Yang Aku Inginkan Cuma Kamu

1632 Words
"Sebaiknya, kamu cari istri! Cari wanita lain, yang sebaya dengan kamu!" cetus Vivian dan membuat Thomas tertegun sembari memikirkan perkataan Vivian tadi. Cari istri?? Yang sebaya?? Thomas tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ia hanya berpikir, bila Vivian lah wanita yang sudah masuk ke dalam kriterianya. "Tapi yang aku inginkan cuma kamu. Apa hal itu salah?" tanya Thomas yang memiliki sedikit kesadaran, setelah mendengar ucapan dari mulut Vivian tadi. "Salah! Hal itu salah! Usia kita bahkan terpaut terlalu jauh. Aku ini, seusia anak anda! Apa anda tidak sadar hal itu??" sebuah tamparan yang kembali Vivian berikan, kepada lelaki yang langsung terlihat murung raut wajahnya. Oh ya ampun, sekalinya membuka hati, ia malah ditolak mati-matian begini. "Baiklah. Aku... Aku akan pergi," ucap Thomas yang kini keluar dari dalam kamar Vivian. Esok harinya. Saat sarapan, Thomas tidak terlalu banyak bicara. Bahkan, ia benar-benar tidak bicara sama sekali. Kalau bukan Yasmine yang mengajaknya bicara duluan. "Dad?? Nanti sore lembur lagi??" tanya Yasmine, yang sebelumnya sudah dikabari, bila ayahnya ini akan pulang terlambat, karena masih ada pekerjaan. Pekerjaan menunggu Vivian sampai malam. "Tidak. Tidak akan lembur lagi," jawab Thomas dengan wajah yang kusut dan sembari menyuap makanan ke dalam mulutnya sendiri. "Bagus deh. Soalnya, Yasmine takut sendirian di rumah. Vivian kerja, Dad juga kerja. Kalian malah kerja semua sampai malam. Yasmine jadi iseng sendirian. Apa lagi, sekarang mbak selalu pulang ke rumahnya, kalau malam, dari mulai ibunya mbak sakit," ucap Yasmine tentang pelayan di rumah ini. "Iya. Sekarang malam, Dad akan temani kamu dan tidak akan kemana-mana," ucap Thomas sembari seolah tidak peduli dan tidak melihat ke arah Vivian sama sekali. Sementara itu di cafe. Ketika sore harinya. Vivian nampak merogoh isi dompetnya. Aldo tidak pergi bekerja hari ini karena sakit. Jadinya, ia terpaksa harus pulang sendirian dengan angkutan umum. Untungnya, ia masih memiliki sedikit simpanan uang. Jadi bisa untuk ongkos pulang malam ini. Uang sudah ada di genggaman tangan. Tapi kendaraan umumnya, yang belum kelihatan sama sekali. Padahal, baru juga pukul sembilan malam. Sementara itu di rumah. Yasmine sedang bermanja-manjaan bersama dengan sang ayah. Ia nampak merebahkan kepalanya di pangkuan Thomas sembari menonton televisi. Rutinitas, yang memang selalu mereka lakukan bersama, sejak Yasmine kecil. Sampai sekarang, Yasmine yang sudah mulai beranjak dewasa. Sungguh tidak pernah Thomas sadari, bila waktu akan berjalan secepat ini. Ia sudah tua. Anaknya pun sudah gadis. Tapi, kenapa gairahnya menggebu-gebu seperti saat muda dulu?? Apa ini yang disebut dengan puber kedua?? Puber kedua yang agak menjengkelkan, karena ia yang malahan menyukai teman dari anaknya sendiri. Setelah belasan tahun lamanya, hanya wanita itu saja, yang bisa menggetarkan hatinya sampai seperti ini. Tapi sayang sekali, ia malah ditolak. Apa perjuangkan saja? Wanita senang sekali diperjuangkan bukan?? Lagi pula, bagaimana dengan malam yang pernah mereka lewati bersama juga waktu itu. "Sudah tidur. Ini sudah malam," perintah Thomas, kepada wanita muda yang berada di pangkuan. "Vivian belum pulang, Dad. Mana Aldo tidak masuk kerja hari ini. Kira-kira, dia pulang bersama siapa ya nanti??" "Aldo siapa??" tanya Thomas yang malah lebih fokus, pada nama lelaki yang disebutkannya tadi saja. "Teman sekelas Yasmine waktu SMA dulu, Dad. Sekarang satu kampus juga. Tapi beda jurusan. Dia itu, yang beritahu kalau ada lowongan kerja part time di tempatnya. Memang sedang cari teman malahan. Pas sekali, Vivian sedang butuh pekerjaan. Hahhh... Sudah jam segini, daerah di dekat cafe-nya agak sulit kendaraan umum. Kalau mau ke halte bus harus jalan agak ke depan. Ah jadi kepikiran. Vivian pasti tidak mau naik ojol. Sayang uangnya." "Kalau begitu, Dad jemput saja," usul Thomas dan Yasmine pun segera bangun dari pangkuan Thomas. "Ya sudah. Yasmine ikut dong, Dad!" cetus Yasmine. "Tidak usah. Ini sudah malam. Oh iya, sepertinya, Dad tidak jadi menjemputnya," ujar Thomas, yang baru ingat, bila sudah ditolak dengan mentah-mentah. "Lho kenapa??" tanya Yasmine. "Suruh supir saja. Dad sedang malas keluar," ujar Thomas, yang sebenarnya ingin sekali menjemput. Tapi, yang dijemput pasti tidak ingin ia yang datang ke sana. "Ya sudah deh. Yasmine mau telepon Vivian dulu. Kasihan kan, kalau dia menunggu lama di sana. Ah handphone Yasmine di kamar lagi," keluhnya. "Ini, pakai ini saja," ucap Thomas sembari menyodorkan ponselnya. Lumayan, ia bisa dapat nomornya tanpa harus bersusah payah untuk meminta, dari wanita yang mana mungkin akan memberikan nomor sendiri, secara suka rela. "Halo, Vi??" ucap Yasmine, saat sambung telepon terhubung. "Iya. Ini siapa ya?" tanya Vivian. "Yasmine. Kamu sudah pulang belum?? Hari ini, Aldo tidak datang ke cafe kan??" tanya Yasmine. "Belum. Masih ada di luar cafe nih. Mau pulang, tapi bingung. Kok di depan sana jalanannya agak sepi ya? Rawan tidak sih, Yas??" tanya Vivian, yang tadinya ingin berjalan sampai ketemu dengan angkutan umum. Tapi sudah malam begini dan jalannya pun sepi. Ia jadi takut, bila ada orang yang berniat jahat. "Ya sudah. Kamu tunggu disitu aja jangan kemana-mana. Sebentar lagi, Pak Berry jemput kamu kok." "Oh begitu ya, Yas? Iya deh aku tunggu di sini." "Ini, Dad. Sudah," ucap Yasmine sembari memberikan ponsel yang berada di genggaman tangannya kepada sang ayah. "Ya sudah. Kamu naik dan tidur saja. Ini sudah malam. Besok masih harus kuliah kan??" "Iya sih, Dad. Ya sudah deh. Yas mau naik ke atas dulu." "Iya. Ya sudah." Sepeninggalan Yasmine. Thomas pun segera menghubungi supirnya dan menyuruhnya untuk menjemput wanita, yang malam-malam begini masih saja berada di luar rumah, dengan alasan pekerjaan. Sesampainya Vivian di rumah. Thomas tengah duduk di ruang tamu sembari membaca sebuah buku. Ia tidak melirik sana sini. Bahkan, saat Vivian masuk ke dalam rumah. Thomas masih saja diam, tanpa melakukan banyak pergerakan. Hanya saja, setelah Vivian naik ke lantai atas. Barulah setelah itu, Thomas akhirnya menghela napas. Baguslah, sudah pulang pikirnya. Ia khawatir sekali. Ingin pergi menjemput pun, takutnya dia malah marah-marah lagi. Jadi, ia malah menyuruh supir saja, untuk menjemput wanita, yang masih juga ingin membuatnya mendekat. Tapi yang didekati malah selalu enggan dan sukar untuk didekati. Keesokan harinya. "Kamu sakit ya kemarin?" tanya Vivian, kepada Aldo yang akhirnya datang juga ke cafe. "Iya nih. Kamu pulang dengan siapa kemarin jadinya? Sendiri??" Vivian menggeleng sambil melipat bibirnya. "Sama supirnya Yasmine." "Ooh... kamu dijemput jadinya??" "Iya." "Terus, nanti malam dijemput lagi??" tanya Aldo. "Nggak tahu juga sih," jawab Vivian. "Ya udah. Nanti pulangnya sama aku aja ya?" "Em, iya boleh deh. Kalau kamu nggak repot itu juga." "Ya nggaklah. Eh ayo, sudah mau buka. Kita siap-siap dulu." "Iya ayo." Malam harinya. Saat semua pekerjaan telah selesai. Aldo dan Vivian keluar dari dalam cafe bersama. Namun, saat sudah didepan. Aldo pergi untuk mengambil sepeda motornya terlebih dahulu. Barulah setelah itu, ia kembali kepada Vivian lagi. "Ini, pakai dulu helmnya," ucap Aldo sembari memberikan helm untuk Vivian. "Kamu bawa dua helm? Kok tumben sih??" tanya Vivian sambil tersenyum dengan dahi yang mengernyit heran. "Iya. Untuk keamanan kan? Ini, ayo pakai," perintah Aldo sembari mengayunkan helm kepada Vivian. Vivian ambil helm yang Aldo berikan untuknya dan siap-siap untuk naik ke atas motor Aldo juga. Namun, belum sempat terlaksana. Cahaya lampu mobil membuat Vivian maupun Aldo memalingkan pandangannya. Mobil yang baru saja datang itu, nampak berhenti di hadapan Vivian dan juga Aldo. Selanjutnya, kaca mobil itupun terbuka dan seseorang , yang tidak Alice sangka-sangka, malah datang juga ke hadapannya. "Ayo naiklah," perintah orang tersebut sambil menatap ke arah depan. Vivian berdecak dengan bingung. Sudah memakai helm begini. Tapi malah dijemput juga dan itu, malah oleh orang ini pula. Apa dia, tidak takut dengan anaknya?? "Kamu dijemput ya?" ucap Aldo yang belum terpikirkan ada apa-apa. Pikirnya, kedekatan Vivian dengan orang yang berada di dalam mobil sekarang, ya sama saja dengan dekat kepada anaknya. "Iya," balas Vivian sambil tersenyum kaku. "Ya sudah, sana naik." Vivian menghela napas dan membuka helm yang sudah terpasang di kepalanya. Setelah itu, ia berikan kepada helm itu kembali kepada sang pemiliknya lagi. "Sudah sana. Kamu sudah ditunggu tuh," ucap Aldo, yang membuat Vivian mau tidak mau naik juga ke dalam mobil. Tadinya, ingin bersikeras untuk diantar oleh Aldo saja. Tapi, kalau ia ketahuan menghindar, Aldo malah akan curiga dengan hubungan mereka berdua nantinya. Vivian menghela napas dengan sangat panjang dan naik ke dalam mobil. Sebelum itu, ia menyapa Aldo terlebih dahulu baru menutup pintu mobil rapat-rapat. "Aku duluan ya, Aldo?" ucap Vivian. "Oh iya, hati-hati di jalan," pesan Aldo sampai akhirnya Vivian menutup pintu mobil dan Thomas nampak berkata-kata. "Mulai hari ini dan seterusnya, kamu akan dijemput olehku ataupun supir. Jadi, kamu tidak perlu lagi pulang bersama dengannya," ucap Thomas sembari melaju dengan mobilnya. Setelah beberapa puluh menit dilalui. "Om masih belum mau berhenti juga??" ucap Vivian ketika, mereka berdua baru saja sampai di depan kediaman Thomas. "Apa yang sudah kita mulai, tidak mungkin dihentikan. Kita ini sudah terlalu jauh Vivian." "Oh ya ampun! Apa Om masih belum sadar juga???" ucap Vivian sembari menoleh kepada Thomas. "Sadar?? Tentu saja aku sangat sadar. Aku sadar, kalau kamu begitu menarik. Sampai-sampai membuatku tidak ingin melepaskan kamu begitu saja," ucap Thomas sembari mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Vivian. Tapi Vivian tepis dengan kencang. Setelah itu, Vivian pun turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Thomas yang melihat pemandangan tadi itupun terdiam. Lalu kemudian tersenyum menyeringai dan ikut keluar dari dalam mobilnya juga Sesampainya Vivian di dalam kamarnya. Vivian melompat ke atas ranjang dan menelungkup di atasnya. Ia menghela napas sampai berkali-kali, karena lelahnya pekerjaan hari ini dan ditambah lagi, dengan seorang pria berumur, yang dengan sangat nekat mengejarnya terus menerus. Apa yang dia inginkan, dari wanita seperti dirinya ini?? Kenapa harus sampai sebegitunya kelakuan dia?? Ah entahlah. Ia tidak mau memikirkan orang itu melulu. Hanya menambah beban pikiran saja. Lebih baik, ia fokus pada pekerjaan dan juga pendidikannya saja. Mencoba untuk bertahan hidup seorang diri, di tengah kerasnya kehidupan ini. Ya, inginnya seperti itu. Tapi apa mau dikata, bila ayah dari sahabatnya sendiri, malah tergila-gila kepadanya dan terus menerus mengejar-ngejar dirinya, bak sudah tidak ada perempuan lain saja di dunia ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD