apalagi semalam mereka melakukannya di banyak tempat.
“Jadi siapa? Siapa wanita yang bisa masuk ke kamarku dengan leluasa selain Velery? Namun semalam … semalam Velery pergi. Ini darah, darah keperrawanan.” Danian terpejam pasrah bersama kedua tangannya yang meremas asal selimut putih dan hanya menutupi perut hingga ujung kakinya.
***
Danian telah membersihkan diri. Ia mengenakan setelan jas warna biru tua lengkap dengan dasi. Sedangkan rambut lurus nyaris melewati telinga sudah disisir rapi berpoles pelumas yang membuat penampilan Danian makin maskulin, sempurna.
Sambil terus menerka perihal siapa wanita yang semalam menghabiskan malam bersamanya, Danian mengamati suasana kamarnya yang begitu berantakan. Tak hanya semua keperluan makan malam yang terserak di lantai dan sampai terbakar, tetapi kenyataan semua jendela di sana yang dibiarkan terbuka sempurna. Yang dengan lain, sudah sempat ada yang melakukan pertolongan pertama demi mengatasi kebakaran sekaligus asapnya. Namun tunggu, mata Danian menemukan sesuatu.
Di celemek yang menutupi lilin, Danian menemukan sejenis plakat atau logo dan biasanya menempel di sepatu wanita. Plakat tersebut menyerupai bentuk kupu-kupu, berwarna silver, terbilang sudah kusam sekaligus tua, seperti sudah terlalu lama dipakai.
Apakah ini miliknya? pikir Danian yang sudah memungut benda tersebut. “Ini barang murahan!” Kembali, jantung Danian menjadi berdetak lebih kencang dari sebelumnya. “Jangan sampai aku justru melakukannya bersama pegawai rendahann yang tak sengaja aku jadikan pelampiassan karena kemarahanku pada Velery!”
****
Azura refleks menahan napas ketika pintu ruang kerjanya dibuka dari luar oleh seseorang yang tentu saja Danian. Tak ada orang lain yang bisa langsung masuk tanpa terlebih dulu mengetuk pintu, kecuali pria itu.
Danian yang awalnya melangkah cuek dan tak sengaja melirik ke arah Azura yang langsung berdiri dari duduknya sambil menunduk hormat kepadanya, menjadi terusik.
“Bibir kamu kenapa?” Pertanyaan tersebut terlontar begitu saja dari Danian. Sebab seperti yang ia permasalahkan, bibir sekretarisnya dalam keadaan bengkak terbilang parah dan itu membuat ia yang melihatnya merasa terganggu.
Azura yang masih menunduk, langsung ketar-ketir tanpa bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kedua tangannya refleks meremas sisi rok span selutut yang dikenakan.
Dia tanya kenapa? Tentu saja ini gara-gara dirinya yang melakukannya seperti orang kerasukan settan! rutuk Azura dalam hati. Azura benar-benar jengkel pada Danian. Andai, ia tak butuh pekerjaan sekaligus uang yang teramat sulit Azura dapatkan akibat penampilannya yang kurang menarik, pasti Azura sudah angkat kaki bahkan tanpa pamit.
“Eh, siapa namamu? Saya lupa,” lanjut Danian lantaran Azura hanya diam.
Seketika, kemarahan yang Azura tahan membuat wanita itu melirik tajam pada Danian. Tiga bulan mengabdi kepadamu, bahkan semalam kamu sudah menodaiiku, tapi kamu masih belum tahu namaku! batinnya yang sampai mendelik kepada Danian.
Kenapa dia melotot seperti itu? Dia marah kepadaku? pikir Danian yang menjadi merasa ngeri sendiri pada Azura.
Suasana kebersamaan Azura dan Danian menjadi sangat tidak bersahabat. Bahkan Danian jadi tidak memiliki alasan untuk menyuruh apalagi memarahi Azura layaknya biasa. Danian sendiri bingung, kenapa itu sampai terjadi? Dania meninggalkan sang sekretaris seiring benaknya yang dipenuhi tanya, terlebih ia melepaskan Azura yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya, begitu saja.
“Oh, iya,” ucap Danian tiba-tiba.
Danian sudah menahan sekaligus mendorong knop pintu ruang kerjanya. Ia yang menoleh sekaligus menatap Azura, mendapati wanita itu tengah mencoba duduk tapi Azura melakukannya sambil menyeringai, terkesan menahan sakit berlebihan di bagian rahim, Kedua lutut Azura langsung menempel dan terlihat gemetaran.
Wanita ini, kenapa dia makin mencurigakan? batin Danian sambil terus memperhatikan Azura yang tak jadi duduk dan sempat menatapnya, sebelum akhirnya Azura justru buru-buru menunduk, terkesan sengaja menghindarinya.
Pak Danian kenapa, sih? Kenapa dia jadi merhatiin aku terus? batin Azura susah payah mengontrol diri.
“Semalam …,” lanjut Danian yang kembali menatap Azura.
