Hubungan Serius

1113 Words
Beberapa hari telah berlalu, hubungan Enggar dan Berlian makin dekat saja, Enggar yang selalu ke rumah Berlian dan membeli beberapa permainan game seru untuk Denis. Enggar yang sering menjemput Berlian dan mengantarkan pulang ke rumah setelah bekerja. Sering jalan bersama ke kota dan makan malam bersama. Sering menghabiskan waktu mengobrol diteras rumah. Semuanya telah dilakukan Enggar dan Berlian seperti pasangan pada umumnya. Serly yang menyukai Enggar sejak dulu, sangat kesal dan marah pada Berlian, Serly sangat yakin jika Berlian memilih hubungan khusus dengan Enggar, namun tak terlihat saja karena mereka masih professional di lingkup pekerjaan. Hari itu, Arsenio memanggil Enggar ke ruangannya, ia akan memberikan tugas penting pada sahabatnya itu. Enggar masuk ke ruangannya dengan tawa yang bahagia. Siapa yang tak bahagia telah memiliki kekasih dan tujuan. “Ada apa, Bro?” tanya Enggar duduk di hadapan Arsenio. Ada kursi yang disiapkan di depan meja kerja Arsenio. “Gua punya tugas buat lo,” jawab Arsenio membolak-balikkan dokumen penting ditangannya, lalu memberikannya kepada Enggar. “Apa ini?” tanya Enggar melihat isi dokumen tersebut. “Jadi … gua harus ke Jakarta?” “Benar. Pekerjaan itu sangat penting, sekitar sebulan saja lo selesein di sana,” jawab Arsenio. “Baiklah.” Enggar mengangguk. “Kelihatannya … beberapa hari ini lo seneng banget,” pancing Arsenio. “Iya. Gua emang lagi seneng, gua jadian sama Berlian,” seru Enggar. “Wah? Iya? Benarkah? Gua turut seneng,” seru Arsenio berwajah masam. “Kapan gua berangkat?” “Hari ini,” jawab Arsenio. “Oke. Gua packing barang-barang gua dulu.” Arsenio menganggukkan kepala, ia memiliki niat jahat untuk memisahkan Enggar dan Berlian. *** “Kapan kamu berangkat ke Jakarta?” tanya Berlian membuat Enggar menoleh menatap kekasihnya itu, mereka sedang makan siang bersama di salah satu warung makan di seberang kampung. Warung yang terlihat ramai karena pengunjung dari perusahaan Arsenio. “Malam ini,” jawab Enggar. “Emang penting banget ya kerjaan kamu?” “Penting.” Berlian mengangguk, ia tidak bisa mencegah kepergian Enggar, karena pekerjaan Enggar lebih penting dibandingkan dirinya yang menginginkan Enggar tetap di kampung ini. “Berapa hari kamu di Jakarta?” tanya Berlian lagi membuat Enggar mendongak dan menarik selembar tissue untuk melap bibirnya. “Paling lama sebulan. Aku akan kembali secepatnya jika pekerjaanku selesai dan kembali melamarmu,” kata Enggar membuat Berlian menautkan alis. “Melamarku?” “Iya. Kamu serius kan menjalin hubungan ini?” tanya Enggar. “Aku serius. Tapi benar kamu akan melamarku?” “Iya. Aku akan melamarmu dan menikahimu di kampung ini, lalu setelah proyekku selesai di sini, aku akan membawamu ke Jakarta dan memberikan kebahagiaan untukmu,” jawab Enggar membuat Berlian terharu mendengarnya. Berlian menitikkan air mata, ia tak menyangka seorang pria yang berdedikasi tinggi seperti Enggar mau dengan wanita sepertinya, ia bukan wanita yang bisa di andalkan Enggar, bukan wanita yang bisa di perkenalkan Enggar pada teman-temannya, ia hanya lah gadis desa yang memiliki banyak impian dan tidak memiliki keberanian untuk mengejar impian itu. Lalu ketika ia jatuh, seorang lelaki memberikannya harapan. “Gimana? Kamu mau kan menjadi istriku?” Berlian menganggukkan kepala. Flashback OFF. . . Berlian menitikkan air mata ketika mengingat janji yang diberikan Enggar padanya, bahwa ia akan di nikahi dan dibahagiakan, namun entah mengapa takdirnya malah berbelok ke Arsenio, ia menjadi istri dan menjadi penghancur rumah tangga orang lain. Andai saja ia bisa mengulang