“Aku ingin kamu menikah denganku.”
Berlian membulatkan matanya penuh mendengar permintaan Arsenio padanya, bagaimana bisa ia mengkhinati apa yang sudah ia janjikan pada Enggar, ia akan menunggu Enggar apa pun yang terjadi, lalu menikah? Tidak mungkin.
“Menikah dengan Anda. Tapi saya sudah—”
“Sudah berpacaran dengan Enggar?”
“Lalu kenapa Bapak—”
“Aku hanya menginginkan satu hal, bayar hutangmu dengan menikah denganku.”
“Bapak nggak bercanda, ‘kan?”
“Aku nggak sedang bercanda,” jawab Arsenio. “Kalau kamu nggak bersedia, kembalikan seluruh uang dan data perusahaan yang hilang.”
“Tapi, Pak, bagaimana saya bisa mengembalikan data perusahaan yang hilang?”
“Dengan cara menikah denganku,” jawab Arsenio. “Aku tidak akan memberikanmu waktu. Katakan saja sekarang kamu mau atau tidak?”
“Pak, Anda serius?”
“Saya serius.”
“Anda kan tahu saya memiliki hubungan khusus dengan Enggar, bahkan kalau tidak salah … Anda adalah sahabatnya Enggar, tapi mengapa malah ingin menikahi saya?” tanya Berlian.
“Aku nggak akan mengatakan alasanku, jadi mengapa harus menyusahkan diri bertanya? Aku hanya membutuhkan satu jawaban dari dua pilihan. Mau atau tidak? Jika tidak … bayar seluruh kerugiaan perusahaan, jika mau kamu bisa aku sejaterahkan. Aku tahu … ibumu di rumah sakit dan tidak mendapatkan perawatan karena biaya. Aku akan memberikan apa yang kamu butuhkan dan inginkan.”
“Anda tahu darimana Ibu saya di rumah sakit?”
“Jika kamu membiarkan ibumu nggak mendapatkan perawatan, kamu bisa kehilangan dirinya.”
“Pak, Anda—”
“Katakan saja. Kamu mau atau tidak?”
Sejenak Berlian terdiam, ia memang benar-benar membutuhkan biaya untuk ibunya, namun menikah dengan bosnya? Apakah itu memang yang terbaik? Bagaimana dengan Enggar?
Berlian dipenuhi dengan pikiran-pikiran aneh tentang Arsenio yang menginginkan pernikahan dengannya. Berlian terkesiap ketika Arsenio menjentikkan jarinya dihadapan wajahnya. Berlian tersadar dari lamunannya dan menatap wajah atasannya itu.
“Pak, apakah benar Anda mau menikah dengan saya?” tanya Berlian.
Arsenio menghela napas panjang dan berkata, “YA aku akan menikahimu. Memangnya kenapa? Salah menikahi seorang wanita? Jika kamu menginginkan kesejateraan aku akan memberikannya, tapi syaratnya kamu harus mau menikah denganku.”
Berlian menghela napas panjang dan berkata, “Baiklah. Aku setuju menikah dengan Bapak.”
Berlian tak perduli lagi, soal perasaannya, yang terpenting dari semuanya, ia bisa memberikan segala kebutuhan keluarganya, ia adalah tulang punggung keluarga, sebagai tulang punggung keluarganya, ia akan menganggap ini pekerjaan. Meski Enggar akan sangat kecewa padanya.
“Kalau begitu … pulang lah, tentang aku memecatmu, aku serius,” kata Arsenio.
“Tuan, apakah Anda—”
“Cukup! Jangan banyak tanya lagi,” bentak Arsenio.
Flashback OFF.
***
“Ahhh … Ahh … Ahh, oh baby, please.” Sebuah desahan membanjiri kamar yang penuh dengan fasilitas saat ini, terlihat anak adam dan hawa itu sedang menikmati percintaan panas mereka di siang hari, bahkan dengan sengaja membiarkan tirai terbuka yang memperlihatkan gedung tinggi lainnya.
“Ahhh, aku … mau … keluar,” teriak Enggar terus memainkan pinggulnya.
“Baby … oh ahh,” desah Mufta terlihat berpeluh di bawah tindihan Enggar, ini lah kenikmatan yang ia cari, selama ini Enggar memberikan apa pun yang ia inginkan termaksud kebahagiaan di atas ranjang, sedangkan pada suaminya, Mufta tidak lagi merasakan apa pun.
