Kurasa saat ini aku terkena karma. Kalian mengerti maksudku? Aku harap begitu, karena aku benar-benar membutuhkan penjelasan. Sesuatu yang memenuhi pikiranku saat ini benar-benar membuatku bingung. Sekarang kalian juga mulai bingung dengan apa yang aku bicarakan. Oke, aku akan memulainya dari awal.
Aku, seorang pria keturunan pribumi. Asli Indonesia. Dengan postur tubuh tegap dan kulit yang kecoklatan. Mempunyai garis rahang dan tulang pipi khas seorang pria sejati. Badanku tidak terlalu besar seperti atlet binaraga, tapi aku ditakdirkan memiliki bentuk tubuh yang sempurna, dengan perut sixpack dan otot-otot yang keras. Wajahku? Hmm ... aku yakin di atas rata-rata. Terlihat dari daftar gadis-gadis seksi yang menunggu untuk mendapat giliran berkencan denganku.
Oke, sekarang kalian pikir aku menyebalkan? Oh ayolah, aku hanyalah pria muda yang menikmati hidup.
Aku seorang pemuja wanita—seksi—di sini aku tekankan kata seksi karena aku tidak tertarik dengan yang selain itu. Untungnya aku memiliki segala yang diinginkan wanita, tubuh sempurna, wajah tampan dan uang yang melimpah. Itu membuatku mudah mendapatkan gadis yang kumau. Jangan tanyakan berapa banyak wanita yang sudah kutiduri, aku terbiasa meniduri wanita sesering mengganti celana dalamku. Oke, aku bercanda. Tidak sesering itu, tapi paling tidak seminggu sekali aku bercinta dengan wanita berbeda.
O, ya. Perlu kalian ingat di sini, aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita bertubuh besar. Wanita-wanita yang kukencani hanyalah wanita ramping, tinggi semampai dengan kaki yang indah. p******a montok itu pengecualian, aku menyukainya. Bukan wanita gendut dengan lemak di mana-mana. Bukankah itu terlihat menjijikkan. Tunggu! Jangan pergi dulu, karena dari sinilah ceritanya dimulai.
***
“Sialan. Lebih keras, Babe.” Teriakku di antara deruan napas yang memburu.
Saat ini aku berada di apartemen seorang gadis yang kutemui di bar semalam. Yah ... sekarang sudah pagi, matahari cukup tinggi di luar sana, tapi cahayanya tidak bisa menembus tirai yang menutupi jendela di ruangan ini.
Kami menghabiskan malam dengan bercinta, dan pagi ini, aku dibangunkan dengan kejutan menyenangkan. Blowjob yang menakjubkan. Hoo ... jangan melotot padaku. Pengetahuan untuk kalian para wanita ... percaya padaku, semua pria menyukai blowjob.
Sayangnya, kenikmatan yang kurasakan tidak berlangsung lama. Karena selanjutnya, aku dikejutkan suara seorang wanita bertubuh besar yang sudah berdiri di tengah pintu—bahkan tubuhnya menutupi pintu kamar—terbelalak melihat apa yang kami lakukan.
“RAINAAA ...” teriak wanita itu histeris.
Aku yang terkejut dengan kehadirannya terduduk bingung. Siapa Raina?
Sila—gadis yang memberikan blowjob padaku— kini terduduk di sampingku dengan wajah yang pucat pasi, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan bedcover. “Ka-kakak ...” gumamnya ketakutan.
Aku berpaling ke arahnya dan terbelalak, “Raina? Bukannya namamu Sila?”
“Aku Sila.” Gadis bertubuh besar itu sudah ada di hadapanku, berkacak pinggang dan menatapku tajam.
“Bu-bukannya kakak ... baru pulang besok.” Suara Raina terdengar putus-putus.
Aku makin terbelalak, “Dia kakakmu?” tanyaku tak percaya seraya menunjuk perempun yang ternyata bernama Sila itu.
“Aku kakak sepupunya.” Bentak perempuan itu kesal, tangannya menepis jariku yang menunjuk wajahnya. “Aku berubah pikiran, Raina. Apa yang kau lakukan dengan pria jalang ini di apartemenku?” tanya Sila dingin.
What??!!! Aku meradang mendengar sebutannya untukku. Pria jalang? Yang benar saja.
Aku berdiri, menjulang di hadapannya, tanpa mempedulikan ketelanjanganku. Setengah menunduk, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Mengintimidasinya dengan tatapanku. Namun dia sama sekali tidak terpengaruh, mendongakkan dagu angkuh, membalas tatapanku dengan tajam. Andai tatapan bisa mengobarkan api, aku yakin akan membutuhkan lebih dari seratus mobil pemadam kebakaran untuk memadamkannya.
“Dia ...” aku menunjuk Raina yang hanya mengkeret ketakutan, “habis bercinta denganku semalam. Di a-par-te-men-mu.” Gumamku menekankan kata apartemenmu. “Kau tahu, berapa ronde yang kami lewati ... lebih-dari-empat-ronde.”
Tangan Sila melayang bersiap untuk menamparku, dengan tangkas aku menangkap pergelangan tangannya. “Hati-hati dengan tanganmu ... BIG ...?” gumamku menghilangkan perasaan heran karena pergelangan tangan Sila yang terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya.
Wajah Sila memerah mendengar julukan yang kuberikan untuknya, dia menghentakkan tangan yang kupegang kesal. “Kau tahu, berapa umur Raina sekarang?”
Dia pikir aku bodoh, tentu saja aku sudah menanyakan umur Raina sebelum mengajaknya bercinta, dan aku pikir gadis 20 tahun sudah bisa memilih mana yang diinginkannya dan mana yang tidak.
Aku menyeringai, “Tentu saja. Kau pikir aku seorang p*****l?”
“Kau memang pedofil.” Tudingnya penuh amarah. “Bulan depan dia baru genap 16 tahun.”
Kata-katanya menghilangkan seringaian di wajahku. Raina tidak terlihat seperti gadis berusia 16 tahun, karena itu aku percaya saja waktu dia bilang umurnya 20 tahun.
“Kau bercanda,” desisku shock.
“Sayangnya tidak,” geramnya mendorong aku keluar dari kamar, melemparkan bajuku dan membanting pintunya keras.
Aku keluar dari apartemen itu dalam keadaan linglung, untungnya aku masih mengingat untuk memakai baju.
Kalian sudah bisa menebak ke arah mana ceritaku? Ya. Tentu saja ini tentang si ‘BIG’ yang aku sebut tadi.
Kejadian itu membuatku tidak bisa tidur selama berhari-hari, bayangan Big melaporkan perbuatanku ke pihak berwajib selalu membuat aku merinding ngeri. Bagaimana kalau Big benar-benar melaporkanku? Apa kata Papa tentang ini? Tunggu. kalian jangan berpikiran aku laki-laki manja yang kebutuhan hidupnya dipenuhi orangtua. Sama sekali tidak. Aku memang bekerja di perusahaan Papaku, tapi aku bekerja sangat keras seperti pegawai yang lainnya.
Cukup bercerita tentang diriku. Sekarang bagaimana caranya agar aku bisa terhindar dari masalah.
Satu-satunya cara, aku harus mencari tahu apakah Big melaporkan aku atau tidak.
Lalu aku memutuskan untuk mulai mengikuti Big, menguntitnya kemana-mana. Sama sekali tidak kuduga jika kegiatan baruku ini akan mengubah cara pandangku.
Melihat keseharian Big, membuatku mengerti karakternya. Dibalik tubuh besarnya yang penuh lemak, ternyata dia seorang yang sangat lembut dan penyayang.
Aku pernah melihatnya menggendong seorang kakek yang jatuh dari sepeda karena terserempet mobil. Aku juga pernah melihatnya membantu ibu hamil yang kecopetan di sebuah jalan yang sangat sepi. Big mengejar pencopet itu sendiri dengan tubuhnya yang besar, saat itu aku tertawa terbahak-bahak dari dalam mobil, melihat caranya berlari. Namun ketika dia terjungkal, jatuh terkapar di jalan tanpa bisa bangun lagi, perasaan iba menyelusup masuk ke dalam hatiku. Spontanitas aku keluar dari mobil dan berlari menghampirinya. Membantunya membalik tubuhnya yang tengkurap.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku cemas. Khawatir dia memiliki darah tinggi atau jantung yang bisa membuatnya celaka akibat terjatuh tadi.
