“Gawat nih.” Batin Ara. Ara menggigit bibir bawahnya. Dia siap dengar omelan Nesa kali ini.
“Aduh. Uda ya nes, ga usah marah – marah sama fira. Toh dia juga sudah ganti kok.”
“Yakin kamu sudah diganti? Gimana kalau belum? Ini sudah jam segini. Siapa juga yang mau nyari figura lagi.”
“Iya, dia bilang tadi mau beli. Sudah dibeli kok pasti.” Jawab Ara menenangkan Nesa.
“Dimana dia sekarang?”
“Gatau nes. Eh Dit, lihat Fira ga?” tanya Ara pada Dita yang baru saja masuk ke basecamp.
“Ga lihat sih. Tapi terahir aku tahu dia mau keluar katanya. Gatau kemana. Kenapa?”
“Kamu tahu kasus figura yang rusak?” tanya Nesa.
Dita kaget dan kode – kodean dengan Ara. Ara hanya menggelenf kepala.
“Gatau nes. Emangnya kenapa?”
“Kata Ara, dia mecahin figura.”
“Ah, mungkin dia keluar mau beli figura tuh nes.”
“Iya nes.” Sahur Ara.
“Awas aja kalau sampe nanti malem masih belum ada figura penggantinya.” Ucap nesa kesal.
Fira memang selalu ceroboh. Selalu ada saja hal yang terlupa, yang tersenggol, yang dirusakin. Pernah suatu ketika mereka akan kerja kelompok. Semua bahan sudah ada, tinggal bahan yang dibawa fira aja yang belum dikerjakan. Sialnya dia malah datang bawa gorengan, dan bahan kerja kelompoknya ketinggalan di abang tukang gorengannya. Di otaknya makanan adalah yang paling utama. Teman – temannya sangat kesal. Saat mau balik ambil bahan, malah sempat – sempatnya dia mencomot gorengan dulu, dikasih petis dan ambil cabai. Kalau ada barang, makanan, atau minuman, mereka tak pernah mendekatkannya pada fira. Bisa disenggol sama dia. Minuman yang sudah diamankan dibawah meja pun pernah disenggolnya sampai tumpah tak bersisa. Waktu itu sedang rapat HMJ, Nesa sengaja menaruh minuman di bawah meja agar tak tersenggol oleh Fira. Tapi kenyataannya tumpahlah minuman itu ketika Fira meluruskan kakinya yang kesemutan. Semua orang tertawa, hanya Nesa yang kesal. Kejadian barang rusak karena ulah Fira? Banyak banget. Figura itu contohnya. Semua hadiah sudah dibingkai dengan rapi. Eh dia malah mainan dan foto – foto sama hadiah itu. Pas mau menaruhnya kembali, eh tangannya licin dan jatuhlah figura itu. Pecahlah sudah kacanya.
***
Mas awan sedang duduk di dalam basecamp saat Fira datang, dia terburu – buru menyiapkan hadiah untuk dibingkai.
“Kenapa dek?”
“Gapapa mas. Sebelum Nesa datang, ini harus sudah rapi.”
“Loh, bukannya semua hadiah sudah dibingkai ya kemarin?”
“Iya, aku mecahin satu kemarin.”
“Fira, kayaknya tangan sama kakimu perlu diruqyah.”
“Kok gitu mas?”
“Ya habisnya, tiap ada apa selalu kamu senggol mau kaki mau tangan nyenggol mulu. Bahkan sampai rusak. Itu buktinya.”
“Wah bisa ya mas kalau diruqyah tangan sama kakiku?”
“Iya, bisa tuh.”
“Mas awan ngeruqyah tangan sama kakiku?”
“Bisa dong.”
“Mas bantuin ya. Tolong diruqyah tangan sama kakiku. Biar ga nyenggol – nyenggol atau ngerusakin barang lagi.”
“Ah masalah gampang itu dek.”
“Kapan mas mau ruqyah?”
“Kamu maunya kapan?”
“Sekarang saja mas.”
“Kamu yakin nih mau sekarang?”
“Yakin.”
“Kamu siapin daun bidara, air sama tali rafia.”
“Oke mas. Aku siapin dulu ya.”
“Kalau sudah siap, bawa kesini saja fir.”
“Oke.”
Fira segera pergi. Dia mencari daun bidara di taman belakang kampus. Mengambil tali rafia sisa batasan parkiran, dan seember air dari kran mushola. Dia membawa benda tersebut dengan perasaan senang. Dia ga akan nyenggol atau ngerusakin barang lagi. Batinnya. Dia segera membawanya ke dalam basecamp. Ternyata disana sudah ada Ara dan Nesa.
“Hai Nes, ra.” Sapanya.
Nesa melengos, sedangkan ara hanya tersenyum.
“Jangan marah Nes. Itu aku sudah belu figuranya kok. Uda aku pasang juga hadiahnya.”
“Makanya hati – hati. Tangan sama kaki nyenggol mulu kerjaannya.” Omel Nesa.
“Iya nes, maaf. Ini aku minta tolong mas awan buat bantuin aku. Katanya dia mau ruqyah tangan sama kakiku. Biar ga nyenggol – nyenggol barang mulu.”
Nesa dan Ara saling memandang ke mas Awan. Tapi mas awan hanya nyengir saja.
“Mas ini sudah aku bawa.” Ucap Fira.
“Wah ceper banget kamu dapetin ini.”
“Iya dong, biar hilang tuh setan – setan tangan sama kaki.”
“Kamu duduk disini. Tutup mata. Baca doa yang kamu bisa. Jangan doa mau makan ya, kita lagi mau ngusir setan. Bukan mau makan mereka.”
“Iya mas.”
Fira menurut, dia menutup mata dan membaca doa.
“Doanga dalam hati saja.”
“Oke mas.”
Nesa dan Ara bingung. Sejak kapan mas awan bisa meruqyah? Namun mereka hanya diam, dan memperhatikan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Mas awan komat – kamit membaca doa. Lalu mencipratkan air ke tubuh Fira. Lalu dia mengambil tali rafia. Dia mengikat tangan dan kaki Fira. Fira yang merasa aneh pun membuka mata. Sejak kapan ruqyah ada ikat – ikatnya seperti itu.
“Mas kok diikag sih? Katanya biar setannya pergi? Yang aku lihat di tivi tuh ga ada kayak gini.”
“Hahahaha. Dengan begini kaki sama tanganmu ga bakal bisa nyenggol barang – barang lagi.” Ucap mas awan sambil tertawa.
Nesa dan Ara yang melihat mejadian itu tertawa terbahak – bahak sambil memegangi perut mereka. Bahkan Nesa sampai keluar airmata. Suara tawa mereka membuat beberapa pengurus yang ada di luar basecamp kepo dan menengok ke dalam. Saat mereka melihat Fira yang diikat, seketika mereka juga ikutan tertawa. Sebab, kabar kaki dan tangan fira yang ceroboh itu sudah sampau disemua teman HMJ. Fira merengut, cemberut, dan sangat malu.
“Mas, lepasin dong. Malu nih.”
“Hahaha. Gimana ra, nes, dilepasin ga?”
“Jangan mas, biar dia kapok ga bisa makan habis ini. Bentar lagi makanan datangm aku sudah pesan.” Ucap nesa.
“Eh jangan gitu dong kasihan. Lepasin lepasin, nanti diaduin sama suju loh. Hahahaha.”
“Araaaaaaa, Nesaaaaaa, mas Awaaaaaaan. Lepasiiiiiiiiiin. Aaaaaaaaaaaaaaaaa.” Fira berteriak membuat ketiganya menutup telinga.
“Pokoknya kalau ga dilepasin aku bakal tetap teriak. Aaaaaaaaaaaaaa.”
Mau tidak mau mereka ahirnya melepaskan ikatan dikaki dan tangan Fira. Untuk menjaga kesehatan gendang telinga. Karena gendang telinga yang rusak akibat suara cempreng, tidak ditanggung oleh BPJS.
