Kana segera melepaskan pelukan Mahesa tanpa berkata apa-apa. Tenggorokannya terasa tercekat dan matanya sudah basah oleh air mata. Kana melangkah mundur dan membuang pandangannya agar Mahesa tak melihatnya menangis.
“Aku tak menyangka kamu masih berada diperusahaan ini … kita mesti bicara … aku …”
“Loh, pak Mahesa disini? Tadi dicariin pak Jiyo untuk makan siang bersama,” ucapan seseorang menghentikan kalimat Mahesa.
Kana semakin bergerak mundur dan semakin menundukan kepalanya agar Hera yang tiba-tiba masuk ruangan tak melihatnya menangis.
“Dimana dia?” tanya Mahesa segera berubah sikap kembali menjadi Mahesa yang berwibawa.
“Di ruangan VIP foodcourt pak … kami sudah berkumpul semua di sana, saya kesini karena lupa bawa handphone,” jawab Hera cepat sambil menyambar handphone yang ada di atas mejanya.
“Kana, kamu tidak ikut?” tanya Mahesa menoleh ke arah Kana.
“Tidak pak, saya sudah selesai makan, dan setelah ini saya harus keruangan pak Jiyo,” jawab Kana cepat sambil segera menyibukan diri seolah membereskan sesuatu di atas mejanya.
Mahesa hanya mengangguk dan segera berjalan keluar diikuti oleh Hera. Sedangkan Kana hanya bisa terduduk sesaat dan segera memutuskan untuk sholat Dzuhur sebelum pekerjaannya semakin padat. Ia pun butuh waktu untuk sendiri untuk menenangkan pikirannya dari sikap Mahesa.
Waktu makan siang pun berlalu, Kana sudah berada di dalam ruangan Jiyo saat pria itu masuk ke dalam ruangan dan menyapanya.
“Jadi nama kamu Kana ya?” sapanya ramah sambil berjalan cepat ke arah meja kerjanya saat melihat Kana berdiri menunggunya di ruangan.
Kana hanya bisa mengangguk cepat dan terlihat gugup karena sapaan Jiyo. Melihat Kana hanya diam, Jiyo segera menoleh dan menatap Kana dalam. Dipandangi dalam seperti itu membuat Kana tersedak karena terkejut. Ia baru menyadari bahwa atasannya ini berwajah sangat tampan.
Kulitnya yang putih bersih, wajahnya yang tampan bagai pangeran di cerita manga, tubuhnya yang tinggi dan atletis dibalut dengan kemeja dan celana kain membuatnya seperti model berjalan. Belum lagi aroma lembut parfumnya membuat perempuan mana pun ingin melompat ke dalam pelukan pria itu hanya untuk mengendus wangi tubuhnya.
“Kamu kenapa? Mukanya kok merah begitu?” goda Jiyo yang langsung mengerti bahwa Kana terpesona melihatnya.
Kana hanya menggelengkan kepalanya cepat dan kembali menunduk. Kemana saja ia beberapa hari ini, karena baru menyadari ada pria tampan sebagai atasannya.
“Kamu tahu gak kelebihan saya apa?” Pertanyaan Jiyo kembali membuat Kana linglung.
“Wajah diatas rata-rata dan kaya raya?” jawab Kana ragu dan membuat mata Jiyo membulat menatap Kana tak percaya.
Tawanya pecah dan masih memandang Kana yang kikuk tak percaya dengan jawabannya yang polos.
“Bukannn… bukan ituuu… saya cukup pandai menilai orang, Kana! Tapi okelah dengan jawaban kamu… itu saya juga setuju!” jawab Jiyo santai dan menatap Kana dengan pandangan berbinar karena merasa terhibur.
Ditatap seperti itu Kana hanya bisa menundukan matanya karena jantungnya tiba-tiba berdebar hebat.
