Bab 10. Hera

1846 Words
“Kemana Kana?” “Kana sakit pak, dari kemarin. Hari ini hari kedua,” jawab Gamila saat Mahesa mencari keberadaan Kana yang tak nampak saat mereka hendak melangsungkan meeting. Mahesa tak menyadari, bahwa Hera mencuri pandang padanya ketika Mahesa mencari keberadaan Kana. Perempuan itu menyadari sepertinya ada hubungan yang lain antara Kana dan Mahesa. Memergoki mereka tengah berpelukan di hari pertama kerja membuatnya sadar, bahwa Kana dan Mahesa sudah saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Walau begitu, sikap mereka yang seolah tak dekat dan tak mengenal satu sama lain membuat Hera sedikit penasaran. Apalagi beberapa waktu ini Mahesa juga tampak mendekati dirinya. Hera mengibaskan rambutnya perlahan, aroma wangi yang tercium dari rambutnya yang panjang membuat pria yang duduk disampingnya menghela nafas perlahan, seolah menikmati aroma itu. Jiyo. Saat meeting seperti ini merupakan saat yang paling ditunggu oleh Hera karena saat tersebutlah ia bisa melihat Jiyo dan berbincang dengannya bebas seolah melepaskan rindu yang terpendam. Sikap Jiyo yang terbuka dan menyenangkan benar-benar membuat Hera jatuh hati. Ia sadar bahwa atasannya ini begitu penuh pesona dan banyak sekali perempuan yang merasakan hal yang sama seperti apa yang ia rasakan. Tapi Hera tak kuasa untuk menahan perasaannya, ia sudah terlanjur jatuh cinta. Apalagi sikap Jiyo seolah memiliki perasaan yang sama sehingga rasanya Hera tak sabar untuk menjadi kekasih Jiyo. Hanya saja kesibukan Jiyo dan begitu banyak perempuan yang ingin mendapatkan perasaan Jiyo membuat Hera kewalahan. Ia tengah berusaha agar bisa meningkatkan intensitas pertemuannya dengan Jiyo salah satunya adalah melalui Kana. “Makan siang dimana hari ini?” pertanyaan Jiyo membuat Hera tersadar dari lamunannya saat mereka semua selesai meeting internal pagi ini. “Hanya di foodcourt,” jawab Hera dengan suara lembut dan berharap Jiyo mengajaknya makan siang di tempat lain. “Yuk, makan sama-sama …” ucap Mahesa seolah mendengar percakapan mereka berdua dan membuat Hera terpaksa mengangguk dan tersenyum tipis. Selama masih bisa menghabiskan waktu berdekatan dengan Jiyo, makan siang bersama-sama yang lain juga sudah cukup untuk Hera. Acara makan siang pun terasa menyenangkan untuk Hera, apalagi saat Jiyo meminta dirinya untuk duduk bersama. “Ada apa?” tanya Hera sambil mengambilkan semangkuk tom yam untuk Jiyo ketika melihat pria itu sibuk scrolling handphonenya dan membalas pesan dengan wajah serius. “Aku sedang koordinasi schedule dengan Kana, karena dia sakit jadi ada beberapa hal yang harus dicek ulang. Dia sakit di saat scheduleku sedang padat,” keluh Jiyo perlahan. “Bapak kali kasih kerjaan kebanyakan. Kemarin pagi dia masih masuk tetapi setelah makan siang kita suruh pulang karena badannya sudah panas tinggi dan wajahnya sangat pucat,” goda Gamila sambil menikmati makan siangnya. Jiyo terdiam, kemarin ia masih bertemu dengan gadis itu dan memang melihat wajahnya sangat pucat. Tetapi sejak hari pertama bekerja dengan Kana, gadis itu memang kurang berekspresi. Bicara sangat singkat dan to the point, tak pernah menceritakan tentang dirinya sendiri atau apapun. Pembicaraan mereka hanya seputar pekerjaan dan tak pernah menolak untuk mengerjakan apapun. Apalagi sejak Kana menyaksikan beberapa hal pribadi dirumahnya, gadis itu semakin mengunci mulutnya jika bertemu dengan Jiyo. “Kalian sudah mengenal Kana lebih lama bukan? Apa memang ia sependiam itu?” pertanyaan Jiyo membuat Mahesa hampir tersedak. “Loh, sudah 2 bulan bekerja di bawahmu, memang gak kelihatan sifatnya seperti apa?” ucap Mahesa balik bertanya menahan yang untuk mengomentari Kana. “Casingnya sih kaya cewe pendiam dan tenang ya, sebenarnya anaknya panikan pak. Dia tidak pendiam tetapi memang tertutup saja, tetapi kalau sudah ngobrol sebenarnya dia teman bicara yang baik,” komentar Wisnu sembari menambah nasi ke mangkuknya. “Kok dia gak pernah