Selesai makan mereka bersiap pulang. Dengan catatan jam 21.00 mereka harus kembali lagi ke kampus untuk menyiapkan segala keperluan untuk acara semi final dan final olimpiade besok.
***
Di rumah.
Ara menikmati setiap tetes air yang membasahi tubuhnya. Tetes – tetes air itu begitu menyegarkan tubuhnya yang lelah, karena aktifitas seharian di kampus. Ara membiarkan conditioner menyerap kesetiap helai rambutnya. Disela waktu sengfang menunggu conditioner meresap sempurna, dia menjadi penyanyi kamar mandi.
“Dering telefonku membuatku tersenyum di pagi hari. Kau bercerita semalam kita bertemu dalam mimpi. Entah mengapa aku merasakan hadirmu di sini. Tawa candamu menghibur saatku sendiri. Aku di sini dan kau di sana. Hanya berjumpa via suara. Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh di sana. Kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun dekat di hati. Dering telefonku membuatku tersenyum di pagi hari. Tawa candamu menghibur saatku sendiri. Aku di sini dan kau di sana. Hanya berjumpa via suara. Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh di sana. Kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun dekat di hati. Aku di sini dan kau di sana. Hanya berjumpa via suara. Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh di sana. Kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun kau dekat di hati. Jarak dan waktu takkan berarti. Karena kau akan selalu di hati. Bagai detak jantung yang kubawa kemanapun kupergi. Meski kau kini jauh di sana. Kita memandang langit yang sama. Jauh di mata namun dekat di hati. Dekat di hati. Dekat di hatiiiiiiiiiiiiii.”
“Wooooi cepetan, gantian kamar mandinya. Uda kebelet nih.” Ucap mbak wiwid, kakak Ara.
“Sebentar.”
“Ga usah pake nyanyi biar cepet. Uda fales, pede lagi nyanyinya. Bikin perut mules.”
“Perut mbak wiwid aja yang jelek. Denger suara bagus malah mules.” Balas Ara dari dalam mamar mandi.
“Cepetan ra.”
“Iya sebentar aku bilas dulu. Bawel banget sih.”
Ibu mereka hanya menggeleng – gelengkan kepala melihat kelakuan dua anak gadisnya. Tak lama Ara keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit dirambutnya.
“Uda noh, cepet masuk sebelum keciprit. Hahaha.” Ucap Ara.
“Hih jorok.” Ucap mbak wiwid sambil menutup pintu kamar mandi.
“Buk masak apa?” tanya Ara.
“Lihat saja sana di meja.”
“Yah ibuk.”
“Kan sekalian ra, kamu kesana lihat, terus ambil makanannya. Ga usah alesan ya, ambil sendiri. Sudah ga mempan caramu yang satu itu.” Jawab ibunya.
Ara merengut. Kemudian dia berjalan menuju kamarnya.
“Eh disuruh makan kok masuk kamar.”
“Ambil hape buk.”
“Hape teruuuuuuus.”
“Kan seharian Ara ga megang hape. Sibuk urus olimpiade buk.” Jawabnya sambil menganbil nasi.
“Sudah selesai acaranya?”
“Belum buk. Besok semi final dan final tingkat SD. Sama penyisihan, semi final dan final SMP – SMA.”
“Kok akeh men to acara e. Ga mari – mari.” (kok banyak sekali sih acaranya, ga selesai – selesai.)
“Ya gimana buk, emang belum selesai kok.”
“Terus ini nanti kamu tidur di kampus lagi?”
“Iya.”
“Kasurmu dijual aja gimana? Kan lumayan dapet uang. Daripada ga pernah dipake tidur.”
“Ya kan ga tiap hari tidur di kampusnya buk.”
“Iya buk jual saja.” Sahut mbak wiwid.
“Kasur mbak wiwid aja yang di jual. Biar dia tidur di kloso (bahasa jawa tikar).”
“Kan yang jarang tidur di rumah itu kamu. Ya punyamulah yang dijual.”
“Wes ah kok maleh tukaran.” (sudah ah, kok jadi bernatem). Lerai ibunya.
Kemudian hape ara berdering. Orang yang dianti – nantinya menelepon. Ara segera meletakkan piringnya ke meja makan. Lalu mengambil air dingin dari lemari es dan berjalan menuju kamarnya. Ibu dan kakaknya saling pandang.
“Siapa yang telpon wid?”
“Gatau buk.”
“Bukannya dia sudah lama putus dari diki?”
“Emang sudah lama buk.”
“Lalu siapa yang telepon?”
“Mana wiwid tahu buk. Besoklah aku tanya dia. Sepertinya ada yang lahi deket sama dia nih buk.”
“Sepertinya memang begitu wid.”
Ara mengangkat teleponnya.
“Hallo.”
“Asslamulaikum dulu dong.”
“Waalaikumsalam.”
“Sudah selesai acaranya?”
“Hari ini aih sudah.”
“Hah? Besok masih lagi?”
“Iya, hehe. Besok semi final dan final tingkat SD. Juga babak penyisihan, semi final dan final tingkat SMP – SMA.”
“Kirain uda selesai semua acaranya.”
“Hahaha. Memangnya kenapa?”
“Ya gapapa sih. Besok masih nunggu pergantian a*k. Jadi kapal besok akan bersandar ke pelabuhan.”
“Terus?”
“Ya waktunya jalan – jalan.”
“Terus?”
“Kamu mau dibeliin apa?”
“Emang disana ada apa?”
“Ya gatau neng, bukan aku yang jualan.”
“Ya terserah kamu deh kalau gitu.”
“Mau dibeliin CD hellokitty ga?”
“Aku ga suka hellokitty.”
“Kalo gitu bikini spongebob, gimana?”
“Pake aja sendiri.”
“Hahahaha. Gitu aja marah. Kamu sukanya karakter apa?”
“Manusia oli.”
“Hahahaha aku dong.”
“Kepedean. Wleeeee. Aku panggil kamu manusia oli boleh?”
“Apasih yang engga buat kamu.”
“Halah gombal, serbet, pel pelan, kanebo.”
“Ahahahaha, selalu lengkap ya daganganmu.”
“Iya biar ga iri.”
“Malem ini kita telponan sampe ketiduran gimana?”
“Waduh maaf nih. Ga bisa.”
“Balik ke kampus lagi?”
“Iya.”
“Kalau kamu ga balik kesana bisa ga sih?”
“Emangnya kenapa?”
“Sudah seharian ga kontakan juga. Malem masih mau balik ke kampus lagi.”
“Kok kamu sewot sih.”
“Ya kan aku kangen.”
“Tapi aku ga suka ya dilarang – larang.”
“Bukannya melarang, aku kan juga butuh kamu.”
“Emangnya kenapa kok butuh aku? Aku siapa kamu?”
“Kamu itu the apple of my eyes.”
“Maksudnya?”
“Ya kamu itu kayak apel dimataku.”
“Buket merah gitu dong aku dimata kamu? Awas aja ya.”
“Hahaha. Balik ke kampus jam berapa?”
“Jam sembilan harus sudah disana.”
“Ojo sregep – sregep. Mengko kakak tingkatmu do kesengsem.” (jangan rajin – rajin. Nanti kakak tingkatmu pada kesengsem).
“Eh tumbenan ngomong jowo. Hahaha. Enggalah, yang sregep ga cuma aku kok.”
“Yaudah nanti hati – hati berangkatnya.”
“Iya nanti aku bilang ke kak yuga biar hati – hati.”
“Siapa lagi itu?”
“Kakak tingkat yang bakal jemput aku nanti.”
“Dijemput cowok malem – malem di rumah?”
“Iya, kan hang dijemput ga hanya aku. Ada yang lainlah, kan naik mobil.”
“Bilang yang lengkap dong. Biar hatiku ga cenut – cenut dengernya.”
“Hatimu keseleo ya? Cenut – cenut katanya. Hahaha.”
Obrolan mereka berlanjut dan semakin seru. Malam itu rindu mereka terobati. Seperti lagu yang dinyanyikan Ara tadi. Aku disini dan kau disana. Hanya berjumpa via suara.