"Iya, Mbak." Jawabku, setelah itu aku bercerita perihal Kak Reza yang mengenali aku saat penyamaran.
Dan Mbak Rohmah saat itu juga memberikan aku usulan. Dia melarang agar aku tak menjauh dari Kak Reza, agar penyamarannya tak ketahuan begitu saja. Sebab jika aku terus mencoba untuk menjauh, semakin Kak Reza menjadi penasaran dengan tampang aku yang sebenarnya.
Saat kami asik mengobrol, tiba-tiba pintuku kembali di ketuk.
Tok tok tok!
"Non, ditunggu tuan tempat latihan," terdengar salah satu asisten rumah tanggaku memberitahu.
Mbak Rohmah pun beranjak berdiri menuju pintu.
"Mbak ke mana?" tanyaku mencoba menghentikan langkah Mbak Rohmah.
Mbak Rohmah pun berhenti, lalu menoleh ke arahku.
"Saya bukain pintunya, Non. Nggak enak sama Tuan dan Nyonya," ujar Mbak Rohmah memberi alasan.
Aku hanya mengangguk, lalu mengambil makanan yang sedari tadi berada di nampan di depanku.
"Bilang ke Papa dana Mama, aku masih makan," ujarku.
Dengan rasa malas yang berhasil menyelimuti hatiku, aku pun tetap menyuapi makanan ke mulutku. Rasanya ingin memberontak dengan aturan yang menurutku terlalu mengekang, apa gunanya menjadi anak orang kaya tetapi merasa menderita.
Mbak Rohmah pun berlalu, tinggal aku berada di kamar sendirian. Sengaja aku memperlambat cara makanku, terlalu bosan aku dengan aktivitasku.
Ceklek!
Pintu pun kembali terbuka, terlihat Mamaku di balik pintu itu. Beliau melangkah ke arahku dengan melemparkan senyumannya. Aku tak merespon senyuman itu, aku tetap melanjutkan makan walaupun terasa malas.
"Sayang, ayo turun di tunggu Papa." Ajak Mama.
Aku menatap mama dengan rasa malas yang menyelimuti.
"Masih makan!" ujarku terdengar ketus.
Mama mencoba meraih kepalaku untuk dielus, namun aku mengelaknya. Aku menepis tangan mama untuk menjauh dari kepalaku.
"Nanti aku ke sana. Mau makan dulu!" ujarku namun tak melihat ke arah mama.
Namun mama malah memegang daguku, lalu mengarahkan wajahku ke beliau.
"Kenapa kamu jadi begini sama, Mama? Apa salah Mama?" tanya mama.
Lagi-lagi aku menepis tangan mama, lalu beranjak pergi mengambil pakaianku yang ada di almari. Lalu aku memutuskan untuk ke kamar mandi mengganti pakaianku.
Pikirku aku bicara dengan mama pun merasa percuma, karena di dalam rumah ini hanya memihak ke papa. Semua keputusan papa itu yang terbaik bagi mereka, walaupun sebenarnya ingin memberontak lagi-lagi aku tak akan mampu.
"Mama dan Papa tunggu di bawah, ya. Selesai berganti pakaian kami segera turun saja, ya," ujar mama memberitahu.
"Hmm!" jawabku.
Aku menutup pintu kamar mandi dengan keras. Aku menyenderkan kepalaku ke pintu, lalu perlahan memerosotkan badanku ke posisi duduk. Tangisku pecah saat ini, merasa ini semua tak adil bagiku. Aku merasa tertekan dengan semua ini, namun tak ada yang mengerti aku.
Cukup lama aku berada di kamar mandi, lalu kembali terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah kamar mandiku.
"Non, ini Bi Siti. Sudah di tunggu tuan," ujar Bi Siti di suruh memanggilku lagi.
Aku bergegas mengusap air mataku, lalu segera mengganti pakaian.
"Iya, Bi. Bentar lagi," jawabku dengan suara sedikit sengau.
"Non, kenapa? Non Cecyl." Tanya Bi Siti terdengar khawatir dengan keadaanku.
Aku pun selesai mengganti pakaianku, lalu keluar dari kamar mandi.
"Enggak apa-apa, Bi. Bibi turun aja dulu, nanti aku susul," suruhku.
"Bajunya, Non." Bibi meraih seragam yang tadi aku kenakan.
Setelah itu, bibi berlalu meninggalkan aku. Aku menuju meja rias untuk menguncir kembali rambutku, lalu mengenakan sepatu lagi.
Setelah itu, dengan rasa malas aku memutuskan untuk turun ke lantai dasar. Aku melihat papa dan mama sedang duduk di sofa di ruang tengah, walaupun mereka membelakangi namun mereka tampak menungguku.
Aku berjalan menghampiri mereka, mungkin suara sepatuku terdengar sehingga mereka menoleh ke arahku secara bersamaan.
"Cecyl, kok lama?" tanya papa.
"Iya, Pa. Tadi masih makan," jawabku biasa saja, aku tak berani berkata ketus ke papaku.
Papa berdiri menghampiriku, lalu merangkulku sembari mengajakku berjalan menuju satu ruangan yang biasa aku gunakan untuk latihan.
Terasa jenuh saat melihat ruangan ini walaupun dari kejauhan, ruangan inilah yang menyiksaku. Di sana sudah dua orang pria yang menungguku, mereka yang mengajariku untuk latihan bela diri dan menembak.
Tak hanya mereka yang ada di ruangan ini, namun beberapa pengawal ayah sudah stay berada di sini. Mata mereka seolah-olah tak bisa melepas pandangannya dariku, sebab itu semua perintah dari papa.
Aku masuk ke ruangan ini, pertama-tama aku latihan untuk menembak terlebih dahulu agar aku tak merasa kelelahan. Cukup lihai aku dengan senapan yang selama ini sudah menemaniku untuk berlatih, pria yang menjadi pelatihku pun mengacungiku dengan dua jempolnya. Tepuk tangan pun terdengar riuh saat aku berhasil menembak ke arah yang menjadi sasaranku.
Mereka terlihat bangga denganku, namun sebaliknya denganku. Aku ingin segera mengakhiri semua ini, aku jenuh, aku tak menyukainya.
Saat latihan menembak selesai, aku berpindah ke latihan bela diri. Aku mengikuti gerakan dari sang pelatih, semua di rasa selesai baru aku di tes dengan serangan-serangan kecil. Aku pun mampu mengelaknya dan melawannya dengan sempurna.
Aku melihat ke arah papa, beliau terlihat tersenyum lebar menandakan papa bahagia. Setelah itu latihan selesai, dua pelatih oun menghampiri papa. Aku melihat papa memberikan beberapa gepok uang seratus ribuan ke mereka berdua, mungkin itu gaji mereka selama melatihku.
Dengan tersenyum mereka berpamitan denganku, lalu mereka berpamitan ke papa.
"Senang berurusan dengan anda selama ini Pak Jhonatan, semoga anda merasakan hal yang sama," ucap pelatih bela diriku.
Papa mengajaknya bersalaman sembari berkata, "Selama kerja anda berdua bagus, saya tetap menerima anda dengan baik di rumah ini."
Setelah itu, mereka berdua pun melenggang pergi menuju pintu utama. Papa pun memanggilku dan mengajakku untuk mengantar mereka berdua sampai depan. Lagi-lagi tak pernah lupa, beberapa pengawal tetap mengekor di belakang kami.
Kami mengantarnya sampai depan pintu, namun tiba-tiba terdengar suara dentuman keras lalu mengenai salah satu pengawal yang berada tepat di samping papa.
Doorrr!
Suara senapan yang dari arah depan rumahku. Lalu pengawal kami sontak mengambil senapan masing-masing dari sakunya. Aksi tembak-tembakan tak terelakan, beberapa pengawal mencoba jadi tameng untuk kami berdua.
Mereka berlarian mencoba menghampiri peneror misterius itu. Lalu dengan cepat peneror itu masuk ke dalam mobil sedan berwarna merah yang ia gunakan. Wajahnya tak terlihat sama sekali, sebab pelaku menggunakan penutup muka.
Pandanganku terpaku melihat salah satu pengawal yang terluka itu. Pengawal itu ada diambang pintu kematian, nafasnya tersengal-sengal, darah bagian kiri pun tak berhenti untuk mengalir.
Peluru itu mungkin tepat mengenai jantung. Sehingga korban pun dengan seketika mengembuskan napas terakhirnya.
Bersambung ....