Lara melihat buku yang tertata rapi di ruangan itu. Melayangkan matanya kemanapun, kecuali pada laki-laki di depannya. Lara tak pernah suka bertatapan dengan seorang psikiater, karena ia merasa ditelanjangi. Tapi sial-nya, ia harus bertemu dengan psikiater setiap minggu untuk mengantar ibunya. Ibunya yang mengalami gangguan jiwa akibat masa lalunya. Ibunya yang bahkan tak mengenali Lara dan adiknya lagi. Mengingat itu, Lara begitu sedih hingga rasanya ia ingin mengubur dirinya di dasar laut.
"Sekarang berapa obat yang Anda minum setiap hari?" tanya laki-laki di depannya.
"Dua -"
"Tiga. Ibu saya masih meminum tiga butir." Lara menggenggam tangan ibunya yang entah kenapa selalu dingin. "Ibu tak ingat? Tiga butir, Bu. Aku yang menyiapkan untuk Ibu kemarin," kata Lara pada ibunya.
Ibunya mengangguk, seperti anak kecil yang selalu setuju pada perkataannya. Lara tersenyum kecil lalu menghadap psikiater di depannya lagi, berusaha menatap agak ke atas, agar tak langsung bertemu matanya.
"Baiklah. Tiga. Kalau begitu saya akan memberikan obat untuk satu minggu kedepan. Tiga butir setiap hari," kata laki-laki itu sambil melirik Lara dengan tatapan misteriusnya.
Psikiater itu menulis sesuatu di kertas - cukup lama, lalu memberikannya pada asisten di sampingnya. Laki-laki itu menutup pulpennya lalu menatap Lara dengan datar.
"Ibumu menunjukkan sedikit perkembangan. Selain obatnya yang sudah mulai berkurang, dia sudah banyak bercerita tentang dirinya. Dari ceritamu tadi, sepertinya nafsu makannya juga naik akhir-akhir ini. Wajahnya sudah mulai berekspresi dan bahkan sudah bisa menjawab pertanyaanku tanpa menatapmu. Saat ia datang pertama ke sini, ia bahkan tak bisa menatapku dan selalu bersembunyi di belakangmu. Dilihat dari besarnya rasa traumanya, ibumu sudah menunjukkan keinginannya untuk sembuh."
Asisten psikiater itu datang dan memberikan obat Viola pada Lara. "Terima kasih," kata Lara sambil siap-siap berdiri.
"Monica, bisakah membawa Nyonya Viola keluar sebentar. Aku ingin berbicara berdua dengan Lara," kata psikiater itu.
Asisten yang dipanggil Monica itu mengangguk lalu menuntun Viola keluar dari ruangan. Lara duduk kembali. Menatap laki-laki di depannya dengan bertanya-tanya.
"Apa yang ingin kau katakan, Dok?" tanya Lara.
"Aku tahu kau membohongiku, Lara. Ibumu tidak meminum tiga butir. Dia hanya meminum dua butir selama dua bulan ini. Kemarin Daran yang mengantarnya dan ibumu berkata ia selalu meminum dua butir selama dua bulan ini. Apa kamu meminum sisanya? Kamu membohongiku selama ini, Lara?" tanya psikiater itu dengan wajah penuh amarah.
Lara tak membalas tatapan laki-laki itu. "Aku tak melakukannya," kata Lara.
"Tatap aku, Lara. Kau selalu tak berani menatapku jika berbohong. Kau benar-benar meminumnya? Apa kau tahu obat apa itu? Itu obat antidepresan yang berat. Kau tak boleh meminumnya sembarangan. Itu harus diresepkan oleh dokter, Lara. Dan kau bukan dokter!" Romn berdiri lalu menyugar rambutnya dengan kasar. "Bagaimana jika kau alergi? Aku bahkan tak tahu riwayat penyakitmu. Kau pikir semua orang bisa meminum obat yang sama? Kau anggap apa aku di sini! Dan Ya Tuhan -"
Romn mendekati kursi Lara dan mengurung perempuan itu dengan tangannya. "Katakan padaku kau tidak minum alkohol selama ini. Ya Ampun, kau bekerja di bar. Kau tahu apa akibatnya meminum obat itu dengan alkohol?"
Lara menjawab santai, "Aku tak minum."
Romn sedikit lega meskipun tidak sepenuhnya. "Lara, kenapa kau melakukannya? Ada apa denganmu? Kau selalu bisa bercerita padaku, Lara. Apa kau masih menganggapku orang asing?"
"Tidak. Tapi jika aku bercerita, aku harus membayar, kan? Kau tidak mendengarkan cerita orang dengan gratis."
"Lara!" panggil Romn dengan kecewa.
"Romn, aku berterima kasih atas kekhawatiranmu, tapi aku baik-baik saja. Aku hanya meminum obat ibuku tiga kali - dan aku baik-baik saja. Aku hanya -" Lara menelan ludahnya, teringat mimpi buruknya yang kembali menghantuinya beberapa hari ini. "Mimpi buruk. Dan aku butuh obat itu. Sekarang aku baik-baik saja."
"Kau serius? Tapi, kenapa kau menginginkan tiga dosis lagi untuk ibumu? Bukannya kau ingin meminumnya lagi, Ra?" tanya Romn.
"Kalau begitu, ambil kembali saja obat sialan ini!" kata Lara sambil memberikan kotak obat yang ia pegang.
"Tanpa kau minta, sudah kuberikan tepat dua dosis untuk ibumu. Kau tidak boleh meminumnya lagi, Lara. Berbicaralah padaku dan aku akan meresepkanmu obat - jika memang perlu," kata Romn.
"Aku tidak butuh."
"Semoga memang begitu." Romn kembali duduk di kursinya. "Aku jelas merasa dirimu tidak baik-baik saja dan tebakanku tidak pernah salah, Lara. Tapi tetap saja - aku ingin kau baik-baik saja, seperti yang kau katakan. Aku akan menunggu sampai kau bercerita dan mempercayaiku."
"Kalau pun aku butuh pengobatan, aku akan berobat pada psikiater lain, Romn. Yang pasti bukan kau," kata Lara.
Romn terlihat bingung, "Kenapa?"
"Karena kau terlalu banyak melibatkan perasaan. Aku tak menyukainya," kata Lara lalu melangkah keluar dari ruangan Romn.
Romn tersenyum kecil, "Kau mungkin akan terkejut betapa aku sudah menahan perasaanku selama ini," lirih laki-laki itu.
****
Lara hampir jatuh tersungkur ketika seseorang menabraknya. Lara memegang dinding tangga di sampingnya. Mendesah pelan melihat segerombolan perempuan di depannya itu. Salah satu dari mereka menoleh ke belakang dan tersenyum miring pada Lara - seperti mengejeknya.
Benar. Lara sudah sering mendapatkan perlakuan seperti itu. Sudah menjadi rahasia umum kalau Lara anak miskin yang bekerja di klub malam dan memiliki ibu gila. Bahkan tak jarang Lara mendengar beberapa orang memanggilnya p*****r. Tapi Lara tak peduli. Enam bulan lagi ia akan lulus dan Lara akan mengubur semua kenangan di tempat ini dalam-dalam.
"Kau lihat pembicara yang berambut panjang itu? Dia terlihat manis, bukan? Aku suka melihat senyumnya yang manis tapi agak nakal itu. Siapa namanya? Damian Lavingston? Aku tak menemukan namanya di internet. Apa ia lulusan baru juga?"
Lara memasuki ruang seminar, mendengar beberapa orang membicarakan salah satu pembicara seminar. Lara berjalan dari barisan belakang dan tak menemukan kursi kosong - kecuali kursi yang paling depan, di samping beberapa dosen dan tamu undangan. Lara dengan hati-hati duduk di kursi yang paling ujung, berharap kedatangannya tak terlihat.
Perempuan itu meletakkan tasnya di sampingnya dan saat itulah ia mengerti kenapa ruangan itu penuh dengan bisik-bisik. Penuh pembicaraan tentang pembicara yang kini duduk di tengah panggung. Orang yang paling mencolok itu memang wajar untuk dibicarakan semua orang.
Laki-laki itu hanya duduk, dengan kaki tersilang rapat dan tangan yang bersandar pada bahu kursi di sampingnya. Tak ada hal berbeda yang ia lakukan, hanya terlihat fokus pada pertanyaan moderator padanya. Tapi, entah kenapa - kehadirannya menyita semua perhatian orang di ruangan itu. Begitu mencolok, dominan, dan misterius. Ketajaman yang entah kenapa bisa membuat siapapun jatuh pada pesonanya. Begitu pun Lara yang sedari tadi memperhatikan laki-laki itu.
"Jadi, Anda baru pulang menyelesaikan studi di Belanda dan langsung diserahi proyek sebesar ini oleh Lavingston Group? Apakah ini pertama kalinya Anda memimpin proyek menara 100 lantai, Tuan Damian?" tanya moderator yang terlihat gugup saat bertanya pada laki-laki itu.
Lara pikir tak ada lagi yang mengejutkan, tapi semua itu salah ketika Lara mendengar suara laki-laki itu untuk pertama kalinya. Seperti suara batu yang terjatuh, begitu dalam, dingin, dan kuat. Lara seperti tersekat di dalamnya. Kenapa orang asing itu begitu menarik perhatian semua orang? Bahkan Lara belum melihat wajahnya dengan jelas.
Laki-laki bernama Damian itu memakai setelan formal berwarna hitam. Jam tangan mahal bertengger di pergelangan tangannya. Rambutnya terlihat kasar, sedikit ikal dengan poni menutupi dahinya. Hanya setengah matanya yang terlihat, tapi Lara bisa menerka seberapa tajam tatapan laki-laki itu. Seperti bersembunyi di balik tirai dan sewaktu-waktu bisa menghunuskan pedang padanya. Lara menyentuh lengannya tanpa sadar, entah kenapa kulitnya merinding.
Biasanya Lara mencatat semua hal saat mengikuti seminar, tapi kali ini Lara tak bisa fokus. Hingga seminar selesai dan tanpa sadar, semua orang sudah pergi. Lara memasukkan bukunya dan keluar dari ruangan. Mengutuki kebodohannya karena menghabiskan waktu dua jam tanpa melakukan apapun. Melihat wajah laki-laki asing dan mengamati semua pergerakan wajah dan ekspresinya adalah hal paling tak berguna yang pernah Lara lakukan.
Lara sampai di lokernya. Perempuan itu mengambil kunci loker di tasnya dan karena tangannya yang bergetar - perempuan itu menjatuhkan kuncinya. Lara mengikuti kunci itu berlari dan akan mengambilnya ketika ia menabrak sesuatu yang keras. Lara mendongak dan terjatuh ke belakang ketika tahu ia baru saja menabrak pangkal paha seseorang. Lara menyentuh kepalanya dan segera mengambil kuncinya. Tapi sebuah tangan lebih dulu mengambilnya.
"Ini," kata orang itu.
Lara berdiri dan menerima kunci itu. Harus mendongak cukup tinggi untuk melihat orang di depannya itu. Lara yang tingginya hanya 155 cm harus mendongak melihat laki-laki dengan tinggi 185 cm di depannya. Dan Lara pun - tersedak oleh dirinya sendiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya laki-laki itu melihat Lara terdiam.
"Ya. Aku tidak apa-apa," kata Lara.
Laki-laki itu mengangguk, lalu memberikan kunci itu padanya. Lara tak pernah - sekalipun dalam hidupnya - melihat seseorang dengan tatapan mata segelap itu. Kalau di seminar tadi Lara tak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas. Sekarang Lara bisa melihatnya dan kini perempuan itu tahu kenapa semua orang membicarakan laki-laki asing itu. Perpaduan tak manusiawi antara tatapan gelap dan wajah bak dewa. Lara tak pernah merasa terintimidasi oleh siapapun selama ini - tapi sekarang itulah yang Lara rasakan. Seolah mata itu mendobrak semua pertahanannya dan memasuki semua ruangan di hatinya. Seolah sedang membawanya ke kegelapan yang tak pernah Lara bayangkan sebelumnya.
Perempuan itu tertegun, menerima kunci itu dengan tangannya yang sedikit bergetar. Lalu laki-laki itu tersenyum kecil - senyum yang cukup mematikan untuk pertemuan pertama mereka. Sampai membuat Lara bergeming, seperti menunggu dengan pasrah kehancurannya. Lalu, seolah tak terjadi apa-apa, laki-laki itu pergi. Dan Lara hanya melihat punggung laki-laki itu dari belakang. Menatap penuh kebingungan pada punggung lebar yang terbungkus kemeja hitam itu.
Apa seseorang bisa tahu apakah orang lain akan berdampak buruk pada dirinya di pertemuan pertama mereka?
Lara bisa menjawabnya dengan yakin. Bisa. Karena itulah yang ia rasakan sekarang. Lara merasa - jika ia bertemu dengan laki-laki itu lagi - ia akan berada dalam bahaya.
Tapi tetap saja, Lara tak bisa menolak pesona laki-laki misterius itu. Entah karena perempuan itu ingin tahu kenapa laki-laki itu menutupi dahi sebelah kirinya dengan rambut panjangnya. Entah karena Lara ingin tahu kenapa tatapan laki-laki itu begitu gelap dan dingin. Entah karena Lara ingin tahu kenapa ia tak bisa berhenti menatapnya. Atau karena ingin tahu, kenapa tubuhnya bergetar ketika laki-laki itu berada di dekatnya.
Lara ingin tahu.
Semua tentang laki-laki misterius itu. Kenapa matanya begitu dingin dan terlihat begitu kesepian. Seperti laki-laki itu hidup sendiri di dunia yang sangat besar ini. Kenapa Lara tak bisa melepaskan tatapannnya pada laki-laki di depannya, padahal Lara tak pernah tertarik dengan laki-laki manapun sebelum ini.
Tapi, Lara tahu ia tak punya keberanian, bahkan hanya untuk menyusul dan mengajaknya untuk bicara. Meskipun tubuhnya menunjukkan ketertarikan yang sangat dalam dan besar, Lara menahannya dengan sekuat tenaga. Lara terlalu hidup lama dalam persembunyiannya, jadi ia selalu tak memiliki keberanian.
Karena Lara tahu - sejak bertatapan dengan mata gelap laki-laki itu - Lara tahu. Laki-laki bernama Damian Lavingston itu bukan laki-laki biasa - dan Lara tak memiliki waktu dan tenaga - untuk terlibat dengan makhluk misterius itu.
"Lupakan laki-laki itu, Lara!" ucap perempuan itu sambil menepuk pipi kanannya agar sadar. Sadar dari ketertarikan yang hanya membawa mimpi buruk baginya.
Dan perlahan - punggung laki-laki itu menjadi sangat kecil dan Lara tak bisa melihatnya lagi. Tapi entah kenapa, wajah dan aroma laki-laki itu masih tertinggal jelas dalam ingatannya.