Hei, jangan melihatku seperti itu. Dia sangat besar, kau tahu. Siapapun akan berpikir sama sepertiku.
“Kenapa kau ada di sini?” dia balik bertanya.
“Aku- aku hanya kebetulan lewat sini,” jawabku gugup.
“Kau tidak apa-apa, Nak?” perempuan hamil yang kecopetan berjalan mendekat ke arah kami.
Big tersenyum pada perempuan hamil yang kini sudah berada di depannya. Entah kenapa jantungku berdebar-debar saat melihat senyumannya.
“Saya tidak apa-apa, Bu. Maaf, saya tidak berhasil menangkap pencopet itu,” gumam Big penuh sesal.
“Tidak apa-apa, Nak. Ibu yang minta maaf, sudah merepotkan.”
“Tidak kok Bu.” Big mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tasnya dan menyerahkan ke perempuan itu. “Ini buat ganti uang ibu yang dicopet.”
Tentu saja perempuan itu menolak, tapi Big bersikeras agar uangnya diterima. Perempuan itu tidak bisa menolak, dia menerima uang Big dengan mata yang berkaca-kaca.
“Aku heran sama kamu,” gumamku pelan, ketika perempuan hamil itu sudah meninggalkan kami.
“Kenapa?”
“Kau sudah berusaha menolongnya, terjatuh eh ... malah minta maaf sama ibu itu.”
“Aku minta maaf karena tidak bisa membantunya menangkap pencopet itu. Apa itu salah?” Dia berusaha berdiri tapi kemudian memekik kesakitan.
Aku menangkap tubuhnya yang oleng. Secara tidak sadar, Big mencengkeram bahuku erat, pandangan kami bertemu, dan anehnya jantungku berdebar tidak karuan.
“Huh ... merepotkan saja,” gumamku, lalu aku mengangkat tubuhnya dan menggendong Big ke mobilku. “Ternyata kau sangat ringan. Kupikir wanita gemuk itu akan terasa berat.”
Wajah Big memerah, “Turunkan aku,” gumamnya, berusaha melepaskan diri dari gendonganku.
“Ssshhh ... tenanglah. Aku akan membawamu ke rumah sakit.”
Big akhirnya terdiam, memalingkan wajahnya yang sudah merah padam. Aneh ... kenapa dia terlihat cantik?
Sekarang kalian benar-benar mengerti kan, kenapa aku menyebut ini karma? Aku benar-benar tidak bisa menghilangkan Big dari pikiranku. Dia menghantuiku, hadir di setiap mimpi-mimpiku. Aku tidak ingin melewatkan satu hari pun tanpa BIG.
Semakin mengenalnya, aku semakin memahaminya. Big wanita yang cerdas, teman bicara yang sangat menyenangkan. Selain itu, sorot matanya mampu menghadirkan ketenangan dalam jiwaku, juga senyumannya.
Aku rasa, aku sudah mulai gila. Aku bahkan sering membayangkan bercinta dengannya. Meremas p******a besarnya, menyentuh lemak-lemaknya. Anehnya aku sama sekali tidak merasa jijik membayangkan itu, aku bahkan sangat b*******h.
Kalian ingat ketika aku mengatakan aku bisa mendapatkan setiap wanita yang kuinginkan? Berbekal kepercayaan itulah aku berniat berbicara dengan Big, menyangkut keinginanku untuk bercinta dengannya.
***
Aku merasa sangat kesal saat ini, terbangun dari tidurku di tengah malam ... dengan sesuatu yang basah dan lengket di boxer membuatku merasa tidak nyaman. Aku mimpi basah. Setelah bertahun-tahun tidak mengalaminya karena kebutuhan seks-ku selalu terpenuhi, kini aku kembali mimpi basah seperti layaknya remaja puber yang tidak pernah bercinta. Parahnya aku memimpikan Sila. Si Big yang sudah menolakku.
Sekarang kalian pasti menertawakanku. Tertawalah. Aku memang pecundang yang pantas ditertawakan.
Aku masih ingat saat membisikkan kata-kata itu pada Sila. Kata-kata yang selalu ampuh saat kubisikkan pada wanita lain.
“Bercintalah denganku ...” bisikku di telinganya saat berada di apartemen miliknya.
Sila tersenyum, bukan senyum sensual seperti para gadis yang kubisikkan kata-kata itu. Tapi senyum pengertian, dan dia berkata lembut, tanpa kesan menggurui sama sekali.
“Aku wanita baik-baik, Daniel. Tetaplah berteman denganku.”
Aku menunduk malu di hadapannya, seperti seorang murid yang ketahuan menyontek oleh gurunya ... atau anak badung yang ketahuan mencuri permen.
Dia satu-satunya wanita yang menolakku, dan aku justru sangat menginginkannya. Aku merasa tersiksa dengan kehidupanku sekarang, tidak enak makan ... tidak enak tidur. Kalian akan mengerti jika jadi diriku.
Kemudian aku berpikir keras, sangat-sangat keras. Sampai tidak tahu harus melakukan apa. Lalu cahaya itu datang, cahaya yang menuntunku untuk mendapatkan ide yang sangat brilian.
Kalian ingat Raina? Ya. Adik sepupu Sila yang pernah kutiduri. Aku bertemu dengannya di bandara, saat dia mau berangkat ke Amerika. Ternyata selama ini Raina tinggal di Amerika bersama ibunya. Itu menjelaskan tentang gaya hidupnya yang bebas.
Dia berada di Indonesia untuk mengunjungi sang ayah yang sudah bercerai dengan ibunya. Kami sempat berbicara, walau dia terlihat ketakutan saat berbicara denganku. Dia menceritakan sedikit tentang Sila, yang ternyata pernah mengalami trauma karena pemerkosaan yang dilakukan mantan pacarnya. Menurut Raina, sejak saat itu Sila tidak pernah berhubungan dengan pria manapun.
Raina juga menceritakan tentang hal yang paling diinginkan Sila saat ini, menikah.
Sejak pertemuanku dengan Raina, aku mulai memikirkan sesuatu. Suatu hal yang sangat penting dalam hidupku. Kalian mulai mengerti arah pembicaraanku? Tepat, aku akan melamar Sila dan menikahinya.
Membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan Sila bahwa aku mencintainya, dan ingin menikahinya. Sila tidak begitu saja percaya. Itu bisa dimengerti melihat panjangnya reputasiku. Tapi aku tidak menyerah. Aku terus berusaha.
Akhirnya ... setelah sebelas bulan berlalu dan 221 kali lamaran yang di tolaknya, dia menerima lamaranku yang ke 222 kali. Aku melompat-lompat kegirangan saat itu, di atas panggung konser sebuah grup band papan atas. Ya, aku melamarnya di tengah-tengah konser amal yang kebetulan dia menjadi panitianya.
Aku menerobos ke tengah panggung dengan paksa, merebut mic yang sedang dipakai vokalis band, dan melamar Sila di depan ribuan penonton. Tanganku menunjuk ke arah Sila, lampu sorot panggung mengikuti arah telunjukku. Sila yang berada di antara penonton, sedang menjual aneka aksesoris band pada para penonton untuk tambahan dana amal terlihat sangat kaget melihat beribu-ribu pasang mata yang menatap tubuh besarnya penuh rasa ingin tahu.
Aku mengucapkan lamaranku, memintanya untuk menerima cinta dan menikahiku.
Kalian pikir dia bisa menolak? Tentu saja tidak.
***
Hari ini hari pernikahanku, udara yang sejuk karena pendingin ruangan tidak mampu mengusir keringat yang terus mengucur di dahiku. Bagaimana tidak, aku berada di depan penghulu sekarang. Mengucapkan sumpah tanpa didampingi pengantin wanita.
Sila bersikeras untuk menemuiku ketika ijab telah selesai, tidak sebelum ijab qabul. Meski aku kecewa karena harus menunda keinginanku melihat Sila memakai baju pengantin, aku mencoba untuk memahaminya.
Sekarang, aku berjalan menuju kamar Sila. Di dampingi orang tua Sila yang tak henti-hentinya memberikan wejangan. Aku sempat kuatir, jangan-jangan mereka juga akan ikut masuk ke kamar Sila. Untungnya tidak. Mereka meninggalkanku saat aku sudah sampai di depan kamar Sila.
Aku menarik napas panjang, merasa gugup saat menyadari Sila sedang menungguku di balik pintu itu. Perlahan aku mengetuk pintu kamarnya.
“Sila ...” panggilku pelan.
“Masuk saja, Mas.”
Jantungku berdegup kencang mendengar Sila memanggilku Mas, bukan Daniel seperti biasanya.
Aku membuka pintu perlahan, melangkahkan kaki memasuki kamar Sila, dan menutup kembali pintunya, mengunci dengan hati-hati.
Melangkah mendekati Sila yang duduk membelakangiku di kursi putar, sebagian tubuhnya tertutup sandaran kursi yang diduduki. Mengulurkan tangan, aku membelai bahunya. Merasa ada yang berbeda, aku memutar kursi itu menghadapku ....
Aku terbelalak melihat perempuan yang duduk di hadapanku, tidak percaya dengan penglihatanku. Gaun kebaya putih panjang yang dikenakannya membentuk tubuhnya dengan sempurna, garis lehernya yang rendah memperlihatkan belahan payudaranya.
“Si-Sila ...” sebutku tak percaya.
Itu memang Sila, tidak diragukan lagi, wajah lembut itu, senyuman itu, mata itu ... itu milik Sila. Sila-ku ... si Big-ku ... yang sudah tidak besar lagi.
Sila yang di hadapanku adalah Sila yang ramping dan seksi.
“Ba-bagaimana bisa?” aku benar-benar tidak percaya.
Sila tersenyum minta maaf, “Maafkan aku, Mas. Aku sudah membohongimu. Ini ada alasannya. Aku bisa menceritakannya sekarang.”
Aku menutup bibirnya dengan jariku, siapa yang butuh penjelasan? Aku? Tidak saat ini. Aku mengangkat tubuhnya dari kursi dan meletakkannya di atas ranjang pengantin kami. Menatapnya tajam saat melucuti baju pengantinnya dengan tidak sabar. Membiarkan jiwaku melayang menembus keindahan pelangi dengan pendar-pendar cahaya di sekelilingku. Oh, Tuhan ... ini sangat indah.
Aku membelai rambutnya yang basah terkena keringat, mengecup keningnya lembut. Lalu berguling ke samping untuk kemudian menariknya dalam pelukanku.
“Sekarang kau bisa menceritakan alasanmu membohongiku,” gumamku sambil mencubit hidungnya.
Sila terkikik geli, “Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku hanya menghindari pria-p****************g yang mencoba mengambil keuntungan dariku.”
“Dengan berpura-pura menjadi gendut?” Lidahku tergoda untuk menelusuri cuping telinganya.
Kali ini Sila mendesah, “Hanya itu satu-satunya cara, bukan?”
Aku tidak memikirkan jawaban Sila. Saat ini, ada hal yang lebih penting yang harus kuurus.
“Aku mencintaimu Sila, tidak perduli bagaimanapun fisikmu, aku akan tetap mencintaimu.”
“Aku tahu kau tulus mencintaiku ...” gumam Sila. “Aku juga mencintaimu.”
Akhirnya ... kisahku berakhir dengan bahagia. Aku mempunyai pelajaran berharga dari pengalaman ini. Bertemu Sila mengubah cara berpikirku. Aku yang sebelumnya hanya menjadikan wanita sebagai alat pemuas seks-ku, kini bertekuk lutut di hadapan wanita yang sebelumnya kuketahui sebagai wanita gendut. Type wanita yang sangat kuhindari. Sila ... si Big.
Bagiku, Sila tetaplah Big, karena aku jatuh cinta padanya saat dia masih menjadi Big. Jika sekarang aku mendapatkan wanita terseksi dalam hidupku, itu adalah bonusnya.
SELESAI