waktu dan tahu akan terjadi seperti ini, ia sudah pasti akan menghindari semuanya dan pergi entah kemana. Berlian memejamkan matanya, wajahnya terlihat pucat, dan ia menggigil sejak tadi. Mungkin karena rasa sepi yang menyergap hati dan pikirannya, kehilangan Enggar dan kehilangan Denis secara bersamaan. Air mata itu tak pernah berhenti turun dan membasahi pipinya. Lelap pun menjemputnya. *** Sudah tiga puluh menit Arsenio menghabiskan waktunya untuk membolak-balikkan koran pagi yang sudah langganan di rumah ini, ia membaca banyak berita. Berita pagi memang salah satu sarapan yang biasa orang-orang kaya lakukan sebelum berangkat kerja, minum kopi dan membaca koran, seraya menikmati cemilan penutup mulut. Sesaat kemudian … Arsenio menoleh dan melihat putrinya sudah siap dan rapi. Begitu pun Mufta. “Pagi, Papa,” ucap Alifah—putri sematawayangnya. “Eh pagi?” kekeh Arsenio. “Tadi kan udah ucapin pagi, Sayang, pas kita sarapan bareng, ‘kan?” “Hehe. Seneng banget rasanya lihat Papa dan Mama di rumah,” kata Alifah memeluk papanya. Mufta duduk dihadapan suaminya, tersenyum Alifah dan Arsenio yang tertawa sejak tadi. Arsenio yang menggelitik perut putrinya tertawa bahagia. “Sayang, kita makan siang bareng nanti?” tanya Mufta memegang lengan suaminya, namun Arsenio langsung menghempaskan tangan istrinya, membuat Mufta membulat. Banyak perubahan yang dirasakan Mufta pada sosok suaminya itu, namun Mufta tak pernah membicarakannya pada Arsenio tentang apa yang ia rasakan. “Aku nggak bisa makan siang denganmu,” jawab Arsenio membuat Mufta menautkan alis. Dulu Arsenio yang sering mengajaknya makan siang bersama, meski Mufta menolak, pasti suaminya itu yang penuh semangat. Suara ponsel Arsenio terdengar, Arsenio melihat layar ponselnya dan melihat Telepon Rumah menelponnya. “Sayang, Papa angkat telpon dulu,” kata Arsenio bangkit dari duduknya dan melangkah menjauh dari istri dan putrinya. ‘Halo? Ada apa?’ tanya Arsenio. ‘…..’ ‘Apa? Baiklah. Aku akan segera ke sana,’ jawab Arsenio lalu setengah berlari menuju luar rumah tanpa pamit pada Alifah dan Mufta yang masih melihat punggungnya. “Ma, Papa kenapa? Kok buru-buru gitu?” tanya Alifah. “Mama juga nggak tahu, Sayang, ayo kita pergi,” kata Mufta. “Bukannya Papa yang mau anterin kita?” “Nggak usah. Kan Papa ada kerjaan, makanya buru-buru begitu,” kata Mufta membuat Alifah menghela napas halus dan menganggukkan kepala. “Bilyar, kita langsug ke rumah Berlian,” perintah Arsenio. “Baik, Pak,” jawab Bilyar sang supir pribadinya yang mengantarnya kemana pun. Arsenio mendapatkan kabar dari Eci bahwa Berlian demam tinggi dan tidak sadarkan diri sejak tadi. Arsenio sangat khawatir, ia juga sudah dua hari menginap di rumah Mufta. “Lebih cepat, Bilyar,” kata Arsenio membuat Bilyar mengangguk dan melajukan mobilnya lebih cepat. “Oh iya. Mampir ke rumah sakit Harapan untuk menjemput Raka.” “Baik, Pak.” Sebelum itu Arsenio sudah mendapatkan balasan temannya bahwa ia akan menunggu di depan rumah sakit, Raka adalah seorang dokter Umum, ia akan memeriksa kondisi Berlian. Mufta mengemudikan mobil dan menuju sekolah Alifah, hari ini ia akan bertemu dengan Enggar, mereka akan membicarakan tentang semua hal yang terjadi selama mereka berpisah. Mufta memang merasakan perubahan suaminya, namun ia tidak pernah menanyakan pada suaminya tentang itu, yang ia lakukan adalah keluar setiap pagi dan pulang malam hari, untuk menemui Enggar. Enggar adalah Sebagian belahan jiwanya, dan ia tidak bisa tak bertemu sehari dengan lelaki itu. Mereka selingkuh? Baca di bagian selanjutnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD