Sejak kejadian harus menemani Jiyo untuk makan malam membuat Kana membongkar isi lemarinya. Setiap hari ia berusaha tampil baik dan sesuai dengan atasannya.
Di hari minggu ini ia sudah menyisihkan 5 pakaian yang akan ia gunakan setiap hari. Bahkan pakaian- pakaian itu sebenarnya pakaian yang sengaja ia simpan untuk acara-acara tertentu saja.
“Ya ampun baju aku sedikit sekali!” pekik Kana pada dirinya sendiri ketika ia mencoba untuk mempersiapkan baju yang lain untuk minggu depan.
“Inget, gak usah borosss!” teriak Sari dari speaker phone mendengar pekik suara Kana dari ujung sana.
Dua teman itu tengah berbincang santai cukup lama karena Sari merasa penasaran dengan apa yang dilakukan Kana di lantai 9.
“Tapi aku benar-benar kekurangan pakaian yang pantas,” keluh Kana.
“2 Minggu lagi kita gajian, abis gajian kita baru beli beberapa pakaian baru buat kamu, sekalian kamu traktir aku makan-makan dengan gaji baru! Aku iri, setiap hari kamu bisa lihat bos-bos ganteng disana.”
“Idihh, kalau kamu rasain sendiri kerja di lantai 9 pasti gak akan iri. Boro - boro bisa menikmati wajah bos ganteng, yang ada rasanya waktu cepet banget ilangnya sedangkan kerjaan masih banyak,” desah Kana sambil menatap matanya yang mulai menghitam karena seminggu ini kurang tidur.
“Tapi kan tetep seru! Apalagi bisa melihat pak Mahesa yang duda, Pak Jiyo yang masih lajang! Beuh! Heaven!”
Kana terdiam ketika mendengar nama Mahesa disebut. Duda? Apakah ia tak salah dengar?
“Du.. duda? Pak Mahesa duda kata siapa?” tanya Kana hati-hati.
“Kekeu lah! Dia kan intel satu gedung!”
“Gak mungkin! Mas … eh Pak Mahesa sudah menikah dan punya satu anak yang lucu banget! Mereka gak mungkin berpisah!”
“Udah cerai dari dua tahun yang lalu, tapi masih mengurus anak mereka bareng! Emang sih kalau lihat sosmednya banyak orang yang mendoakan mereka kembali bersama. Tapi sekali duda tetap duda! Duda selalu terdepan!”
Kana terduduk di ranjangnya lemas. Mendengar segala sesuatu tentang Mahesa selalu membuatnya lemas dan tak berdaya. Ia tak tahu apakah masih menyimpan perasaan padanya atau tidak. Bertemu sesaat dikantor saja sudah membuat energy nya habis karena merasa sedih.
“Sudah dulu ya,” pamit Kana tiba-tiba.
“Ih curang, lagi seru-serunya malah udahan!” ucap Sari kesal tetapi Kana segera mematikan komunikasinya.
Perlahan ia mengelus dadanya, karena tiba-tiba ada harapan di hatinya untuk bisa bersama lagi dengan Maseha, pria itu tak meninggalkan kenangan buruk apapun padanya selain kesalahannya yang satu itu.
Kana mengambil handphonenya dan menatap profile picture Mahesa yang ada di w******p nya. Pria itu masih sama dan semakin dewasa juga semakin tampan. Tiba-tiba Kana menatap dirinya di cermin dan membayangkan dirinya bersanding dengan Mahesa. Bayangannya hanya membuat matanya berkaca-kaca. Ia merasa tak pantas dan selalu merasa kisah cintanya hanya seperti mengejar angin, ia bisa merasakannya tetapi tak dapat disentuh.
***
“Pagi-pagi kok murung?” sapa Hera pada Kana yang tengah asik dengan pekerjaannya pagi itu. Kana mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Hera.
“Lagi serius aja mbak, soalnya pak Jiyo tunggu file ini nanti saat ia tiba di kantor,” jawab Kana perlahan.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanya Hera menawarkan diri pada Kana.
“Ada mbak, menggantikan aku meeting menemani pak Jiyo,” keluh Kana perlahan. Walau ia sedang berusaha beradaptasi, tetapi pergi meeting dengan atasannya yang satu itu selalu seperti mimpi buruk untuk Kana.
Ia takut bersikap, ia takut salah mendengar informasi dan takut salah mengerjakan segala sesuatunya.
“Ohya, memangnya pak Jiyo akan meeting kemana?” tanya Hera terdengar antusias membuat Kana segera menoleh pada perempuan cantik dihadapannya. Mata Hera yang tampak berbinar membuat Kana sadar sepertinya Hera menyukai Jiyo.
“Hari ini meetingnya gak kemana-mana, dikantor aja tapi aku rasanya tegang banget mbak,” jawab Kana cepat.
“Akh, kamu … udah santai aja, kamu pasti bisa. Ya udah, teruskan pekerjaanmu sebentar lagi jam 10 dan pak Jiyo pasti sudah sampai.”
Kana mengangguk cepat dan segera menuntaskan pekerjaannya sebelum ia bergegas menuju ruang meeting untuk menyiapkan materi presentasi yang akan dilakukan Jiyo.
Kana tengah mencoba materi presentasi di layar tivi di ruangan meeting ketika seseorang masuk dan menyapa.
“Pagi…,” jawab Kana hampir tersedak saat menyadari yang menyapanya adalah Mahesa.
“Apa aku mengganggu? Teruskan saja,” tanya Mahesa ketika melihat Kana kelagapan.
“Nggak, sudah selesai kok, saya hanya simulasi saja,” jawab Kana cepat segera merapikan laptop.
“Kana, client pak Jiyo sudah sampai,” ucap Karina tiba-tiba muncul dipintu ruang meeting membuat Kana segera berdiri dan berjalan bergegas keluar pintu dan tak sengaja menyentuh kulit tangan Mahesa yang berdiri di tempatnya melintas.
Jantung Kana berdegup tak karuan, sentuhan tipis itu mengacaukan perasaannya. Dadanya terasa sesak ketika menyadari bahwa pria itu masih berarti untuknya.
Tak lama ruang meeting pun penuh dengan client dan meeting pun dimulai. Kana berusaha berkonsentrasi dan fokus pada pekerjaannya tanpa menyadari bahwa Mahesa mencuri pandang padanya.
Sejak pindah ke lantai yang sama, Kana terlihat berbeda. Walau ia masih menyembunyikan wajah cantiknya di balik kacamata, tetapi ia mulai kembali seperti Kana yang dulu. Walau gadis itu terlihat tertutup, tetapi langkah ringannya tanpa beban membuat Mahesa selalu tersenyum dan merasa senang.
Dulu, ia merasa Kana gadis yang masih polos dan tak mengerti apa-apa. Menatapnya penuh cinta membuat kesenangan tersendiri untuk Mahesa. Kini setelah 3 tahun berlalu, ia tak tahu apakah gadis ini masih sama. Melihat sikapnya nampaknya kini Kana telah lebih dewasa dan mengerti kerasnya hidup.
Selesai meeting, Mahesa, Jiyo dan Kana kembali meeting bersama dengan timnya. Kedua atasan itu akhirnya memutuskan untuk memesan makanan dan makan siang bersama sambil meeting.
Tentu saja yang sibuk bolak balik untuk menyiapkan segalanya adalah Kana. Ia naik turun lantai untuk mengambil makanan dan menyajikannya diatas meja. Ketika semua orang mulai makan, Kana masih melirik ke kanan dan ke kiri untuk mencari tempat agar dirinya bisa duduk bersama diantara mereka semua tetapi meja besar itu kini tampak penuh dan sempit penuh orang, berkas dan laptop selain makanan diatasnya.
Kana memutuskan untuk mengambil makanannya dan kembali duduk di mejanya.
“Kana, kamu duduk disini dong,” ajak Gamila saat melihat Kana memisahkan diri.
“Penuh mbak, aku makan disini saja,” ucap Kana cepat sambil sibuk memasukan hampir setelah mangkok mie ayam ke dalam mulutnya.
Selesai makan, merekapun kembali bersiap untuk meeting internal. Kana segera mengunyah makanan terakhirnya sambil bergerak mengambil kursi dan duduk disamping Hera yang duduk di samping Jiyo.
Sebuah botol minuman dengan tutup yang telah dibukakan berada dihadapan Kana ketika Kana masih mengunyah makanan dan menutup mulutnya dengan tangan.
“Ayo, minum nanti keselek,” suruh Jiyo dan membuat Kana hanya bisa mengangguk pelan.
Sikap perhatian Jiyo membuatnya tersentuh. Hatinya baru merasa akan berbunga-bunga tetapi langsung padam ketika melihat Jiyo perlahan menarik kursi Hera untuk duduk lebih dekat dengannya.
Wajah Hera pun terlihat sedikit tersipu dan kejadian itu hanya disadari oleh Kana. Ada sedikit rasa malu di hati Kana saat ia menyadari bahwa Jiyo hanya perhatian padanya karena sikapnya yang terbiasa menghormati wanita dengan baik. Dan ia malu sendiri karena sempat merasa spesial untuk Jiyo karena sikapnya.
Tapi sikap Jiyo yang membuat perasaan Kana naik turun tak berhenti disitu. Tiba-tiba saja saat waktu pulang kerja tiba Jiyo mengajaknya pulang bersama di depan banyak orang.
“Kana, kamu mau ikut saya pulang gak? Rumah kita searah kan? Sekalian saya ingin dikte-in kamu soal surat yang harus dikirimkan ke Pak Yogi. Pak Idrus soalnya hari ini lagi cuti jadi saya nyetir sendiri,” ucap Jiyo santai membuat satu ruangan itu menoleh pada Kana.
Melihat seluruh orang menoleh ke arahnya Kana segera menoleh ke arah Hera seraya berkata,
“Mbak Hera bareng yuk, rumah kita juga searah, lagi pula aku deg… deg … gan kalau cuma berduaan sama pak Jiyo, gak ngerti ngajak ngobrolnya,” ucap Kana spontan dengan membuat gerr satu ruangan.
“Apaan sih kamu? Yuk, siapa yang mau ikut lagi. Kamu jadi ikut kan Hera?” tanya Jiyo mengalihkan pandangannya pada Hera.
Kana bisa melihat pandangan Jiyo dan Hera yang saling berbinar menatap satu sama lain walau yang lain tak menyadari. Perempuan itu hanya bisa menghela nafas panjang dan menyadari bahwa kehadirannya dibutuhkan Jiyo untuk bisa dekat dengan Hera.
Bersambung.