“Duduk disini! Kita akan mulai kerja … kini aku tahu kenapa Mahesa merekomendasikan kamu padaku. Aku tahu kamu pasti masih gugup dan bingung, tapi pesanku jangan malu untuk bertanya, saya termasuk orang yang sabar dan bisa menjelaskannya sampai kamu benar-benar mengerti,” gumam Jiyo segera menyuruh Kana untuk duduk di hadapannya agar mereka bisa segera mulai bekerja.
Kana hanya bisa mengangguk dan segera duduk sambil komat-kamit berdoa dalam hati agar ia bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Karena ini pertama kalinya ia bekerja langsung dengan posisi yang jauh lebih tinggi dan berharap Jiyo tak langsung kecewa dengan hasil kerjanya.
Waktupun berlalu, tak terasa sudah dua jam Kana berada diruangan Jiyo sampai akhirnya Karina masuk ke dalam ruangan dan memberitahu Jiyo bahwa ia harus hadir di meeting yang lain.
“Besok pagi, tolong siapkan semua list yang aku minta ya … jangan lupa nanti malam ikut hadir di acara makan malam tim,” ucap Jiyo sambil bangkit dari duduknya dan menyambar Jas yang tergantung sebelum akhirnya ia keluar dari ruangan.
Kana merasa lega bukan kepayang, akhirnya ia diberikan waktu untuk melepaskan rasa gugup yang menguras energinya. Ia pun segera kembali ke dalam ruangan dimana mejanya berada. Ruangan itu tampak sepi hanya ada Hera yang tengah asik bekerja.
Kana pun segera kembali ke tempat duduknya saat Hera melihatnya dan berjalan menghampiri ke cubicle Kana.
“Ini buat kamu,” ucap Hera tiba-tiba meletakan sebatang coklat diatas meja Kana.
“Buat saya?”
“Katanya kalau makan manis, bisa bikin mood jadi lebih baik. Tadi aku gak sengaja lihat kamu nangis. Apa kamu dimarahin pak Mahesa? Ini cuma soal kerjaan Kana, apapun yang terjadi jangan dimasukin ke hati,” ucap Hera tampak cemas.
Kana menatap perempuan cantik dihadapannya. Perempuan cantik ini selalu bersikap elegan dan terkenal ramah juga perhatian. Untuk Kana, Hera adalah teman sekantor yang levelnya berada di kasta teratas. Semua atasan sampai kalangan direksi mengenalnya. Ia begitu ramah dan mudah membaur sehingga bisa berteman dengan siapa saja. Ia seolah selalu tahu memposisikan dirinya dimanapun.
Wajah cantiknya membuat banyak pria di kantor dan luaran sana menyukainya, tetapi pernah gagal berumah tangga membuatnya hati-hati dalam menjalin hubungan. Mahesa saja tampak senang berbincang dengan Hera.
“Makasih ya mbak … saya gak apa-apa kok,” ucap Kana merasa terharu karena merasa diperhatikan.
“Nanti malam kamu ikut, kan?” tanya Hera sambil tersenyum sebelum kembali ke tempat duduknya.
Kana hanya bisa mengangguk pelan. Ia sebenarnya merasa enggan untuk ikut, tetapi ia sadar bahwa dirinya harus bisa ikut membaur. Mengasingkan diri dari orang-orangnya yang membuatnya rendah diri tak akan menjadi solusi untuknya.
Tepat pukul 6 sore, seisi ruangannya telah kembali semua. Bahkan Gamila tampaknya baru pulang dari salon karena rambutnya terlihat sangat rapi.
“Yuk, berangkat!” ajak Karina tiba-tiba muncul didepan pintu ruangan.
“Kita akan makan malam dimana?” tanya Wisnu cepat sembari merapikan kemejanya sesaat.
“Restoran jepang di Mall tak jauh dari kantor. Pak Mahesa sudah suruh aku booking untuk ruangan VIP untuk kita semua,” jawab Karina sambil memainkan rambutnya.
“Hanya kita?” tanya Gamila yang tengah memperbaiki makeupnya.
“Ada beberapa manager juga yang akan bergabung, tetapi malam ini tentang kalian. So, have fun!” ucap Karina riang.
Kana hanya bisa menelan ludah dan merapikan tasnya sesaat. Entah mengapa ia merasa ragu untuk ikut bergabung dengan makan malam tim. Tapi akhirnya ia tak bisa menolak saat Wisnu mengajaknya untuk berangkat bersama.
Sesampainya di Mall, Hera segera menarik tangan Kana menuju toilet.
“Ayo dandan dulu sedikit, Kana,” ucap Hera sambil mengeluarkan kotak makeup nya.
“Aku bawa kok mbak,” tolak Kana merasa tak enak mengenakan kosmetik mahal milik Hera.
Ia segera mengeluarkan kotak kosmetikanya segera melepas kacamata untuk memberikan sedikit riasan dan lipstik di wajahnya. Hera menatap Kana dalam ketika ia melihat gadis itu melepas ikatan rambutnya dan menyisir rambutnya yang tebal dan Indah.
Dibalik kacamata Kana yang berbingkai tebal, wajah cantik Kana pun terlihat jelas. Bahkan menurut Hera kacamata Kana membuat Kana menjadi tampak misterius dan terlihat sensual, hanya saja gadis itu tak menyadarinya.
Bukan tanpa alasan mengapa mereka dipilih menjadi stafsus selain kemampuan mereka yang handal dalam pekerjaan, tetapi juga karena tampilan fisik Hera, Gamila dan Wisnu yang juga diatas rata-rata. Karena saat ini Jiyo dan Mahesa seolah tengah ingin menampilkan tim yang bisa mengintimidasi kompetitor mereka.
Hera sempat heran mengapa Kana terpilih menjadi bagian dari tim, karena untuk Hera, masih banyak karyawan lain yang berpenampilan menarik dan berkemampuan lebih dalam dunia pekerjaan dibandingkan Kana. Tetapi melihat kecantikan Kana yang disembunyikan sang empunya wajah, membuat Hera bertanya-tanya siapa yang memilihnya.
“Nah, kamu jadi lebih cantik sekarang,” puji Hera sambil mencuci tangannya dan tersenyum puas melihat Kana yang kini tampak sudah cocok bergabung bersama mereka setelah memoles wajahnya.
Kana hanya bisa tersenyum malu dan segera berjalan dibelakang Hera menuju restoran yang dituju. Kana sengaja memilih untuk duduk dipojok ruangan agar ia tak terlihat. Jiyo dan Mahesa duduk di meja panjang bersama manager yang lain. Gelak tawa terdengar renyah di dalam ruangan itu.
Hanya Kana yang sibuk makan dan sesekali mencuri pandangan ke arah Mahesa yang tengah tertawa riang bersama rekan dan anak buahnya. Kana tak bisa menyembunyikan degupan di d**a ketika melihat Mahesa tersenyum dan tertawa. Pria itu masih sama seperti dulu, selalu menawan dan membuatnya hatinya tak menentu.
Tapi kali ini melihat Mahesa juga membuat Kana sadar bahwa perbedaan mereka terlalu jauh. Mahesa terlihat cerdas dan begitu berwibawa. Ia tiba-tiba saja membayangkan apa yang terjadi jika ia benar-benar menjadi istri Mahesa dan membuat Kana menggelengkan kepalanya sendiri. Bersanding dan berusaha setara dengan Mahesa adalah bukan hal yang mudah, ia mungkin tak akan siap untuk itu.
Waktupun berlalu, akhirnya acara makan malam bersama itu pun usai. Mahesa terlihat sedikit mabuk sehingga segera pulang diantar supir kantor. Sedangkan yang lain sudah kembali dengan kendaraannya masing-masing kecuali Kana.
Gadis itu baru saja memeriksa sisa saldo di rekening nya agar ia bisa memutuskan untuk pulang dengan ojek online atau bisa sedikit bermewah-mewah dengan menggunakan taksi. Karena waktu hampir menunjukan waktu 11 malam.
“Kamu disini?” sapaan seseorang membuat Kana sedikit kelagapan. Terlihat Jiyo berada di belakang tubuhnya.
“Bapak belum pulang?” Kana balik bertanya sedikit gugup takut Jiyo melihat sisa saldo di rekeningnya.
“Nunggu supir, kamu pulang kemana? Ayo saya antar sekalian,” ucap Jiyo menawarkan tumpangan.
“Oh gak usah pak, saya naik ojek online aja. Lebih cepat!” tolak Kana cepat.
“Sudah gak apa-apa, ayo saya antar … ini sudah malam,”
“Kana! Kamu masih disini?” sapa Hera tiba-tiba sudah berada di antara Kana dan Jiyo.
“Loh, bapak juga masih disini?” tanya Hera menyapa Jiyo.
“Lagi nunggu supir, kalian pulang kemana? Ayo saya antar sekalian,” ucap Jiyo kali ini menawarkan tumpangan pada Hera.
“Akh, saya naik taksi aja pak … aman kok,” jawab Hera sambil mencoba berdiri tegak karena sempat oleng karena sedikit pusing akibat alkohol yang ia minum saat makan malam tadi.
“Sudah saya antar saja, bahaya … karena kalian sempat minum-minum bukan?” ucap Jiyo cemas melihat Hera yang sedikit mabuk.
“Saya gak minum pak, gak apa-apa saya pulang sendiri aja,” jawab Kana cepat tak ingin merepotkan atasannya.
Belum sempat Jiyo menjawab, sebuah mobil sedan mewah berhenti di hadapan mereka.
“Ayo naik,” ajak Jiyo sambil membukakan pintu depan dan pintu belakang. Tanpa ragu Hera segera naik memasuki bangku belakang mobil untuk duduk bersama Jiyo. Sedangkan Kana terpaksa masuk dan duduk didepan karena Jiyo memberikan kode dengan tangannya agar Kana ikut masuk.
Jiyo pun menyuruh supirnya untuk mengantarkan Hera dan Kana terlebih dahulu sebelum mereka pulang.
“Kalau begitu kerumah mbak Hera dulu, karena kost-kost an mbak Kana lebih dekat dari rumah pak Jiyo,” ucap pak Idrus sang supir.
Selama perjalanan Hera dan Jiyo begitu asik berbincang satu sama lain, sedangkan Kana hanya sibuk melamun menatap lampu jalanan Jakarta yang indah.
“Kamu kenal Willy?! Dia lagi ajak saya ketemu malam ini! Kamu mau ikut?” ajak Jiyo saat mendengar bahwa Hera juga mengenal salah satu sahabat baiknya.
Tiba-tiba ada hening sesaat dan membuat Kana menyadari bahwa Hera sepertinya merasa sungkan karena ada dirinya.
“Akh, saya turun disini saja pak …” ucap Kana tiba-tiba saat melihat halte busway tak jauh dari tempat mereka. “ Ayo pak, berhenti disini saja…”
“Loh, Kana …”
“Terimakasih atas tumpangannya ya pak … sampai ketemu besok!” pamit Kana dan segera keluar dari mobil dan berjalan tanpa menoleh kebelakang lagi ketika pak Idrus menepikan kendaraan agar Kana bisa turun dengan mudah.
Setelah melihat mobil Jiyo bergerak meninggalkannya, Kana menghela nafas panjang sebelum akhirnya ia memesan ojek online. Ada sedikit rasa getir di hatinya mengingat percakapan Hera dan Jiyo yang hangat dan tak melibatkan dirinya. Ia tampak seperti tidak ada dan rasa sungkan Hera membuatnya mengerti bahwa seharusnya ia tak ada disitu. Ia tak pernah terlihat dan tak pernah ada.
Bersambung.