"Lewat sini, Ra."
Lara mengikuti Ivan yang mengantarnya ke kantor yang sudah berisi banyak orang. Ivan menunjuk sebuah meja kecil di ujung kantor itu. Teman kuliahnya itu menaikkan kacamatanya dan menepuk bahu Lara dengan ringan.
"Aku pikir kau tak jadi magang di sini, jadi bagian arsitek sudah kutawarkan pada orang lain. Ini kantor manager kontruksi dan beberapa stafnya. Aku tahu kau lebih suka menggambar, tapi cuma ada tempat di departemen ini sekarang. Kalau ada tempat di kantor arsitek, aku akan mengabarimu," kata Ivan.
Lara menggeleng. "Tidak perlu. Aku tetap di sini saja. Terima kasih sudah mengantarku, Ivan," kata Lara.
"Tidak masalah. Oh iya, sebentar lagi akan ada pertemuan dengan petinggi Lavingston Grup. Kau bisa datang. Sebelumnya, kau bisa berkenalan dulu dengan manager dan staf di sini."
"Aku akan melakukannya." Lara memanggil Ivan sebelum laki-laki itu pergi. "Ivan - Maksudmu petinggi itu - apakah mereka dari keluarga Lavingston?" tanya Lara.
Ivan tertawa kecil. "Tentu saja. Kantor ini bagian dari Lavingston Grup. Direktur utama adalah anak pertama keluarga Lavingston. Dia bekerja di kantor pusat dan jarang sekali dia datang ke sini. Jadi siang nanti, semua orang harus menyambutnya."
Lara mencengkeram tasnya dengan erat. Dua minggu yang lalu, jurusannya membagi daftar perusahaan tempat mahasiswa magang dan Lara sangat terkejut ketika ia harus magang di Lavingston Grup. Lara sudah menemui dosen pembimbingnya untuk memilih tempat magang lain, dosennya memperbolehkan - asalkan Lara sendiri yang menemukan perusahaan yang menerimanya magang. Tapi semua kantor arsitek di kota itu sudah penuh dengan teman-temannya yang lain. Lara juga tak mungkin menunda magangnya hanya untuk menghindari laki-laki yang ditemuinya di klub itu.
Mendengar nama Lavingston membuat lara teringat dengan laki-laki itu. Laki-laki yang tak ingin Lara temui lagi. Tapi - jika laki-laki itu anak keluarga Lavingston - ia pasti akan memiliki jabatan tinggi di kantor pusat, kan? Mungkin Lara tak akan bertemu dengannya. Mungkin perempuan itu hanya berpikir berlebihan.
Tidak ada anak magang yang bertemu dengan petinggi perusahaan di kantor yang luas seperti ini. Setidaknya jika Lara melihatnya nanti, ia bisa menghindarinya.
"Kalau tak ada yang ingin kau tanyakan lagi, aku pergi dulu," kata Ivan lalu meninggalkan Lara.
Perempuan itu pun berjalan ke masuk ke ruangan. Semua orang menatapnya dan terlihat ramah. Salah satu karyawan muda yang duduk di belakang mendekati Lara dengan senyum lebar.
"Kau pasti anak magang baru, kan? Ayo masuk, kau bisa memperkenalkan diri dulu pada semua orang di sini," kata perempuan itu.
Lara tersenyum canggung. "Halo semuanya, perkenalkan nama saya Lara - mahasiswa tingkat empat Cayetana University. Saya akan magang di sini selama dua bulan, jadi mohon bantuannya semuanya," ucap Lara.
Perempuan di sampingnya - yang tampak paling muda di kantor itu menepuk bahu Lara. "Tak perlu begitu kaku. Karyawan di sini tak ada yang menakutkan dan pekerjaannya juga tak ada yang berat." Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Oh iya, kenalkan aku Sasha, asisten manager di sini. Aku nanti yang akan menjadi pembimbing lapanganmu, jadi kau bisa tanya-tanya ke aku - saat aku tak sibuk."
"Salam kenal Sasha," kata Lara sambil menjabat tangan Sasha.
"Ayo aku antar ke mejamu," kata Sasha sambil menarik Lara ke mejanya.
Seperti yang ditunjuk Ivan, meja itu berada di ujung ruangan. Lara melirik pintu besar yang tepat ada di belakangnya. Ruangan yang di atasnya tertuliskan Manajer Konstruksi Tim A.
"Ini ruangan bos. Karena kau anak magang, kau bisa membantu bos jika ada perlu." Sasha berbisik di telinga Lara. "Maksudku membuatkannya kopi, membelikan makan siang, atau membersihkan mejanya. Selama ini aku yang melakukannya karena aku paling muda di sini. Tapi sekarang aku bukan lagi yang paling muda, kan? Jadi - semangat, Lara. Bos kita tak semengerikan yang kau kira, kok. Tenang saja," kata Sasha dengan senyum kecil.
Lara menatap pintu yang masih tertutup rapat itu. "Jadi dimana bos sekarang? Apa aku harus menyapanya?"
"Bos tak ada di kantor. Dia sedang menjemput direktur utama di kantor pusat." Sasha melirik jam tangan mungilnya. "Ini sudah jam sebelas. Sepertinya kita harus segera ke Aula. Direktur utama mungkin sudah datang," kata Sasha sambil menarik Lara pergi.
Lara meletakkan tasnya dan mengikuti Sasha. "Siapa nama direktur utama itu?" tanya Lara penasaran.
"Anak pertama keluarga Lavingston. Kau tak tahu?" tanya Sasha ketika mereka berjalan di lorong bersama karyawan lain.
Lara menggeleng. "Memangnya keluarga Lavingston memiliki berapa anak?"
"Dua laki-laki. Aku akan menceritakan semuanya nanti setelah pertemuan ini," kata Sasha ketika mereka masuk ke aula yang sudah banyak orang.
Lara melihat Ivan dan mengangkat tangannya pada laki-laki itu. Lara mengikuti Sasha dan duduk di kursi paling belakang. Ruangan itu sudah penuh dengan orang-orang. Dan di depan sudah berjajar para petinggi kantor untuk menyambut direktur utama.
"Sasha, aku ingin ke toilet sebentar," kata Lara sambil berdiri.
Berapa lama pun Lara pikir, ia tak ingin bertemu laki-laki bernama Damian itu lagi. Laki-laki itu adalah anak keluarga Lavingston dan mungkin dia adalah direktur utama yang ditunggu semua orang. Lara tak ingin bertemu dengannya - jadi ia harus keluar dari ruangan itu.
"Apa kau tahu toiletnya dimana? Apa aku perlu mengantarmu?" tanya Sasha.
Lara menggeleng. "Tidak perlu. Aku tahu toiletnya dimana," ucap Lara lalu meninggalkan ruangan itu.
Kantor itu sudah sangat sepi karena semua orang di aula. Lara segera mencari toilet, karena tak ingin seseorang melihatnya tak mengikuti pertemuan itu. Setidaknya di toilet ia akan aman dan tak ada yang menemukannya. Perempuan itu membuka toilet di ujung lorong dan menatap wajahnya di kaca toilet.
Rambut hitamnya yang lurus sebahu ia ikat dengan rapi. Padahal Lara tak suka mengikat rambutnya. Tapi untuk hari pertamanya magang di tempat ini, Lara berpenampilan sebaik mungkin. Termasuk setelan baju kerja yang baru ia beli kemarin dengan gajinya di bar. Sebuah kemeja biru dan rok span hitam yang tak terlalu pendek. Juga sepatu hak tinggi yang ia pinjam dari Vema - teman kerjanya di bar.
Perempuan itu tengah asik menata rambutnya ketika tiba-tiba pintu toilet di belakangnya terbuka. Dan Lara sangat terkejut karena melihat seorang laki-laki keluar. Laki-laki yang sedari tadi ingin Lara hindari.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lara dengan tatapan tajam.
