Saat jam istirahat tiba.
Vivian dan Yasmine duduk di depan meja kantin sambil menunggu pesanan makanan mereka tiba.
"Kamu tenang aja ya? Untuk sekarang, aku traktir kamu. Nanti, kalau kamu sudah ada uang. Kamu boleh kok gantian traktir aku sesekali."
"Iya, Yas. Terserah kamu saja," ucap Vivian seraya bertopang dagu dan menghela napas.
"Yas, ayah kamu nggak menikah lagi??" tanya Vivian yang belum menaruh curiga sama sekali kepada wanita yang duduk semeja dengannya ini.
"Nggak."
"Kenapa?"
"Aku yang nggak mau. Aku nggak mau punya ibu tiri. Lagi pula, tanpa ibu pun aku sama sekali nggak kekurangan kasih sayang. Aku punya ayah, yang sayang kepada aku. Lalu, kenapa harus punya ibu tiri, yang belum tentu menyayangi aku, iya kan??"
"Iya sih. Tapi... Em, apa ayahmu tidak menginginkannya."
"Menginginkan apa???" tanya Yasmine yang kedua bola matanya menatap dan seakan menusuk kepada Vivian.
"Ha? Oh... Itu... Menikah. Maksudku apa kamu tidak kasihan dengannya? Mungkin dia butuh pendamping hidup. Kamu memang tidak butuh ibu. Tapi, ayah kamu kan...,"
"Apa sih, Vi?? Aku nggak mau nambah masalah ah! Punya ibu tiri itu cuma nambah masalah! Belum lagi, kalau sampai punya adik tiri juga! Apa yang aku punya, harus dibagi kepada anak yang bukan saudara sekandung?? Apa nggak salah?? Baru dibayangkan, aku udah ngeri sendiri. Lebih baik juga begini. Berdua. Sudah lengkap rasanya. Aku nggak mau terima orang luar, yang malah akan mengganggu kenyamanan keadaan yang sekarang."
"Iya ya," ucap Vivian sembari tersenyum kaku.
Vivian kembali termenung lagi. Maksudnya, bukan ingin jadi ibu tiri. Tapi... Ia tidak mau dikejar-kejar terus. Kalau lelaki itu setidaknya memiliki pasangan. Mungkin dia tidak akan sampai nekat ingin menjalin hubungan dengannya.
Mana lelaki itu tidak ada takut-takutnya, sampai berani masuk ke dalam kamar juga. Ah nanti malam. Ia pasti tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Apa lagi, kalau sampai dia kembali lagi ke kamarnya seperti semalam.
"Aku mau cari kerja part time hari ini deh!" cetus Vivian. Ia tidak mau berlama-lama tinggal bersama Yasmine. Ia harus bisa segera mandiri dan tidak lagi tinggal seatap dengan Yasmine juga ayahnya.
"Mau kerja part time apa memangnya??"
"Ya apa saja. Pelayan cafe atau restoran juga boleh. Tapi yang jam kerjanya bisa sore sampai malam."
"Cafe sih. Biasanya buka dari sore sampai malam."
"Ya sudah. Nanti aku mau melamar pekerjaan di sana. Hari ini mau urus- urus suratnya dulu."
Malam harinya.
Vivian baru selesai menyiapkan persyaratan, untuk melamar pekerjaan di esok hari. Untungnya ia sudah mendapatkan info lowongan pekerjaan. Besok, hanya tinggal pergi ke sana saja, ya syukur-syukur bisa diterima dan juga, bisa langsung bekerja di hari itu juga.
Vivian menoleh cepat ke arah pintu, saat mendengar gagang pintunya yang diputar entah oleh siapa. Vivian bergegas merebahkan tubuhnya dengan posisi menyamping dan segera pura-pura tidur. Kelopak matanya terpejam dan indra pendengarannya menajam. Ia dengarkan terus, sampai suara pintu yang terdengar dibuka serta ditutup kembali itupun ia dengar. Sesuatu yang berada di dalam dadanya bergemuruh dengan kencang, hingga sebuah sentuh dan juga belaian ia rasakan di pipinya, lalu sebuah kecupan pun mendarat di sana.
Oh ya ampun. Dia benar-benar datang lagi! Sungguh nekat sekali.