Azura tersentak dan refleks memelotot menatap Danian. Namun, ia kembali buru-buru mengakhiri tatapannya karena ternyata Danian sudah kembali memperhatikannya. Seolah, pria itu sedang menggali sebuah informasi darinya.
Wanita ini … dia makin membuatku yakin. Dan rambutnya, rambutnya sama persis dengan rambut-rambut di tempat tidurku! batin Danian.
Aku mohon, jangan memperhatikanku seperti itu! keluh Azura dalam hatinya.
Apa yang Danian lakukan, dengan cara pria itu terus memperhatikan Azura, sukses membuat Azura kacau. Kenyataan tersebut terjadi lantaran apa yang tadi malam menimpa mereka, langsung terputar di ingatan Azura. Membuat Azura ketakutan karena kejadian tersebut terasa begitu nyata, seolah Azura kembali mengalaminya. Iya, apa yang semalam terjadi berikut dampaknya, tak ubahnya mimpi buruk bagi Azura. Azura sampai gemetaran bahkan berkeringat.
“Kamu bukan tipeku. Jadi jangan berpikir aku mau denganmu bahkan sekadar untuk bersenang-senang di atas ranjang!” tegas Danian sambil melirik sinis Azura.
Azura yang merasa tertampar, merasa sangat sakit hati, refleks menatap Danian dengan tatapan yang dipenuhi kebencian. Tatapan yang juga menahan banyak dendam. Demi apa pun, sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkan kamu! Kedua tangan Azura makin mengepal kencang.
****
Di sebuah kamar mandi yang sempit, Azura masih terduduk lemah, tubuhnya yang kuyup. Azura masih memakai pakaian kantor lengkap. Tatapan wanita itu kosong, tapi mata berikut hidungnya begitu merah tak ubahnya bibirnya yang bengkak, masih dihiasi bekas luka akibat gigitaan yang Danian lakukan.
“Kak … Ayah batuk darah!” Seruan barusan mengiringi gedoran yang kelewat keras dari balik pintu kamar mandi keberadaan Azura.
Azura langsung ketar-ketir. Susah payah ia beranjak dikarenakan duduk di lantai kamar mandi dalam waktu lama membuat kakinya kesemutan.
“Kak … Kakak lagi ngapain, sih, dari pulang masih di kamar mandi? Sudah dua jam, lho. Kakak sembelit, apa malah mencret?” Teriakan Andra selaku adik Azura, kali ini terdengar menahan rasa cemas.
“A-a … bentar!” balas Azura sekenanya. Ia baru saja berhasil berdiri setelah berpegangan asal pada dinding sekitar.
“Eh … Kakak nangis?”
Tebakan Andra, Azura rasa beralasan karena kesedihan berikut tangis yang mengikat Azura, membuat suaranya kelewat sengau.
Azura segera berdeham, mencoba mengontrol sekaligus membiasakan suaranya. “Enggak … ini efek flu. Sehari enggak kerokan, Kakak langsung masuk angin parah.”
“Ya ampun, Kak. Kamu yah, norak banget! Sudah tiga bulan kerja di tempat ber-AC, masih saja masuk angin!”
“Sudah … sudah … tolong ambilin Kakak handuk. Kakak mandi …?” Azura tak kuasa melanjutkan ucapannya karena kesibukannya melucuti kancing kemeja lengan panjang warna biru muda yang dikenakan, membuatnya menjumpai sederet bekas merah agak hitam yang tentu saja masih peninggalan Danian.
Hancur, itulah yang Azura rasakan apalagi jika ia teringat kata-kata Danian yang menegaskan Azura bukan tipe Danian. Azura tak kuasa membendung kesedihan berikut air mata yang susah payah ia tahan. Tak peduli meski di luar sana, Andra sibuk bertanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi.
Demi meredam ingatannya yang tengah dihiasi kejadian malam kemarin selaku kebersamaannya dengan Danian dan lagi-lagi terasa begitu nyata, hingga Azura seolah kembali mengalaminya, Azura menekap wajahnya menggunakan kedua tangan.
Azura yang kembali ketakutan, sampai terduduk sambil terpejam paksa. Azura masih berusaha menepis ingatan kebersamaan panasnya dengan Danian, dan sayangnya sangat sulit ia singkirkan. Azura tak hentinya menggeleng kaku, merasa geli sekaligus jijik pada dirinya sendiri.
“Kamu bukan tipeku. Jadi jangan berpikir aku mau denganmu bahkan sekadar untuk bersenang-senang di atas ranjang!”
Dasar pria kurang ajar! Aku memang tidak cantik, aku juga sadar aku tidak menarik! Dan jika boleh memilih, aku juga tidak mau bersamamu apalagi sampai memberikan kehormatanku yang aku yakin hanya dianggap remeh olehmu!
****
Ketakutan Azura masih saja berlanjut. Wanita itu tak hanya tidak berani menatap tubuhnya sendiri yang memang dihiasi banyak bekas merah agak hitam selaku peninggalan Danian. Sebab selain menjadi pendiam dan kerap melamun, Azura juga lebih nyaman mengenakan pakaian serba panjang dan jika bisa sampai menutupi lehernya dan tak luput dari bekas peninggalan Danian. Azura sengaja menutupi lehernya menggunakan alas bedak yang awalnya sangat awet lantaran sangat jarang Azura gunakan. Azura memang jarang berdandan karena bagi Azura, meski ia merias wajah dengan riasan tebal sekalipun, tidak akan mengubah kenyataannya yang memang tidak menarik. Buktinya, Sendar dan Loly sampai mempermasalahkan penampilan Azura yang selalu menyakiti kedua mata mereka, meski penampilan Azura bukanlah mata pisau yang sibuk menggores.
“Kak … ayo, kita tinggal nebus obat!” bisik Andra sambil menyikut Azura.
Azura kebingungan dan refleks menatap ketiga wajah di hadapannya. Ada wajah Andra yang makin menatapnya sebal melebihi sebelumnya. Wajah Arman sang ayah yang tampak pias dan menatapnya penuh kekhawatiran, juga wajah pria paruh baya tak kalah pias dari Arman, dan tak lain merupakan dokter yang mengurus Arman.
Azura berangsur bangkit menyusul Arman yang sudah dibimbing oleh Andra. Keduanya nyaris meninggalkan Azura.
“Mbaknya, sakit?” tanya sang dokter dan s
makin membuat Azura bingung.
Azura buru-buru menggeleng. “Permisi, Dok. Terima kasih banyak,” pamitnya sambil tersenyum masam dan sesekali mengangguk meninggalkan sang dokter. Ia sengaja melakukannya demi menghindari sang dokter yang ia takutkan akan sampai memeriksa kesehatannya. Azura tak mau itu terjadi karena jika sampai iya, Azura yakin, Andra apalagi Arman akan mengkhawatirkannya.
***
“Semenjak pulang subuh tadi, Kak Azura jadi aneh, yah, Yah? Jangan-jangan, Kak Azura kesambet?” bisik Andra masih memapah Arman yang kerap batuk.
Arman memang sudah sakit-sakitan. Komplikasi, tubuhnya saja nyaris hanya tinggal tulang berbalut kulit. Sedangkan kini, Arman juga sampai batuk darah. Paru-paru Arman bermasalah akibat kebiasaan buruk Arman yang sudah rutin merokokk semenjak pria itu masih remaja.
Azura yang melangkah di belakang Arman dan Andra, refleks menghela napas pelan. Ia mendengar apa yang Arman obrolkan, tapi ia tak kuasa membalas apalagi menjelaskan penyebabnya yang sampai menjadi kehilangan selera hidup. Belum lagi, efek sakit luar biasa di punggung berikut rahim, juga membuat Azura mengatur langkahnya agar ia tak menunjukkan gelagat aneh, seperti refleks menyeringai karena menahan sakit. Bahkan, kenyataan tersebut juga sempat Danian permasalahkan, pagi tadi.
“Kan Yah … aneh banget. Biasanya kan, Kak Azura bar-bar. Aku ngegosipin dikit saja langsung dicekikk! Kepalaku ditimpukk sampe lepas!” bisik Andra lagi kepada Arman.
Sesekali, sambil terus membimbing Arman memasuki gang kontrakan bernuansa remang-remang, Andra mengamati sang kakak. Sungguh, saudara perempuannya itu tampak sangat tidak bersemangat.
“Kakakmu pasti lelah karena kemarin malam lembur sampai subuh, Ndra. Lembur sampai subuh dan harus tetap berangkat seperti biasa. Sudah, jangan ganggu Kakakmu,” balas Arman yang kemudian meminta Azura untuk langsung tidur setelah mereka sampai kontrakan, selaku tempat mereka tinggal.
“Iya, Yah,” balas Azura masih tak bersemangat dan nyaris tak terdengar karena Arman kembali batuk parah.
Menurut dokter yang menangani, Arman harus secepatnya menjalani pengobatan serius bahkan operasi, karena salah satu paru-paru Arman sudah bermasalah. Dan sebagai tulang punggung keluarga, tentu Azura yang kali ini menenteng kantong putih berisi obat untuk Arman, merasa harus secepatnya bertindak. Azura harus mendapatkan biaya pengobatan Arman, secepatnya. Itu juga yang membuat Azura merahasiakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Danian, hingga Azura yang pulang subuh-subuh akibat kejadian tersebut, terpaksaa berbohong kepada Arman dan Andra. Azura mengatakan alasannya pulang subuh, tak lain karena ia harus lembur mendadak.
Mau tidak mau, meski semenjak kejadian malam kemarin, berurusan dengan Danian membuat Azura merasa sangat kesal bahkan trauma, demi masa depan Arman maupun Andra, Azura harus bertahan menjadi sekretaris Danian. Akan tetapi, jika ada pekerjaan yang membuat Azura mendapatkan nominal lebih, tentu Azura tidak akan berpikir ulang untuk tidak meninggalkan bahkan menghilang dari kehidupan seorang Danian.
Bersambung ....