Bab 4. Pertama Kali Menggenggam

1313 Words
Selamat membaca! Setelah sang rektor pergi, barulah Viola keluar dari tempat persembunyiannya. Gadis itu pun langsung menagih janji pada Devan sesuai dengan apa yang dikatakan sebelum ia bersembunyi. "Pak, jangan lupa sama janji Bapak ya!" Viola tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya. Menatap Devan yang baru saja menutup pintu ruangan setelah Gunawan keluar. "Sebelum saya menepati janji saya, kamu harus tahu dulu sesuatu tentang saya." "Tentang, Bapak? Maksudnya?" "Ya, kamu harus tahu alasan kenapa saya ninggalin kamu dua tahun lalu?" "Apa itu, Pak?" Viola menautkan kedua alisnya. Menatap tajam wajah Devan seolah menuntut agar pria itu segera menjawab pertanyaannya. Devan menghela napas kasar. Raut wajahnya berubah ragu, seperti tidak yakin untuk bicara. "Saya itu impoten." "Apa, Pak?" Sambil mendekatkan telinganya pada Devan, Viola bertanya. Meminta pria itu mengulangi apa yang baru saja ia katakan. "Saya menderita disfungsi ereksi sejak tiga tahun lalu. Makanya, malam itu saya bilang sama kamu kalau saya enggak bisa sampe berhubungan. Bukan karena saya enggak mau, tapi karena saya enggak bisa." Tentu saja Viola tercengang mendengar pengakuan Devan. Kedua bibirnya bahkan sampai menganga dengan kedua mata yang membulat sempurna karena merasa begitu terkejut. "Ini pasti rencana Pak Devan. Dia pikir gue bakal percaya sama akal-akalan dia," batin Viola yang langsung menatap nyalang wajah Devan. "Pak, kalau Bapak enggak mau nikahin saya, enggak usah pake bohong sama saya, apa lagi bawa-bawa impoten segala! Lagian siapa juga yang percaya pria yang punya tubuh kekar seperti Bapak ini menderita penyakit itu? Kalau Bapak merasa bisa bodoh-bodohin saya, Bapak salah!" "Loh, tapi saya cerita yang sesungguhnya, Vi. Untuk apa saya bohong, apa untungnya menurut kamu?" Viola terdiam sejenak. Wajahnya masih dipenuhi keterkejutan karena sama sekali tidak menyangka jika itu alasan Devan meninggalkannya dua tahun lalu. "Ya, tapi kan bisa aja Bapak nyari alasan agar saya enggak jadi minta pertanggungjawaban, Bapak?" "Anggaplah itu juga niat saya, tapi saya memang berkata yang sejujur-jujurnya, Vi." Devan menampilkan raut wajah yang penuh keseriusan hingga Viola mulai sedikit percaya atas apa yang dikatakan oleh pria itu. "Jadi benar, Pak Devan pergi dua tahun lalu karena Bapak impoten?" "Iya, begitulah kondisinya. Jadi, sekarang karena kamu berubah pikiran, tolong rahasiakan semua ini ya! Ya, setidaknya kamu sudah tahu kalau saya tidak benar-benar ingin meninggalkan kamu. Saat itu, saya hanya malu jika sampai kamu tahu saya impoten." "Berubah? Siapa yang bilang, Pak?" Devan yang sudah jauh lebih tenang karena melihat Viola seolah tidak jadi meminta pertanggungjawabannya pun, seketika merasa heran saat mendengar perkataan Viola. "Maksudnya kamu masih ingin saya nikahi?" "Tentu aja, Pak. Saya enggak akan berubah pikiran hanya karena Bapak impoten. Lagian juga yang saya pernah baca di portal berita online kalau penyakit itu masih bisa disembuhkan." Devan hanya geleng-geleng kepala. Baginya, percuma berkata jujur pada Viola jika ujung-ujungnya wanita itu masih bersikeras untuk minta pertanggungjawabannya. *** Pernikahan sederhana tanpa melibatkan orang di luar keluarga baru saja berlangsung. Hanya ada keluarga dan juga kerabat dekat dari kedua mempelai di acara tersebut. Ya, walau awalnya Viola merasa tidak yakin untuk mendapatkan izin menikah muda dari sang ayah, tetapi pada akhirnya, Bimo memberi lampu hijau. Dan, selang satu Minggu setelah Devan melamar, pernikahan pun berlangsung di rumah pria itu. Rumah di mana Devan hanya tinggal sendiri karena kedua orang tuanya tidak serumah dengannya. "Sekarang kita sudah resmi menjadi suami-istri, pokoknya kamu harus ingat 5 syarat yang saya ajukan." Saat baru masuk ke dalam kamar Devan yang tampak cukup besar dan mewah, Viola pun menoleh, menatap lekat wajah pria yang baru setengah jam lalu resmi menjadi suaminya. "Apa untuk syarat nomor 3 bisa dibatalkan? Bagaimana jika kedua orang tuamu dan orang tuaku sampe tahu kita tidak tidur sekamar?" "Mereka tidak akan tahu. Nanti malam kita akan tidur sekamar, tapi setelah mereka pulang, kamu harus pindah ke kamar tamu." Viola hanya mendesah kasar. Raut wajahnya berubah masam. Tentu saja ia masih ingat betul dengan syarat yang diajukan oleh Devan. Namun, Viola tidak menyangka jika itu benar-benar akan terjadi setelah mereka menikah. "Ya, aku tidak punya pilihan selain menurutimu, Pak Devan." Viola menjawab sekaligus memenuhi syarat kedua Devan yang tidak ingin dipanggil dengan sebutan lain, walau mereka sudah menikah. Selayaknya suami-istri, sebenarnya Viola ingin memanggil Devan dengan panggilan sayang seperti pasangan lain. Walaupun merasa sedih, tetapi Viola tahu jika ini adalah pilihan yang harus dijalaninya. Menjadi istri Devan memang harapannya sejak dua tahun lalu, maka itulah Viola tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang didapatnya sekalipun Devan mengajukan 5 syarat yang tidak masuk akal. "Bagus kalau begitu. Lagi pula kamu harus tahu jika pernikahan ini bukanlah kemauan saya, melainkan keinginan kamu sendiri. Jadi, ingat syarat terakhir yang saya pernah katakan." Viola kembali diam. Wajah masamnya berubah sendu saat ingat jika pernikahannya hanya akan berlangsung sementara seandainya Viola tidak berhasil membuat Devan jatuh cinta padanya dalam dua tahun. "Iya, Pak Devan. Saya enggak akan lupa syarat terakhir itu. Walaupun dua tahun terbilang sangat singkat, tapi itu lebih masuk akal dari waktu yang Bapak ajukan sebelumnya." "Sebenarnya saya hanya ingin 6 bulan, tapi kamu malah mengancam akan menceritakan rahasia malam itu pada semua orang di kampus. Dasar licik!" Melihat raut cemberut di wajah Devan, Viola sejenak melupakan kesedihannya. Entah kenapa wanita itu merasa yakin bisa membuat Devan jatuh cinta padanya. Keyakinan yang jadi alasan terbesarnya untuk tetap menjadi nyonya Devan. "Sekarang waktu yang tepat untuk membuktikan apa benar pak Devan impoten atau tidak." Terbesit sebuah ide dalam pikiran Viola. Tanpa membuang waktu, gadis itu pun langsung membuka kebaya berwarna putih yang sejak tadi melekat pada tubuhnya selama beberapa jam saat acara akad nikah berlangsung. "Kamu ngapain, Vi?" "Saya mau ganti baju soalnya gerah dari tadi pake kebaya ini terus." "Ya, tapi kan kamu bisa ganti di walk in closet, itu di sebelah sana!" Devan menunjuk sebuah ruangan yang ada di sisi kiri Viola. "Enggak ah, saya mau ganti di sini aja." Dalam sekejap, tubuh polos Viola terlihat jelas di mata Devan. Pria itu sampai menelan saliva-nya sendiri karena merasa tubuh Viola begitu indah. Bagaimana tidak, d**a berukuran besar dan tubuh ramping wanita itu benar-benar membuat aliran darah dalam tubuh Devan sampai berdesir hebat. Namun, sama seperti dua tahun lalu, pria itu tak bisa merasakan bagian intim miliknya yang ada di bawah sana membesar. "Percuma, Vi. Kamu enggak akan berhasil." Sambil mengulas senyum yang menggoda, Viola pun melangkah maju. Membuat Devan hanya bisa geleng-geleng kepala dengan tingkah liar Viola yang menurutnya tidak tahu malu. "Pak ...." Viola memanggil, suaranya terdengar berbisik di telinga Devan saat langkahnya terhenti tepat di hadapan pria itu. "Apa Bapak tahu kenapa saya masih ingin menjadi istri Bapak, walau ada syarat-syarat yang enggak masuk akal yang Bapak kasih ke saya?" "Saya enggak mau tahu! Menurut saya, kamu itu cuma terobsesi sama saya karena dendam saat saya meninggalkan kamu begitu saja di kamar hotel dua tahun lalu." "Salah, Pak! Saya itu udah jatuh cinta sama Bapak sejak Bapak pertama kali mengajar di kelas saya." Tentu saja Devan tersentak kaget, terlebih lagi saat tangan Viola mulai meraba celana bahan hitam tepat di bagian intimnya. "Lepas, Viola!" Devan coba meraih tangan Viola yang kini mulai menggenggam sesuatu di balik celananya setelah tangan gadis itu berhasil merangsek masuk hingga ke dalam saat tubuh mereka semakin rapat. "Ya ampun, kenapa gue bisa senakal ini sih? Tapi enggak apa-apalah, sama suami sendiri ini," batin Viola menahan rasa malu sambil terus meremas lembut milik Devan yang masih mengecil dalam genggamannya. Namun, semakin lama Viola mulai merasakan genggaman yang tadinya kosong, kini mulai sedikit berisi. Viola pun terkejut sama seperti Devan yang dalam sekejap langsung melepas genggaman tangan gadis itu sambil melangkah mundur. "Jaga sikap kamu, Viola! Saya akan tambahkan satu syarat lagi, ini sebagai syarat keenam yang harus kamu lakukan selama kita menikah, kamu tidak boleh menyentuh bagian mana pun tubuh saya dengan tanganmu! Kamu ngerti!" Viola hanya tersenyum. Mengedipkan mata, lalu berbalik dan melangkah begitu saja meninggalkan Devan yang hanya menatapnya bingung. Bingung karena ternyata sentuhan Viola pada bagian intimnya berhasil membuat miliknya sedikit bereaksi, walau itu hanya berlangsung singkat. Bersambung ✍️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD