BAB 2

810 Words
Karena ini hari minggu aku sengaja untuk bangun agak siang, meskipun tidak sampai di atas jam delapan itu sudah termasuk siang buatku. Kuraih ponsel yang berdengung di atas meja persegi di samping tempat tidurku.   Tidak biasanya Bara sudah bikin keributan pagi-pagi gini, di hari libur pula.   "Ya," jawabku masih dengan nada malas.   "Syukurlah kau sudah bangun, Ems."   "Ya kenapa ?" sahutku ketus untuk ukuran telinga laki-laki jawa macam Bara yang masih suka bicara pakai kosakata yang pantas.   "Dua puluh menit lagi aku kerumahmu."   Tut ! telfon di tutup, ugh sepertinya dia mulai belajar tatakarama dariku.   Terpaksa aku harus segera turun dari tempat tidur, karena si Bara akan segera ke sini.   Kira-kira setengah jam Bara baru datang karena terdengar suara mobilnya parkir di halaman. Aku baru selesai melakukan pemanasan sebelum melakukan gerakan inti senam yogaku ketika ku lihat Bara memasuki pintu samping.  Aku tak terlalu menghiraokannya karena masih melenturkan tulang belakangku dengan posisi tubuh condong kebelakang.   "Hay,"sapanya, dan aku hanya melihatnya sekilas dari balik bulu mataku yang terbalik.   Kemudian aku berbalik badan dan berdiri tegak meregangkan otot lengan. Bara berjalan menuju sofa tak jauh dariku, dia duduk di sana untuk beberapa lama. Dia belum bicara, dan hanya melihatku seperti tontonan aneh. Sudah kubilang dia memang terlalu sopan untuk menggangguku, seperti biasa dia menunggu ritual pagiku sampai selesai dengan sabar.   Aku berjalan kedapur untuk mengambin botol air mineral yang langsung kuteguk saat berjalan kembali mendatangi Bara yang masih duduk anteng di tempatnya sambil memutar-mutar kunci mobilnya yang menimbulkan bunyi bergemericik, seperti dia senaja memgusir kepanikannya sendiri, dan bagiku itu mencurigakan.   "Ada apa?"tanyaku masih berdiri di depannya.   "Apa kau tetap tidak akan ikut dalam pendakian?"   "Kupikir kau sudah tau aturanya," dia mengangguk tapi seperti tak putus harapan bahwa aku akan ikut suatu saat, "lagipula banyak tugas kuliahku yang masih terbengkalai."   "Aku mengerti," dia nampak kecewa, tidak seperti biasanya dan entah mengapa aku merasa pendakian kali ini sepertinya cukup penting baginya. Tidak biasanya dia sampai rela datang pagi-pagi kerumahku hanya untuk menanyakan pertanyaan yang dia sudah tau jelas jawabanya.   "Sorry..." bagaimanapun tidak bisa ku usir rasa bersalahku dan tidak bisakah aku bersikap lebih baik padanya. Bagaimanapun Barra pemuda yang baik dan sangat menghormatiku dengan santun. Tidak seperti pria-pria lain yang suka mendekatiku hanya untuk ikut populer dan meningkatkan gengsi.   "Mungkin lain kali kau akan bilang, ya," katanya kemudian saat berusaha tersenyum untuk menatapku, meski akub tau dia masih kecewa.   "Jangan pernah mencoba anak muda!" candaku sekedar mengusir kekeruhan di wajahnya.   Keesokan harinya aku sengaja datang kekampus lebih awal karena ada beberapa hal yang harus kukumpulka untuk bahan skripsiku yang sudah berulang kali tertunda. Mungkin seharian ini akan lebih menyibukanku. Sudah hampir date line dan materiku masih belum balance, tidak bisa dipungkiri jika kegiatan mapala makin sering menyita waktuku hingga banyak tugas kuliah yang akhirnya jadi berantakan. Atau mungkin lama-lama aku akan benar-benar gila karena perkara-perkara sepele seperti  ini?   Kuremas lembar kertas yang baru kusobek lagi dari halaman jurnalku, kembali kulempar sekenanya hingga keranjang sampah di sudut rak buku itu udah hampir muntah akibat keonaranku dan tiapkali wanita berkacamata minus itu protes memelototiku.   "Tenang nanti kubereskan," bisikku mengangkat tangan sebagai isyarat, wanita itu hanya mengerucutkan bibir dari balik mejanya.   Seperti janjiku tadi, setelah marasa cukup dengan referensi baruku, sebelum pergi tak lupa kubereskan dulu keranjang sampah yang sudah benar-benar muntah itu. Kupungut beberapa gumpalan kertas dari lantai, jika samapai Anan melihatku mengumpulkan sampah seperi ini dia pasti akan segera mengambil fotoku untuk dia kirim ke insta story nya.   Kebetulan ada petugas kebersihaan yang juga sedang membereskan beberapa barang dan nampak kerepotan. Kurasa tidak ada salahnya sekalian kubawa keranjang sampah menyebrangi ruang baca untuk sekedar membantunya.   "Maaf Pak, bisa ini sekalian?" susulku mengangkat keranjang sampah yang sebenarnya ringan karena isinya hanya kertas.   Pria setengah baya itu sempat kaget untuk beberapa saat untuk sekedar meresponku. Aku yaki itu pengaruh dari  nama belakangku.   "Oh,ya tentu saja, Neng," suaranya terdengar gugup dan membuatku prihatin.   Kenapa semua orang jadi terlalu berlebihan, padahal aku sama saja dengan gadis yang lain andai saja orangtuaku bukan polotikus terkemukam di negri ini. Jujur aku tidak suka dengan efeknya bagiku.   "Sepertinya ada gudang yang baru di bongkar, ya?"senyumku ketika menilai begitu banyak benda yang harus dijejalkannya kedalam kantong plastik hitam.   "Ya, Neng," dia balas ter senyumnya ramah tapi masih agak sungkan untuk menatapku malu-malu.   "Biar kubantu," sepertinya bapak itu memang kerepotan.   "Terimakasih Neng, tapi tidak usah," matanya merunduk sungkan dan seraba tidak enak karena aku tetap membantunya.   "Tak apa," tak kuhiraukan protesnya dan kuambil tumpukan kertas kemudian ikut memasukkannya kedalam kantong plastik. Semua orang selalu menganggap aku di besarkan seperti seorang putri Raja, padahal kehidupanku sama sekali tidak seperti itu. Aku masih terus menjejalkan sisa koran bekas kedalam kantung plastik tersebut tanpa rasa risi.   Mataku menyipit penasaran karena sepertinya ada yang tiba-tiba menarik perhatianku dari tumpukan koran-koran bekas itu.   Sepertnya ada yang tidak asing!!!   *****       JANGAN LUPA LIKE, KARENA LIKE KALIAN SANGAT BRHRGA BAGI AUTHOR
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD