Sepuluh menit lagi, bel akan berbunyi dan sekarang ini Agam tengah berjalan bersama dengan Aruna. Mereka berdua sedang menuju ke kelas Aruna. Agam memang mengantarkan Aruna sampai ke dalam kelasnya itu.
"Sayang nanti istirahat bareng ya ke kantinnya?" ujar Aruna saat mereka sampai di kelas Aruna. Agam tampak memikirkan hal itu beberapa saat.
Agam ingin bersama dengan Aruna, tapi ia juga ingin bersama dengan teman-temannya. Namun Aruna dengan teman-temannya itu bagaikan minyak dengan air, Aruna tidak mau bergabung dengan teman-temannya jadi yang bisa ia lakukan adalah memilih ingin berada di kubu mana.
Sebenarnya hal ini merupakan pilihan yang sulit yang tentu saja tidak bisa ia katakan dengan mudah. Agam tidak bisa menentukan pilihan yang menurutnya sangat penting ini dalam waktu yang cepat. Jadi ia emmutuskan untuk menjawab kepada Aruna bahwa ia akan melihat bagaimana nantinya. Ia berharap Aruna akan mwnerima hal itu.
"Lihat nanti ya sayang. Kamu masuk ke dalam dulu gih." ujar Agam ke Aruna. Aruna sempat menatap Agam sejenak tapi akhirnya ia mengangguk dan ia pun masuk ke dalam. Ia tak mau menambah masalah pagi ini. Agam pun terlihat sangat tenang ketika melihat Aruna tidak marah kepadanya.
Setelah memastikan bahwa Aruna sudah masuk ke dalam kelas, kini Agam pun berjalan menuju ke kelasnya. Ia tak sabar akan bertemu dengan teman-temannya pagi ini. Sementara itu Kiara sudah selesai makan dan ia juga tadi sudah membuang bungkus makanannya itu ke tempat sampah. Sekarang ini ia mengobrol bersama dengan Dilan dan Randra di kelasnya.
"Ran, Lo udah ketemu sama Rania terus tanya sama dia?" tanya Kiara. Pertanyaan dari Kiara itu membuat Randra kini terdiam. Entah ia harus menjawab apa untuk pertanyaan Kiara yang sebenarnya tidak ingin ia dengar.
"Kenapa kok diam aja Randra?" tanya Kiara karena ia tak kunjung mendengar jawaban dari Randra. Ia khawatir jika pertanyaan itu salah.
"Ga papa Ra, kayaknya gua emang harus berhenti sih Ra. Karena meskipun yang gua lihat malam itu bukan cowoknya Rania pun, Rania juga dekat sama mantan pacarnya." ujar Randra membuat mereka berdua bingung.
"Hah? Kok bisa? Gimana caranya Lo bisa tahu tentang itu?" tanya Dilan.
"Tadi mantan pacarnya itu ketemu sama Rania di koridor, dia lagi kesini mau ikut TM buat pertandingan basket dan gua tadi ga sengaja denger pembicaraan mereka. I think, mereka bisa dekat lagi." ujar Randra itu.
"Tapi itu kan cuman pikiran Lo aja Ran, lagi pula mungkin mereka juga udah temenan kan. Toh putus belum tentu musuhan Randra. Apa pun itu Lo harus tetap tanya sama Rania biar semuanya clear." ujar Kiara kepada Randra.
"Gua masih belum tahu Ra, gua masih bingung harus apa. Lihat nanti aja deh ya." ujar Randra dan Kiara pun mengangguk, lagi pula ia tidak bisa memaksanya karena ini juga merupakan hidup dari Randra bukan hidupnya. Mereka mengobrol hal yang lainnya hingga suara Agam masuk ke telinga.
Agam memang telah masuk ke dalam kelasnya saat ini. Ia melihat Kiara, Randra dan Dilan yang tengah membiarackan sesuatu. Ia jadi ingat dengan masalah yang dihadapi oleh Randra, apakah Randra sudah bertanya kepada Rania atau belum ia tidak tahu juga. Atau jangan-jangan mereka bertiga sekarang sedang membicarakan hal tersebut.
"Hai guys pada ngobrolin apa nih?" tanya Agam kepada mereka semua, mereka menatap ke sumber suara itu.
"Ngobrolin Lo yang ga keliatan padahal mobil dah mejeng di parkiran dari tadi. Kemana dah Lo?" tanya Randra kepada Agam, Agam pun cengegesan. Ia cengegesan tapi ia juga merasa tidak enak. Apalagi jika ia mengatakan alasannya kepada teman-temannya.
"Heheh ya sorry, tadi gua sarapan dulu sama Aruna. Lo kan tahu sendiri Aruna gimana." ujar Agam kepada Randra dan Randra memutar bola matanya.
Randra memang terlihat sekali bahwa ia benar-benar tidak suka dengan Aruna. Apalagi setelah kejadian dimana Aruna membully Kiara, ia sangat marah kepada Aruna dan bahkan ia tidak mau menyapa Aruna. Mungkin memang ini akan membuat Agam menjadi tidak enak, tapi ya biarkan saja toh memang ini yang ia rasakan juga. Iya yakin bahwa Dilan juga merasakan hal yang sama dengannya, Dilan juga tidak menyukainya.
"Hadeh dia lagi, dia lagi. Kayak ga ada yang lainnya aja deh sumpah lo tuh ya." ujar Randra yang sebenarnya lelah melihat Agam terus menerus bucin akut kepada Aruna, padahal menurut Randra, ada lebih banyak orang yang sayang kepada Agam dan Agam bisa memilih selain Aruna. Tapi ya pilihan Agam tetap jatuh pada Aruna seorang, tak ada yang lain.
Randra tidak mengaca bahwa sebenarnya dia pun juga bisa mencari yang lain hanya saja dia tidak ingin karena Randa hanya ingin Rania saja. Keras kepalanya dengan Agam itu sebenarnya sama, tak ada bedanya.
"Udah deh Randra, lagi pula Agam bahagia." ujar Kiara kepada Randra. Kiara memang yang paling mengerti mereka semua. Kiara bahkan tidak pernah mempermasalahkan tentang Aruna yang sempat membully dirinya. Ia lebih ke tidak perduli kepada itu.
Yang ia tahu temannya bahagia, jika orang yang membuat bahagia temannya itu tidak suka kepada dirinya ia tak masalah asalkan dia tidak menganggunya keterlaluan. Ia masih bisa menerimanya dengan baik.
"Iya Kiara, iya." ujar Randra dan setelah itu bel masuk berbunyi nyaring. Mereka pun sekarang sudah berada di kursi mereka masing-masing.
Tampak guru matematika mereka sudah datang, hal itu membuat Dilan keringat dingin. Ia hanya takut jika nanti dirinya yang akan dicecar pertanyaan karena guru matematikanya itu memang sangat sering menanyai siswa. Ia sendiri sudah kena beberapa kali dan itu semua ia tidak bisa menjawabnya. Pasalnya yang ditanya oleh gurunya adalah pelajaran tadi, sementara dirinya harus bersusah payah untuk bisa mengerjakannya. Ia bisa mengerti setelah ia belajar berkali-kali karena ya, ia memang sering tertinggal dari teman-teman.
Semoga kali ini bukan gua yang diminta buat ngerjain. Batin Dilan.
"Okay Ayu silakan kamu maju dan kerjakan nomor satu ini dengan caranya ya." ujar guru matematika itu kepada Ayu dan Ayu mengangguk.
Ayu pun maju membuat Dilan tenang, tapi ternyata ketenangan dirinya itu tidak berlangsung lama karena setelah Ayu mengerjakan dan guru menjelaskan itu, ada soal lainnya lagi yang ditulis di papan tulis kelasnya. Hal itu membuat perasaan Dilan tidak enak, ia merasa bahwa dirinya akan maju.
"Okay jadi kalian sudah mengerti ya yang tadi dikerjakan oleh Ayu. Itu semua benar dengan caranya juga. Nah sekarang saya akan membuat satu soal lagi. Soal ini sama dengan soal yang tadi untuk pengerjaannya." ujar guru matematika itu sembari sekarang ini guru tersebut menuliskan soal di papan tulis. Setelah selesai ia melihat ke arah depannya, ia memilih siswa saat ini.
"Nah sekarang, coba Dilan maju ke depan untuk mengerjakan soal ini. Seharusnya kamu bisa Dilan karena pekerjaan Ayu yang tadi juga belum dihapus. Jadi kamu bisa lihat caranya disana." ujar guru tersebut membuat Dilan semakin berkeringat. Ini yang ia takutkan, ia akan maju mengerjakan.
Dilan pun beranjak dari tempat duduknya, ia malah berharap saat ini bel istirahat berbunyi karena ia yakin bahwa ia tidak bisa mengerjakan soal di depan. Mungkin ketika melihat contoh pengerjaan dari Ayu tadi ia bisa sampai ke beberapa tahap cara, hanya saja setelah itu ia tidak bisa lagi mengerjakan.
Kiara saat ini khawatir dengan Dilan, meskipun ia tak bisa melihatnya tapi ia tahu bahwa Dilan pasti sekarang ini sedang ketakutan mengerjakan.
Dilan sudah mulai menulis tapi ia beberapa saat juga melihat contoh pengerjaan yang ada di papan tulis itu, pikirannya benar-benar semrawut sekarang ini. Namun ia memaksakan dirinya untuk bisa mengerjakannya setidaknya hingga ke beberapa tahap cara pengerjaan matematika ini.
Rasanya kepala Dilan dipenuhi dengan angka-angka yang tak bisa ia mengerti sekarang. Dilan berhenti lama lagi, ini bahkan sudah lima belas menit sejak Dilan di depan kelas tapi ia baru sampai di setengah pengerjaan. Teman-temannya sudah hafal dengan Dilan dan saat Dilan di panggil untuk maju mereka semua malah senang karena pasti Dilan akan memakan waktu banyak di depan sehingga mereka semua tidak akan belajar dengan pusing.
Mereka tidak tahu bahwa apa yang membuat mereka senang itu membuat diri Dilan sangat terguncang, membuat Dilan benar-benar merasa sangat hancur. Karena mereka tidak tahu bahwa Dilan pengidap disleksia.
"Saya ga bisa melanjutkan Bu." ujar Dilan kepada gurunya tersebut. Sebenarnya untuk mengatakan hal ini kepada gurunya itu ia benar-benar takut, ia sebenarnya tak siap dengan semua ini tapi ya mau bagaimana lagi kan. Ia sudah benar-benar tidak bisa mengerjakannya, otaknya sudah mendidih dan soal itu tidak bisa ia selesaikan sama sekali. Ia ketakutan mengatakan hal itu kepada gurunya.
Takut di cemooh, takut dikatakan bahwa ia sangat bodoh dan yang lainny. Meskipun itu sudah menjadi kesehariannya tapi tetap saja ia tidak bisa, tetap saja ia tidak siap jika hal itu terjadi kepada dirinya. Jika sudah begitu, ia selalu merasa bahwa dirinya itu tidak bisa melakukan apa-apa. Ia selalu tak berdaya.
"Itu kamu tinggal dua tahap cara aja Dilan. Selesaikan." ujar guru itu. Gurunya memang terkadang tidak tahu bagaimana Dilan bertahan disaat ia sering tertinggal. Gurunya tidak pernah merasakan bagaimana menjadi Dilan. Ia sering dipaksa sementara otaknya tak bisa berjalan saat itu juga.
"Kamu bisa tidak Dilan? Itu hanya kurang dua tahap cara saja." ujar guru itu mulai marah-marah kepada Dilan. Dilan pun merasa dirinya bodoh lagi.
"Ibu, bisa saya bantu Dilannya?" tanya Kiara yang sudah tidak bisa mendengar lagi bagaimana gurunya itu mencemooh Dilan. Ia tidak suka jika Dilan di remehkan seperti itu, mereka hanya tidak tahu bahwa bakat Dilan memang bukan disini tapi lebih ke non akademik yaitu bakat seni.
"Boleh Kiara, silakan." ujar guru tersebut. Kiara pun mengatakan dua tahap terakhir itu dan Dilan menulisnya. Setelah selesai Dilan kembali ke tempat duduknya lagi, ia duduk di tempat duduknya dan menyeka keringatnya.
Kini guru menjelaskan bahwa yang dikerjakan oleh Dilan dan Kiara itu semuanya benar. Tampak saat ini Dilan menatap ke arah Kiara, dengan keterbatasannya Kiara tetap bisa tampil cemerlang di bidang akademik. Padahal Kiara tidak bisa melihat, Dilan menertawakan dirinya sendiri.
Lelaki bodoh seperti dirinya berharap pada perempuan pintar seperti Kiara? Sepertinya Dilan hanya akan menjadi cemoohan saja jika ia menembak Kiara. Karena Kiara bisa mendapatkan yang lebih baik daripada dia. Dibanding dia, Kiara bisa mendapatkan kebahagiaan dengan lelaki pintar diluaran sana.
Gua emang ga tahu diri banget ya Ra karena gua udah cinta sama Lo, malu banget gua Ra. Harusnya gua ga gini kan ya. Batin Dilan tersebut.
"Baik bel istirahat sudah berbunyi, silakan kalian istirahat. Selamat istirahat." ujar guru itu yang sekarang sudah keluar dari kelas menuju ke ruang guru. Kini Kiara mendekati Dilan, ia tahu Dilan setelah ini akan banyak diam. Memang selalu seperti itu jika Dilan habis dipanggil di depan dan ia tak bisa menjawabnya. Kiara tidak pernah mengatai Dilan dengan kata ini itu.
"Dilan, ke kantin yuk." ajak Kiara kepada Dilan tersebut, Dilan sebenarnya malas pergi ke kantin tapi karena ini yang mengajak Kiara jadi ia ikut.
Sementara itu Agam sekarang sedang bingung, ia bingung antara memilih pacarnya atau memilih teman-temannya. Sedari tadi handphonenya sudah berdering dan ia tahu itu pasti telfon dari Aruna, ia tidak perlu melihatnya karena sering itu khusus untuk panggilan Aruna pada dirinya.
"Gam, siapa yang dari tadi nelfon kok ga diangkat?" tanya Kiara tersebut.
"Aruna, guys sebenarnya Aruna minta gua buat nemenin dia pas istirahat ini. Tapi gua juga mau sama kalian." ujar Agam tak enak hati mengatakannya.
"Udah ga papa, Lo ke Aruna dulu aja. Lo berdua baru aja baikan kan, masa mau berantem lagi kan ga lucu." ujar Kiara yang tampak memgeri Agam. Agam pun mengangguk dan sekarang ini ia meninggalkan mereka bertiga.
Kini hanya tersisa mereka bertiga yang ada di jalan menuju ke kantin. Sepanjang jalan ini yang ada di pikiran Randra hanyalah bagaimana nanti saat ia melihat Rania bersama dengan mantannya makan bersama di kantin. Apakah ia akan baik-baik saja? Atau bagaimana jika ia tidak baik-baik saja?