Akhirnya sejuta sel milik Enggar keluar, untung saja tidak sampai ke rahim Mufta. Mereka menggunakan alat yang bisa mencegah kehamilan dan hanya menikmati semua ini. Bersenang-senang di atas ranjang, yang tidak ia dapatkan dari suaminya.
Enggar berguling di sampung Mufta dengan helaan napas halus. Harusnya ia bekerja sekarang, namun ia harus memuaskan dirinya dan Mufta agar ia bisa bekerja dengan baik.
“Aku sangat puas jika bermain denganmu,” kata Mufta.
“Aku memang selalu bisa memuaskanmu. Tapi, kenapa kamu tidak ikut Arsenio?” tanya Enggar.
“Jika ikut dengannya tetap tidak mendapatkan kebahagiaan di atas ranjang, percuma saja, bukan?” geleng Mufta.
“Bukankah kita jahat?”
“Jahat? Arsenio lebih jahat padaku,” kata Mufta.
“Dia sudah memberikan apa yang dia miliki padamu. Kamu dikenal orang karena menikah dengannya, bukankah begitu> Dia juga adalah pria yang tampan, kaya dan berkebangsaan luar negeri.”
“Bukan itu yang aku butuhkan, Enggar. Aku membutuhkan seseorang yang mampu memuaskanku di ranjang. Sepertimu,” kata Mufta menoleh dan menatap Enggar yang kini melihat langit-langit kamar hotel tempat mereka selalu menghabiskan waktu bersama.”
Sedangkan, Arsenio tahu apa yang mereka lakukan meski ia tidak di Jakarta saat ini, Arsenio tahu dari seseorang yang ia bayar untuk mengawasi istri dan temannya itu. Dan, selalu saja kecewa yang ia dapatkan dari laporan orang yang ia bayar.
***
Flashback ON.
‘Apa?’
‘Mereka bertemu di hotel Maple,’ kata Hendrik—orang yang ia bayar untuk mengawasi istri dan temannya.
‘Lalu?’
‘Sepertinya mereka menginap di hotel itu,’ kata Hendrik.
‘Sudah kamu pastikan?’
‘Sudah.’
‘Bagaimana dengan beberapa berkas itu?’
‘Di tinggalkan oleh Enggar,’ jawab Hendrik.
Arsenio menghela napas panjang, ia benar-benar tak menyangka dengan apa yang terjadi. Istrinya itu tidak pernah mengharapkannya pulang, namun sangat bahagia ketika Enggar kembali ke Jakarta.
‘Apa yang harus saya lakukan, Mr?’ tanya Hendrik.
‘Pergi saja dari situ dan pulang lah. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu besok.’
‘Apakah Anda baik-baik saja?’
‘Aku baik-baik saja. Aku sudah terbiasa dengan kabar ini.’
‘Baiklah, Mr.’
Arsenio menghela napas panjang, melihat pemandangan desa dari ruang kerjanya, ia harus lebih kuat demi putrinya Alifah. Alifah membutuhkan ibunya, itu lah alasan Arsenio masih mempertahankan pernikahannya dengan Mufta sampai saat ini.
Arsenio memegang gelas kristal yang tidak mudah pecah, menggenggamnya kuat hingga pecah dengan mudah. Kekuatan laki-laki memang selalu muncul ketika kesal dan tidak bisa menahan amarah dalam hati.
Darah dari tangan Arsenio mengucur, tak perih sama sekali, karena lebih perih perbuatan Mufta dan Enggar padanya. Di khianati dan di berikan luka ini.
Arsenio melangkah dan keluar dari ruangannya. Mengabaikan Berlian yang masih duduk di kursi kerjanya. Berlian melihat langkah kaki Arsenio yang menaiki tangga menuju kamarnya. Berlian menghela napas halus, satu sisi ia melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari Arsenio, namun di sisi lain ia merasa Arsenio kesepian.
Berlian menggeleng kuat, ia tidak boleh memikirkannya, ia hanya bekerja di sini dan mencari uang, urusan bossnya itu biarlah menjadi urusannya bossnya juga.
Berlian hendak fokus ke layar monitor, setiap hari ia harus mendapatkan perintah dari Lastri untuk mengerjakan laporan-laporan yang harusnya di kerjakan oleh Lastri sendiri.
Berlian melihat darah di lantai seperti sebuah jejak kaki ketika mencari seseorang, Berlian menoleh dan melihat ke arah tangga, darah itu masih ada.
Gadis desa itu bangkit dari duduknya dan melangkah ke arah tangga, darah itu masih ada.
Salah satu sifat Berlian adalah … selalu tidak bisa mengabaikan apa yang ia lihat, ia pun dengan keberanian yang tinggi, menaiki tangga dan menuju kamar bosnya.
Sampai di atas yang pertama ia lihat adalah kamar yang terbuka dan suara gemuru di dalam sana.
Berlian melihat bossnya itu tengah duduk di lantai dekat ranjang, menyandarkan kepalanya seraya melihat pemandangan desa diluar sana. Berlian melihat sepi di wajah itu, kasihan sekali. Apakah bossnya itu merasakan hal yang sama dengannya? Sepi dan hanya ada adiknya saja?
Berlian menghampiri ranjang dan memilih duduk disamping Arsenio. Lelaki itu menoleh dan menghela napas panjang, ia tidak ingin seseorang melihatnya seperti ini, namun mengusir Berlian dari sini pun tidak akan berhasil, karena ia membutuhkan seseorang yang bisa memberikan sandaran untuknya.
“Jika sesuatu sangat berat, selalu ada Allah yang bisa menghapus sedih dan masalah,” kata Berlian tanpa menoleh melihat bosnya, karena tak ingin melihat mata yang selalu memaksanya itu.
Arsenio bukan tipe pria yang cengeng, ia pria yang kuat, karena itu masalah perselingkuhan istrinya tidak pernah membuatnya merajuk, tidak pernah mengamuk, yang ia lakukan malah menghindari istrinya. Namun, Arsenio juga manusia, ia bisa lelah dengan semuanya, ia bisa sedih dengan semua yang terjadi, ia bisa menangis meski sulit.
Berlian bangkit dari duduknya dan hendak melangkah, namun Arsenio menggenggam tangannya, Berlian menunduk dan menatap wajah Arsenio, juga tangan bossnya itu yang masih mengeluarkan darah dan ada beberapa kepingan yang menusuk tangannya.
“Kamu mau kemana?” tanya Arsenio.
“Aku akan mengambil kotak P3K,” jawab Berlian. “aku akan kembali.”
Arsenio lalu melepaskan genggaman tangan bawahannya itu, dengan helaan napas halus, ada apa dengannya, mengapa ia malah ingin mengadukan semua yang terjadi pada Berlian, tanpa tahu gadis itu seperti apa.
Tak butuh waktu lama, Berlian kembali dan membawa kotak P3K, ia duduk kembali disamping bosnya dan melihat darah yang dan luka yang sepertinya tidak dirasakan bossnya itu. Jika saja itu orang lain, ia pasti akan merasakan sakit, namun Arsenio tidak merasakannya sama sekali.
“Apakah Allah yang kamu maksud bisa menghapus sedih manusia?” tanya Arsenio, menoleh sesaat dan menatap Berlian yang kini meraih tangannya untuk diobati.
“Allah tahu apa yang kita butuhkan, apa yang kita rasakan dan apa yang bisa membuat kita tenang, jika ada masalah keluhkan semuanya pada Allah dan minta petunjuknya,” jawab Berlian membuat Arsenio menatap wajah gadis yang kini mengobati tangannya.
“Allah adalah tuhanmu?” tanya Arsenio.
Berlian menganggukkan kepala.
“Tuhanku bukan Allah,” kata Arsenio lagi.
Bodohnya Berlian melupakan hal itu. Arsenio adalah seorang non muslim, jadi tentu saja pria itu tidak akan mengerti apa yang ia katakan.
“Lalu keluhkan semuanya kepada Tuhanmu,” jawab Arsenio.
Arsenio menghela napas halus. “Meski aku memiliki segalanya, aku pun memiliki banyak masalah. Aku kehilangan banyak hal dalam hidupku.”
Berlian jadi ingin mendengar semuanya. Namun, ia bukan siapa-siapa. Ia hanya lah seseorang yang selalu tidak bisa mengabaikan apa yang ia lihat.
Flashback OFF.