Saliva ditelan oleh Vivian, ia berusaha keras untuk tidak terusik dan berharap, bila pria itu segera pergi dari kamar ini.
Vivian masih berpura-pura tidur. Sementara orang yang menganggap bila Vivian benar-benar, sudah tidur itu, nampak melihat berkas-berkas yang ada di atas meja. Ia baca kata demi kata dan buka perlembar isinya. Setelah itu, ia nampak menatap Vivian yang berbaring di atas ranjang sebelum akhirnya ia keluar dari kamar lagi. Tetapi dengan semua berkas-berkas tadi, yang turut ia bawa juga keluar.
Vivian yang sempat mendengar suara pintu ditutup pun membuka kelopak matanya lagi, lalu menghela napas dengan lega. Syukurlah, lelaki itu keluar juga pikirnya.
Namun, hanya sebentar saja kelegaan itu ia rasakan. Tidak sampai lima menit, pintu kamarnya kembali terbuka lagi dan ia yang sempat sudah duduk itu pun cepat-cepat membaringkan tubuhnya lagi, lalu memasang indra pendengarannya dengan baik, hingga tiba-tiba saja bulu kuduknya dibuat meremang, melalui telinganya dan terdengar suara mengecup dari sana. Kemudian, ia juga merasakan, bila selimutnya yang sempat terbuka, kini kembali menutupi tubuhnya lagi.
"Good night my love."
Bisikkan kata-kata, yang Vivian dengar sangat jelas, karena diucapkan dekat sekali dengan daun telinganya tadi dan membuatnya jadi merinding.
Keesokan harinya.
Vivian hendak berangkat ke kampus sampai ia yang akan mengambil berkas-berkas yang seingatnya ia letakkan di atas meja. Tetapi saat ingin ia ambil malah tidak ada. Perasaan, semalam ia simpan di atas sini.
"Ck! Kok tidak ada sih??" keluh Vivian sembari mencari terus, meskipun ia masih tak kunjung menemukannya juga.
Vivian segera bergeming sambil memikirkan, siapa yang kira-kira orang yang sudah mengambilnya. Kalau Yasmine rasanya tidak mungkin. Atau jangan-jangan, lelaki yang itu??
Vivian segera menghela napas, ketika sadar, siapa orang yang paling mungkin, yang sudah mengambil tumpukan berkas, yang ia siapkan untuk melamar pekerjaan. Sepertinya, semalam saat lelaki itu datang, dialah yang mengambilnya. Karena ia sendiri tidak mungkin lupa dan juga, tidak mungkin juga Yasmine yang ambil, yang terakhir masuk ke dalam kamar ini kan lelaki itu.
Decakan kesal keluar dari mulut Vivian. Sudah tidak ada lagi harapan. Sepertinya, tidak untuk hari ini ia melamar pekerjaan. Langkah yang lunglai terlihat pada sepasang kaki Vivian yang sedang ingin melangkah ke bawah. Tapi pas sekali, ia bisa bertemu dengan lelaki yang mengambil berkas itu dan orangnya baru saja keluar dari dalam kamar sambil memperbaiki letak dasi di lehernya yang sedikit miring.
Vivian menoleh ke kanan dan kiri, lalu setelah dirasa aman. Ia cepat berlarian ke dekat orang yang sudah akan berjalan itu.
"Selamat pagi," sapa Thomas dengan senyuman yang sangat semringah sekali. Tetapi hal yang sebaliknya malah Vivian berikan.
"Kamu simpan dimana berkas-berkas ku!" ucap Vivian sambil berbisik-bisik dan juga sambil melihat ke sekeliling tempat.
"Berkas apa?" tanya Thomas berpura-pura bodoh.
"Berkas aku untuk melamar kerja! Semalam ada di atas meja. Pasti kamu kan yang mengambilnya. Soalnya semalam, cuma kamu yang masuk ke dalam kamar."
Thomas tersenyum dengan lebar, lalu berucap, "Bagaimana kamu tahu? Apa semalam, kamu berpura-pura tidur?" terka Thomas yang menurut Vivian tidaklah pada tempatnya. Bukan hal itu yang ingin ia bahas sekarang!
"Kembalikan. Aku butuh itu untuk melamar pekerjaan," bisik Vivian sembari memperhatikan sekeliling.
"Kalau aku tidak mau??" ucap lelaki berumur ini dengan raut wajah yang sangat menyebalkan sekali.
"Kamu...,"
"Vi...," panggil Yasmine dan Vivian segera berdiri tegak, lalu melontarkan senyuman untuk wanita yang datang kepadanya.
"Morning, Dad!" sapa Yasmine kepada sang ayah.
"Morning too honey."
"Kok berdiri di sini semua??" tanya Yasmine.
"A-aku sedang menunggu kamu!" seru Vivian cepat, daripada harus sampai dicurigai nanti.
"Terus, Dad sedang apa di sini??" tanya Yasmine.
"Baru saja keluar dari dalam kamar dan sedang menyapa teman kamu ini," ucap Thomas seraya tersenyum dan sembari memandangi Vivian.
"Oh begitu," ucap Yasmine tanpa ada rasa curiga.
"Ya sudah. Ayo kita pergi ke bawah. Kita sarapan dulu," ajak Thomas.
"Iya, Dad. Ayo Vi," ajak Yasmine sembari menarik tangan Vivian. Thomas juga menyusul dan ikut berjalan di belakang mereka berdua.
Ketika jam istirahat di kampus.
"Vi, kamu jadi melamar kerja hari ini??" tanya Yasmine sembari menarik kursi, yang berada di sisi Vivian.
Vivian tersenyum kaku dan menggelengkan kepalanya juga. "Besok."
"Lho kenapa?? Persyaratan sudah kamu lengkapi kan??"
"Iya sudah. Tapi... Tapi ternyata masih ada yang kurang," ucap Vivian sembari tersenyum kaku.
"Apanya yang kurang??" tanya Yasmine dengan satu alis yang terangkat ke atas.
"Ya ada. Masih kurang sedikit lagi. Masih belum lengkap."
"Hai," sapa seorang laki-laki yang merupakan teman satu angkatan, tetapi hanya berbeda jurusan saja dengan Yasmine dan Vivian.
"Hai, Al!" sapa Yasmine kepada laki-laki yang langsung menarik kursi dan duduk bersama dengan mereka ini.
"Vi, kenalin, ini Aldo, dulunya kita satu SMA. Terus, dia ini juga, yang aku bilang kerja di cafe, tempat yang kamu mau melamar pekerjaan di sana."
"Oh, hai. Aku Vivian," ucap Vivian sembari mengulurkan tangan dan disambut oleh Aldo.
"Hai, Vivian. Salam kenal ya? Oh iya, bagaimana? Sepulang dari kampus, kita langsung saja ke sana. Sudah dibawa kan?Semua persyaratannya??" tanya Aldo.
"Belum. Belum selesai katanya," jawab Yasmine menengahi.
"Oh belum. Aku pikir, sudah disiapkan. Jadi, kita tinggal mulai hari ini. Soalnya, cafe sedang ramai-ramainya sekarang. Sedang butuh tenaga bantuan dengan cepat. Atau, kamu mau datang dulu?? Survei tempat dan juga pekerjaan. Jadi saat kamu mulai bekerja nanti, kamu sudah tidak kaget lagi."
"Eum, boleh sih. Aku juga penasaran dengan cara kerjanya. Kalau sudah tahu, kan tidak akan terlalu kaku juga."
"Ya sudah. Kamu pulang jam berapa hari ini??" tanya Aldo.
"Eum, jam duaan sih."
"Pas kalau begitu. Nanti tunggu di depan gerbang kampus ya? Aku nanti menyusul ke sana. Nanti, kita berangkat bersama dengan motorku saja."
"Oh iya boleh. Seperti itu tidak apa-apa."
Sepulang dari selesainya jam kuliah.
Vivian menunggu di dekat pos, yang letaknya di dekat gerbang kampus. Yasmine sudah pulang lebih dulu beberapa menit tadi, dengan dijemput oleh supir. Sekarang , hanya tersisa Vivian, yang sedang melihat waktu yang tertera pada layar ponselnya dan sudah menunjukkan, bila saat ini, sudah sepuluh menit berlalu dari waktu ia keluar kelas tadi. Vivian melihat ke arah gedung kampus, untuk mencari-cari orang yang menyuruhnya untuk menunggu dan tidak berapa lama setelah itu, orang tersebut pun datang dengan sebuah motor matic yang ia tunggangi.
"Ayo, kita jalan sekarang," ajak Aldo.
Vivian tersenyum dan naik pada jok belakang motor. Mereka berdua pergi bersama dan berhenti di sebuah cafe, yang letaknya tidaklah terlalu jauh dari kampus tempat mereka menimba ilmu.
"Ayo, kita temui bos dulu," ajak Aldo sembari menuntun Vivian ke bagian office yang letaknya di lantai bawah.
Ketukan pada pintu Aldo buat dan setelah diizinkan masuk, keduanya pun baru berjalan ke dalam satu persatu dimulai dari Aldo dulu.
"Sore, Kak," sapa Aldo kepada si pemilik cafe, yang ternyata masihlah muda. Bila dikira-kira, usianya mungkin baru sekitar dua puluh lima tahunan.
"Iya sore. Oh ini, yang kamu bilang ingin bekerja di sini juga??" tebak lelaki yang tengah duduk di kursi.
"Iya, Kak. Ayo perkenalkan diri kamu," perintah Aldo kepada wanita yang tersenyum tipis, lalu menjulurkan tangannya.
"Saya Vivian, Kak."
"Saya Danish. Pendiri dan juga pemilik cafe ini."
Vivian melepaskan jabatan tangan mereka dan Aldo pun menjadi juru bicaranya lagi. "Tapi, saya ajak dia untuk melihat-lihat dulu, Kak. Karena kebetulan, berkas lamarannya belum siap."
"Oh ya tidak apa-apa. Itu bisa menyusul nanti. Kita memang sedang butuh orang. Jadi, ingin langsung bekerja hari ini juga tidak apa-apa. Masalah berkas bisa menyusul besok."
"Boleh, Kak??" tanya Vivian yang ikut bersuara.
"Boleh. Oh iya tentang kebijakan cafe, upah dan yang lainnya, apa Aldo sudah menjelaskannya??"
"Iya sudah," balas Vivian.
"Ya sudah. Mulai ganti pakaian dan Aldo yang akan membimbing kamu di sini. Aldo, tolong bimbing Vivian ya? Beritahu apa saja yang harus dia kerjakan."
"Baik, Kak. Siap. Ayo," ajak Aldo yang kini keluar dari dalam ruangan lagi dan mengantar Vivian untuk berganti pakaian. Baru setelahnya, mereka melakukan persiapan pembukaan cafe.
Malam harinya. Ketika waktu makan malam tiba.
Thomas nampak memperhatikan kursi kosong, yang tadinya sempat dihuni oleh seseorang. Namun sekarang, penghuninya itu sudah tidak lagi terlihat batang hidungnya sama sekali.
"Dimana teman kamu itu??" tanya Thomas.
"Oh, Vivian kerja paruh waktu, Dad."
"Kerja paruh waktu?? Dimana??" korek Thomas lagi.
"Di cafe, Dad. Tadinya, cuma mau lihat-lihat dulu. Tapi tadi pas istirahat dia kasih kabar, kalau sudah mulai bekerja hari ini juga," jelas Yasmine.
"Oh begitu," ucap Thomas sembari melakukan suapan lagi dan bertingkah seperti tidak peduli.
Kini, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat lima belas menit. Thomas yang duduk diam di sofa, sejak makan malamnya selesai tadi, nampak memperhatikan pintu depan, dengan harapan, bila seseorang yang ditunggunya akan datang dari sana. Namun, yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang juga. Thomas membawa tubuhnya yang sebenarnya sudah letih ini, untuk pergi keluar. Ia tarik pintu dan saat baru menyembulkan kepala, seseorang yang ditunggunya nampak sedang melambaikan tangan kepada seorang pria, yang kini pergi menggunakan sebuah sepeda motor.
Thomas membuka pintu dengan lebih lebar dan dengan sengaja berdiri sambil bersandar pada pintunya, ia diam dan menunggu dengan tangan yang sedang menyilang di atas tubuhnya, serta tatapan mata yang intens kepada wanita, yang sempat menatapnya tetapi langsung membuang muka, sesaat ketika ia tiba di dekat pria tersebut.
"Diantar siapa??" tanya Thomas sembari menatap Vivian dengan raut wajah yang masam.