Yang benar saja. Meskipun dia anak pemilik perusahaan, dia tetap tak boleh berada di toilet perempuan, kan? Apa dia juga sedang berbuat m***m di toilet? Apa wanita-wanita di klub malam itu tak cukup untuknya?
Lara tak habis pikir.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu. Apa yang kau lakukan di sini?" tanya laki-laki itu dengan wajah datar.
Laki-laki itu mengenakan setelan mahal berwarna hijau emerald. Terlihat sangat pas di tubuhnya yang indah. Lara mencoba tak memandang tubuh laki-laki itu terlalu lama. Dengan langkah santai, laki-laki itu mencuci tangannya di samping Lara. Menatap wajahnya di cermin dan tak menghiraukan Lara sedikit pun.
"Tentu saja untuk -" Lara menghentikan perkataannya. "Kau tahu untuk apa aku ke toilet. Yang harus dipertanyakan adalah kau. Untuk apa kau di toilet perempuan?" tanya Lara tajam.
Laki-laki itu melirik Lara dari kaca toilet. "Toilet perempuan?"
"Benar. Toilet perempuan. Memangnya apa -"
Perkataan Lara terhenti ketika ia melirik pintu toilet. Perempuan itu langsung menyesali perkataannya. Bagaimana bisa ia salah masuk toilet? Dengan jelas itu toilet laki-laki. Bagaimana bisa Lara tak melihatnya?
Lara segera mundur ke belakang. "Maaf, aku tak tahu kalau ini toilet laki-laki," kata Lara sambil menunduk.
Wajah laki-laki itu seketika menajam. Laki-laki itu berjalan cepat ke pintu dan menghalangi Lara. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Damian.
Lara mengangkat kartu karyawan yang menggantung di lehernya. "Aku magang di sini, Tuan Lavingston," kata Lara.
Damian tersenyum miring. "Tuan Lavingston? Rupanya kau sudah mengenalku. Terakhir kali kau bilang tak tahu siapa aku," kata Damian.
Lara mendongak dan mencoba menyembunyikan ketakutannya. "Maaf karena tak mengenalimu, Tuan Lavingston. Saya tak ingin membuat masalah dengan Anda, jadi bisakah Anda membiarkan saya keluar?" tanya Lara.
"Kau benar. Memang seharusnya kau tak mengenaliku di bar, tapi harus mengenaliku di sini, karena aku adalah bosmu. Bukannya begitu?" tanya laki-laki itu.
"Tuan Lavingston -"
"Jangan memanggilku Tuan Lavingston!" bentak laki-laki itu.
Lara begitu terkejut hingga tubuhnya menegang dan matanya memanas. Lara tak pernah terbiasa dengan bentakan. Apalagi dengan tatapan tajam yang kini laki-laki itu layangkan padanya. Lara tak pernah terbiasa. Hal seperti ini selalu mengingatkan Lara pada ayahnya. Ayahnya yang selalu memukulinya dan membentaknya tanpa ampun.
"Kau - kau tak per-lu mem-bentakku seperti itu," lirih Lara dengan bergetar.
Laki-laki itu tertawa kecil. "Kau menangis?" Damian mendekati Lara yang seketika mundur karenanya. "Dengar, jika kau berpikir bisa menarik perhatianku dengan air matamu, kau salah besar. Sudah kubilang kan, dua orang bisa bertemu secara kebetulan dua kali, tapi tidak untuk yang ketiga kalinya. Kalau kau sengaja magang di sini untuk mendekatiku, lebih baik kau segera pergi dari sini karena aku benci perempuan cengeng sepertimu," kata laki-laki itu lalu pergi meninggalkan Lara.
Lara yang mengutuk dirinya sendiri - karena memperlihatkan kelemahannya di depan laki-laki itu dan tak membalas apapun untuk membela diri sendiri.