Wanita bermata cokelat itu turun dari kamarnya. Ia sudah siap hendak pergi ke kampus. Ini adalah tahun terakhir dirinya menimba ilmu di Universitas Negeri Briona. Tanpa pamit, wanita itu lekas mendekati pintu utama. Namun, langkahnya terhenti oleh teriakan sang ayah dari ruang tengah.
“Divya, tunggu!”
Gadis itu memutar tubuhnya dengan enggan. “Apa lagi, Pah?” Ia masih tidak terima hidupnya diatur sedemikian rupa. Divya hanya ingin bebas menentukan jalannya sendiri.
“Mulai sekarang kamu tidak perlu mengemudikan mobil sendiri. Ghazi akan membawanya.”
Alis sebelah Divya terangkat. “Ghazi? Siapa Ghazi? Sopir aku?” Senyum mengejek Divya terbit. Wanita itu acapkali berhasil membuat para sopir-sopir tua itu menyerah dengan pekerjaannya. Divya adalah wanita yang jahil.
“Tidak hanya sopir, tetapi juga pengawal pribadimu. Jadi, dia akan ikut ke mana pun kamu pergi. Bahkan, jika kamu pergi berbelanja sekalipun,” terangnya dengan seraut wajah penuh kemenangan.
“Papa nggak serius kan?”
Wajah Divya kaku, dia ingin protes dan meledakkan amarahnya saat itu juga. Akan tetapi, suara bariton seorang pria menghentikan agrumentasi Divya.
“Selamat pagi, Tuan Hen.”
Laki-laki dengan pakaian serba hitam membungkuk setengah badan pada Hendery. Tanda hormat pada atasannya.
“Tepat waktu. Kamu memang bisa diandalkan. Baiklah! Dia ada di sana. jangan sampai kehilangan sedetik pun pandangan darinya. Dia adalah gadis nakal,” seru Hendery. Ia mendekati Ghazi, lalu menoleh lagi ke arah anaknya berdiri. Masih dengan senyum kepuasannya karena berhasil membuat Divya pagi ini menurut telak.
“Baik, Tuan.”
Mata Divya memicing menatap pria dengan jas. Ya! Tentu kalian tahu pakaian membosankan itu. Sorot matanya penuh dengan kebencian serta ide-ide untuk membuat pria itu menyerah.
“Aku harus pegi, Ghaz. Jaga putriku dengan baik!”
“Siap, Tuan.” Ghazi kembali membungkuk.
Akan tetapi belum sampai ambang pintu utama, Hendery berhenti.
“Ups! Jangan lupa, Divya. Minggu depan, Liam Madhava akan kembali dari Jepang. Bersiaplah!” Hendery memutar tubuhnya kembali menghadap Divya. Mengacungkan kedua jempolnya dan kali ini benar-benar keluar dari rumah. Tanpa mendengarkan ucapan memprotes dari anak satu-satunya yang dia miliki.
“Pa! Papa! Papa nggak bisa seperti ini, dong! Ini namanya pelanggaran hak asasi manusia!” teriak Divya. Mencoba mengejar ayahnya.
Akan tetapi sama sekali tidak di gubris oleh laki-laki setengah abad itu. Ia sudah menghilang dibalik pintu mobil. Kemudian gerobak besi itu mulai berjalan pelan meninggalkan hunian megahnya.
Belum hilang kekesalannya, lagi— Ghazi menambah kesulitan hidupnya.
“Anda sudah siap, Nona Divya?”
“Jangan mengikutiku!” hardik, Divya. Ia melangkah dengan hentakan kaki keluar dari rumah. Sementara Greta hanya menggeleng pelan dengan pemandangan pagi ini. Seperti biasa, dia tidak banyak membantu karena keputusan suaminya juga adalah keputusan baginya.
Bentakan, Divya tidak berarti apa-apa bagi Ghazi. Lelaki itu tetap membukakan pintu mobil untuk Divya. Namun, wanita itu justru memilih membuka pintu bagian depan. Dia hendak menempati kursi kemudi. Akan tetapi, entah bagaimana bisa, Ghazi sudah ada di dekat pintu itu.
“Anda tidak diizinkan untuk mengemudi mulai sekarang dan seterusnya.”
“Bodo! Minggir atau gue teriak maling?!” ancam Divya.
“Silakan Anda boleh teriak sampai ternggorokan Anda kering.”
Divya mengepalkan tangan jengkel. Dia menendang kaki Ghazi dan— percayalah, pria itu tetap diam bak patung monas.
“Dasar laki-laki sialan!” umpatnya.
Lagi-lagi telinga Ghazi seolah tidak mendengar ocehan, Divya.
“Anda mau masuk atau telat kelas?”
Sekali lagi, Divya melayangkan pukulan pada d**a pria tinggi besar itu. Tubuhnya seperti tiang listrik jika dibandingkan dengan Divya yang hanya memiliki tinggi seratus enam puluh sentimeter.
“Sepuluh menit harus tiba di rumah temen gue! Satu lagi cari sendiri rumahnya. Gue ogah jadi maps, Lu!” tegas, Divya.
Huh— mampus Lu, batin, Divya. Sejatinya dia masih sangat marah pada— semuanya.
Dia tidak menyukai ide gila ini. Dia tidak mau hidupnya terkekang. Divya memiliki keinginan bahwa sebelum menikah, dia sudah harus merasakan segala kesenangan yang tidak akan pernah dia dapatkan di dunia pernikahan. Salah satunya adalah dugem.
Divya tersenyum setan, dia yakin bahwa laki-laki itu tidak akan pernah bisa menemukan tempat tinggal Ivy. Pun demikian dengan perjalanan ke sana yang paling tidak membutuhkan waktu dua puluh menit paling cepat.
“Jika Lu gagal. Siap-siap enyah dari idup, gue!” seru Divya. Ia sudah duduk di kursi depan. Tepat di samping kursi kemudi.
“Baik.”
Siapa yang sangka Ghazi menyetujuinya. Pria itu, mulai menyalakan mesin. Kemudian melesat perlahan dan kecepatan mobil itu mulai bertambah ketika keluar dari halaman rumah. Ia tidak tampak melihat maps apa pun. Pembawaanya cukup tenang dan percaya diri.
“Delapan menit lagi,” seru Divya. Dia sungguh sudah mulai senang, karena jalan awal yang dipilih sudah salah.
Ghazi tidak menghiraukan suara, Divya. Dia hanya fokus pada jalanan. Menyelinap diantara mobil-mobil lain dan berhasil menjadi pemenang diantara mereka. Pekerjaannya memang sudah bisa dia prediksi. Itulah sebab, dia selalu meminta data para calon tuannya. Agar hal sepele seperti saat ini tidak merusak kinerjanya di hari pertama.
Resume Divya sudah dia terima lewat Hendery semalam. Lengkap dengan data rekan serta kebiasaan Divya nongkrong di titik-titik lokasi yang sama setiap harinya.
“Lima menit,” oceh, Divya.
Setir itu di banting ke kiri. Pertigaan yang kerapkali Divya lewati bersama dengan Ivy. Wanita itu sedikit terkejut. Dari mana dia tahu? Sepintas itulah yang dia pertanyakan.
“Tiga menit.”
Akan tetapi dia menolak untuk kalah dan tepat di menit terakhir. Ghazi menekan rem dengan dalam. Mobil berhenti dan menyisakan bekas menghitam roda di aspal.
“Kita sampai, Nona. Ivy, dua puluh satu tahun. Teman satu angkatan Anda yang terlambat lulus tahun kemarin.”
Divya mendesis kesal. Ia kembali mengepalkan tangannya. “Ini nggak akan semudah itu!”
Divya keluar dan membanting pintu dengan kencang. Namun, hal itu sama sekali tidak membuat Ghazi mengubah ekspresinya.
“Kesel, gue!” keluh Divya begitu tiba di depan pintu Ivy yang terbuka menyambut kedatangannya.
“Widih, tumben banget udah dateng, Div. Naik jet kamu?”
Mimik muka Divya yang kucel itu seolah tidak terlihat oleh Ivy. Ini adalah kali pertama, Divya datang tepat waktu. Bahkan mungkin kelebihan waktu. Biasanya wanita itu baru menjemput dirinya paling cepat jam delapan. Sekarang baru pukul tujuh lebih dua puluh sembilan menit.
“Kenapa, sih? Muka jutek gitu? Bulanan?” Ivy meraih air minum untuk sahabatnya. Akan tetapi uluran tangan itu terabaikan oleh Divya.
“Sudah siap, Nona?”
Lagi-lagi suara itu terdengar oleh Divya. Ivy menoleh ke asal suara dan melongo menatap Malaikat berdiri di ambang pintu Ivy.
Divya membuka kepalan tangannya dan merangkus wajah Ivy. Mendorong mukanya agar dia sadar dari kekaguman yang menjemukan itu.
“Jangan kira dia seperti Gabriel!” seru Divya.
“Bisa, nggak, sih, Lu hanya duduk diem di mobil lalu tungguin gue dan temen gue siap?!” ketus, Divya.
“Tidak.” jawaban singkat yang kian membuat, Divya ingin mencakar wajah kaku pria yang berdiri membantu di ambang pintu.
“Siapa dia?” bisik, Ivy.
“Orang gila! Laki-laki kurang kerjaan!” jawab Divya dengan tanduk yang sudah mulai keluar.
“Nggak ada orang gila segagah itu, gila,” lirih Ivy.
Namun, suaranya tetap di dengar oleh Ghazi dan juga Divya pastinya.
“Mau? Karungin tuh!” Divya meninggalkan Ivy.
Ia mendorong tubuh Ghazi menyingkir dan keluar terlebih dulu. Kembali duduk di kursinya. Melipat kedua tangannya di depan d**a dengan wajah yang masih tidak bersahabat.
Ghazi lekas menyusulnya, kemudian Ivy yang terakhir menutup pintu mobil. Ketiganya melesat ke tempat tujuan. UNB.
**
“Gimana ceritanya kamu bisa dapat cowo sekeren itu, Div?” suara Ivy terus muncul. Membuat Divya yang kesal semakin bertambah jengkel.
Divya kira setelah di kampus dia bisa bebas dari laki-laki itu. Ternyata?! Nihil! Pria itu bahkan ikut sampai ambang pintu kelasnya. Kini setelah sedikit ruang dari Ghazi, Ivy memberondongnya dengan pertanyaan yang membosankan.
“Please, dukung gue lah. Bukan malah ngagumin dia kek gitu,” rajuk Divya.
“Bantu apa? Emang dia masalah buatmu?”
“Ivy, dia itu— ah! Ini menyebalkan. Kalau dia terus ngebuntutin gue. Bisa-bisa gue mati berdiri. Nggak ada dugem, nggak ada mabok, nggak ada yang namanya seneng-seneng. Gue gila, Iv!” jelas Divya dengan otot yang sudah sebesar kacang panjang di lehernya.