begitu ya? Rasanya aku gak pernah dengar dia bicara lebih dari tiga kalimat selain ‘ya pak’ ‘baik pak’ ‘ saya pamit ya pak’ ” ucap Jiyo dan membuat gelak tawa diantara mereka. “Bapak mungkin sikapnya terlalu galak? Soalnya aku sering lihat wajah panik Kana kalau sudah dipanggil bapak,” ucap Gamila menimpali. “Saya galak? Bukannya saya orangnya ramah dan perhatian sekali? Ya kan, Her?” tanya Jiyo sambil mendelik nakal kearah Hera. “Apaan sih?” jawab Hera sedikit tersipu ketika wajah Jiyo terasa begitu dekat dengan wajahnya. “Ini kalau orang-orang lihat, pasti banyak yang menyangka pak Jiyo sama Hera pacaran deh! Aku cemburu!” celoteh Gamila spontan saat melihat sikap Jiyo pada Hera. Jika Hera merasa bahagia mendengar ucapan Gamila, berbeda dengan Mahesa, spontan ia sedikit menahan senyumnya dan mencuri pada perempuan cantik yang tengah digoda Jiyo. Ia merasa kalah cepat untuk mendekati Hera, karena sepertinya perempuan itu sudah menyukai pria lain yaitu Jiyo. *** Jiyo menatap kotak berisi tas branded di jok belakang mobilnya. Tas itu titipan Elena yang ingin diberikan pada Kana. “Tante, gak perlu kebiasaan memberikan barang-barang seperti ini pada staffku!” tegur Jiyo ketika pagi tadi sang tante memintanya untuk memberikannya pada Kana. “Loh, ini masih bagus! Baru satu kali pakai!” jawab Elena sambil mengusap kotak tas itu perlahan dan tampak tak peduli dengan teguran Jiyo. “Ck, untuk saat ini sepertinya Kana tidak akan menceritakan apa-apa soal tante pada yang lain. Dia bukan tipikal penggosip. Stop berniat menyuapnya dengan cara seperti ini,” bisik Jiyo kesal. “People talk, Jiyo! Tante hanya butuh dia terikat sama kita, sehingga ia segan untuk bercerita! Kamu pikir semua orang didunia ini bisa dipercaya?! Pada akhirnya semua orang bicara!” “Kalau gitu, tante yang harus stop berselingkuh di rumah ini dengan Dom! Aku tahu sikap tante ini hanya untuk membalas Om Fabian, tapi bukan begini caranya! Kalau sampai ketahuan orang ini bukan salah Kana, tapi salah tante!” bisik Jiyo setengah tak sabar dengan sikap Elena. “Sudah! Berikan tas itu pada Kana! Dan kamu jangan larang-larang Kana untuk mengunjungi tante! Sejak terakhir ia selalu menolak untuk datang jika tante panggil!” Jiyo hanya bisa menghela nafas panjang mengingat percakapannya dengan Elena pagi tadi. Kini ia berniat untuk mengunjungi Kana sekalian ingin melihat kondisinya. Mendengar suaranya yang begitu lemah di telepon membuat Jiyo sedikit khawatir. “Mas,” sapaan seseorang membuat Jiyo menoleh dan melihat Hera tengah mendekati dirinya di tempat parkir. Perlahan Jiyo dan Hera saling menggenggam tangan dan menatap mesra satu sama lain. “Kamu sudah mau pulang?” tanya Jiyo lembut sambil menoleh ke kanan dan kekiri memastikan tak ada yang melihat mereka. Hera hanya mengangguk dan berharap Jiyo mengajaknya pergi kesuatu tempat untuk menghabiskan waktu bersama sebelum malam semakin larut. “Malam ini kamu luang? Aku ingin makan malam bersama,” ajak Hera tak malu-malu lagi untuk menunjukan perasaannya. “Maafkan aku tak bisa, hari ini ada hal yang harus aku lakukan. Gimana kalau minggu depan aku mengajakmu untuk brunch bersama keluargaku? Kamu mau?” Mendengar ajakan Jiyo, Hera mengangguk cepat dan tersenyum bahagia. Diajak langsung menemui keluarga membuat Hera merasa peluangnya untuk benar-benar bersama Jiyo semakin besar. Ia begitu terharu karena Jiyo tampak menunjukan hubungan serius dengannya. “Baiklah kalau gitu, aku pergi dulu ya … kamu jangan pulang terlalu malam. Nanti aku hubungi,” pamit Jiyo sambil mengecup punggung tangan Hera dan masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Hera dengan hati yang berbunga-bunga. Di tempat lain, Kana tengah merapatkan selimutnya dan meringkuk diatas ranjang. Matanya sudah sangat perih karena merasa panas, tubuhnya menggigil tak karuan. Walau tenggorokannya kering dan haus, untuk beranjak saja rasanya pusing. Kana hanya bisa merengut ketika melihat laptopnya yang terbuka berisi pekerjaan yang harus diselesaikan padahal badannya terasa tak karuan. Rasanya ia ingin menangis dan memanggil ibunya. Andai saja ada yang bisa membantu merawatnya betapa senangnya. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dan terdengar suara salah satu security kost-kost annya memanggil Kana. “Neng, ada tamu … namanya mas Jiyo, mau diterima gak?” Mata Kana langsung terbelalak dan tubuhnya segera terbangun dari tidurnya mendengar nama Jiyo disebut. “Suruh tunggu sebentar pak, nanti saya ke depan,” ucap Kana cepat segera bangkit untuk merapikan wajah dan rambutnya. Tak lama Kana keluar dari kamarnya menuju ruang tamu dimana Jiyo menunggunya. “Kamu pucat sekali, sudah minum obat?” tanya Jiyo khawatir melihat Kana begitu kuyu dan pucat. “Sudah pak. Silahkan duduk pak … bapak pasti mau nanya soal report ya pak?” ucap Kana gugup dan berusaha untuk berdiri tegak walau kepalanya pusing bukan kepalang. “Bukan, saya mau antar ini dari bu Elena buat kamu,” ucap Jiyo sambil memberikan paper bag berisi kotak tas. “Tapi …” “Sudah, kali ini terima saja … kalau nggak, nanti dia akan terus menerus memaksa saya untuk memberikan ini buat kamu,” ucap Jiyo sambil memindahkan paper bag itu ke tangan Kana. Saat menyentuh jemari tangan Kana, Jiyo terhenyak sesaat karena merasakan tangan gadis itu begitu panas. “Badan kamu panas sekali, sudah ke dokter?” tanya Jiyo spontan meraba lengan Kana. “Belum tiga hari pak,” jawab Kana lemas sambil berusaha duduk di sofa karena terlalu pusing berdiri. “Ayo ke dokter!” ajak Jiyo sambil menarik tangan Kana untuk kembali berdiri. “Nanti saja pak, saya bisa sendiri…” ucap Kana kaget karena Jiyo spontan untuk mengajaknya ke dokter. “Ck, sudah … kita berangkat sekarang, saya takut kamu malah sebenarnya sudah dehidrasi,” ucap Jiyo memapah Kana berjalan menuju keluar dari ruang tamu. “Pak …” gumam Kana tapi akhirnya dia hanya bisa diam dan mengikuti langkah Jiyo. Ia pun langsung meringkuk ketika dibantu untuk masuk ke dalam mobil. Tubuhnya menggigil terasa kedinginan sehingga Jiyo menutupi tubuhnya dengan mantel miliknya. Rasanya Kana sudah tak ingat apa-apa lagi saat mobil berhenti dirumah sakit. Ia sudah tak sadarkan diri karena sudah terlalu lemas. Entah apa yang terjadi tetapi ia terbangun sudah terbaring di ranjangnya sendiri dengan Jiyo tengah asik mengetik menggunakan laptopnya sambil selonjoran di atas karpet di kamar kost-annya. “Bapak…” panggil Kana perlahan sambil mencoba untuk bangkit, tetapi tubuhnya terasa sakit dan ngilu. “Stt, sudah kamu istirahat saja … kamu mau minum?” tanya Jiyo segera bangkit dan mendekati Kana dan membukakan botol air mineral untuk Kana. Kana meneguk air minum yang disodorkan Jiyo dan tiba-tiba menangis sedih tanpa sadar karena merasa sendirian dan kesepian disaat sakit seperti ini. “Loh kok nangis? Stt… sudah ayo tidur lagi …” ucap Jiyo sedikit kebingungan dengan sikap Kana yang random. Kana pun kembali meringkuk dan membiarkan Jiyo merapikan selimutnya dan kembali terlelap karena obat yang ia minum. *** “Loh, Kana belum masuk?” tanya Hera ketika masuk ke dalam ruangan dan melihat meja Kana masih kosong. “Kena gejala tipes katanya … tadi mbak Karina yang bilang,” ucap Wisnu sambil terus asik mengetik. “Tadi pak Jiyo yang antar surat sakitnya … eh, aku lupa lagi kasih ke Karina,” gumam Wisnu seolah teringat akan tugasnya. Hera yang duduk di hadapan Wisnu merasa tergelitik untuk membaca surat sakit Kana dalam amplop. Ia sempat tertegun sesaat ketika melihat logo rumah sakit yang familiar, rasanya kemarin ia melihat logo yang sama di sosial media seseorang. Hera jadi tergelitik untuk mengambil handphonenya dan mencari insta story Jiyo. Benar saja, ia merasa familiar karena Jiyo tadi malam memposting bahwa ia tengah berada dirumah sakit. Logo rumah sakit yang sama dengan surat dokter Kana, membuat perasaan Hera sedikit tak nyaman, seperti kebetulan. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD