"Itu mengapa kenapa diliatin terus Bar?" pertanyaan itu hanya bergema sedangkan yang ditanya tetap bungkam mengamati dengan serius rangkaian bunga dimeja.
"Itu foto kamu yang beli?" pertanyaan kedua terlantarkan lagi tetapi tidak mendapatkan jawaban apapun.
Merasa jengah dengan sikap aneh temannya akhirnya ia memutuskan masuk kedalam kamarnya saja, daripada seperti orang bodoh bersuara terus menerus tetapi tidak dijawab sama sekali, keputusan yang baik bukan?
"Apa wajahku kurang tampan."
Langkah laki-laki itu terhenti karena samar-samar mendengar gumaman temannya, ia kembali dan duduk di sofa menatap temannya dengan serius.
"Apa tadi? Tampan? Ada apa denganmu sebenarnya? Pulang ke apartemen malah kayak orang habis ditolak pake bawa bunga pulang lagi." protesnya
"Dit?" panggilnya pelan tetapi pandangannya tetap mengarah pada bunga mawar dimeja
"Menurutmu... Kenapa perempuan itu tidak melihat wajahku?"
Laki-laki bernama lengkap Dito Hermawan itu mengerutkan keningnya bingung, ia maju mendekatkan punggung tangannya pada dahi Barra,
"Tidak panas." gumamnya pelan.
"Aku serius bertanya... Kenapa perempuan itu malah menundukkan pandangannya?"
"Biar kuperjelas, kamu baru saja bertemu dengan seorang perempuan?"
Sebagai jawaban, Barra mengangguk.
"Dia tidak melihat wajahmu? Atau bisa dikatakan perempuan itu menunduk?"
Barra mengangguk lagi.
"Dia aneh." ujar Barra beberapa detik setelah ia menganggukkan kepalanya.
"Aneh? Aneh bagaimana maksud kamu Bar?" kerutan di dahi Dito semakin jelas,
"Dia menutup wajahnya Dit. Bahkan hanya matanya yang terlihat dan saat kutanya kenapa melakukan hal itu dia hanya mengatakan karena ingin melakukannya. Pakaiannya juga sangat tertutup bahkan jemarinya jarang ia perlihatkan, saat berbicara denganku dia malah fokus menatap lantai entah apa maksudnya. Saat aku tidak sengaja memegang pundak dan tangannya dia refleks mundur bahkan memperingatiku untuk tidak menyentuhnya. Bukankah semua itu aneh?"
Barra mengalihkan pandangannya dari bunga itu menatap Dito dengan serius, karena memang semenjak dari studio itu pikirannya memiliki banyak pertanyaan mengenai sikap perempuan tadi.
Mendengar perkataan temannya sekaligus sahabatnya itu Dito menepuk jidatnya pelan, meringis selama beberapa saat kemudian menghela napas pelan merasa lelah karena ketidaktahuan Barra akan fakta sebenarnya.
"Gini Bar, aku akan menjelaskan tetapi hanya sedikit karena jujur ilmu agamamu sangat minus sekali."
"Kenapa membawa ilmu agama?"
Dito memutar bola matanya malas,
"Gini, dalam agama kami yaitu agama islam. Allah menyuruh perempuan wajib menutup auratnya. Nah! Apa saja aurat perempuan? Semuanya kecuali wajah dan telapak tangannya dan ini setahuku yaa karena pengetahuanku tentang agama engga luas. Hehehe." Dito menggaruk tengkuknya pelan sembari tertawa pelan, merasa malu karena pengetahuannya mengenai agama sangatlah minim.
"Lalu?"
"Dan mengenai perempuan itu menundukkan pandangannya karena kamu bukan mahramnya atau bisa dikatakan bukan keluarganya. Dan dia tentu saja mengelak atau menepis tanganmu karena kamu bukan suaminya apalagi salah satu kelaurganya. Kayaknya gitu deh, aduh... Pengetahuanku dikit banget sih."
Barra terlihat belum puas akan jawaban Dito tapi mendengar Dito mengatakan garis besarnya saja menurutnya itu sudah lebih dari cukup mungkin lain kali dia harus bertanya langsung pada perempuan itu yang kalau tidak salah bernama Bellvania.
"Kamu kok cepat pulang kerjanya? Malahan udah ganti baju." tanpa sadar Dito bernapas lega karena Barra tidak bertanya lagi tentang hal tadi, karena takutnya ia salah bicara nanti.
"Kebetulan hari ini klienku hanya satu itupun mereka hanya ingin kamar anaknya di dekorasi yaudahlah setelah keputusan deal langsung pulang saja. Mau ngapain ke kantor lagi?"
Barra hanya menganggukkan kepalanya pelan, Dito ini sebenarnya bekerja sebagai arsitek dan juga berprofesi sebagai karyawan dibidang pemasaran. Mereka berdua sudah bersahabat sejak kuliah semester 5 agak terlambat memang tetapi buktinya persahabatan mereka sampai dititik ini. Ia dan Dito malah memutuskan tinggal bersama disebuah apartemen daripada tinggal sendiri-sendiri walaupun sudah memiliki rumah masing-masing.
Ia dan Dito sudah yatim piatu walaupun berbeda keyakinan tetapi persahabatan mereka tetap awet sampai sekarang.
"Kenapa aku selalu kepikiran perempuan itu ya?"
"Mungkin kamu penasaran dengan penampilannya." jawab Dito asal,
"Dia memiliki warna mata yang cantik, iris hijau.''
"Kamu melihat matanya secara langsung?" kagetnya yang dibalas anggukan entah kesekian kalinya oleh Barra, laki-laki bermata agak sipit itu menggelengkan kepalanya tidak percaya.
"Kami sempat saling memandang selama beberapa detik tetapi kemudian perempuan itu menunduk lama, apa dia menyesal karena berpandangan denganku?"
Suara decakan kesal berasal dari Dito beberapa detik kemudian, sedikit kesal dengan sahabatnya karena berbuat sejauh itu pada perempuan bercadar yang baru ditemuinya beberapa saat lalu entah dimana ia menemukannya.
"Itu foto kamu dapat dimana?" ia mencoba mengalihkan pembicaraan
"Beli sama perempuan aneh itu."
Jawaban itu membuat Dito semakin kesal, ia merasa sedikit bersalah pada perempuan itu karena kelakuan sahabatnya. Sebenarnya Barra tidak salah juga karena dia memang tidak tau mengenai hal seperti itu.
"Katanya yang menjadi objek fokus foto itu ada di gumpalan awannya yang langka terjadi bukan pada senja-nya. Aku tidak terlalu paham tapi nanti ku teliti kembali karena pemandangan hasil jepretannya sangat menenangkan saat dilihat walaupun banyak ditemui setiap hari tetapi harganya lumayan..."
"Lumayan apa?" tanyanya karena Barra menghentikan ucapannya
"Lumayan menguras kantong." jawabnya disertai tawa kecilnya, ia masih ingat saat penjaga kasir yang ia tebak masih remaja itu menyebutkan harga foto itu, ia tentu saja kaget tapi mengingat makna dibalik foto itu membuatnya paham.
"Lukisan kamu yang yang berlatar belakang perempuan itu sudah selesai?"
"Belum. Nanti sore aku lanjut lukis lagi sekalian mikirin warna yang cocok tapi sepertinya warna coklat cocok untuk warna pakaian perempuan itu seperti warna kain yang perempuan tadi pakai."
Dito berdiri kemudian menatap Barra kesal, ia menyimpan telunjunya di dahinya lalu memiringkannya,
"Gila." ujarnya sebelum berlalu dari hadapan Barra yang ditanggapi tawa kecil Oleh Barra.
"Wajahnya pasti sangat cantik dibalik kain coklat itu." ucapnya dengan sedikit berteriak
"Kamu butuh psikolog." balasan Dito dari dalam kamarnya membuat tawa Barra Semakin sulit untuk terhenti.
Ia kembali teringat dengan pertanyaannya pada perempuan aneh itu,
"Apa kamu tidak kepanasan memakai pakaian seperti itu?"
Tentu saja Barra menanyakan hal itu karena menurutnya memakai topi saja sudah sangat gerah dan memakai baju lengan panjang saja juga sudah merasa kepanasan lalu bagaimana dengan perempuan itu?
"Apa keluargamu yang memaksamu memakai pakaian seperti itu?"
Menurutnya sebagian anak perempuan jaman sekarang banyak yang berada dalam aturan kedua orangtuanya ataupun tuntutan turun temurun dari keluarganya, jadi pertanyaan itu langsung terlontarkan yang dibalas singkat olehnya.
"Apakah semua perempuan harus menutupi wajahnya sepertimu hingga hanya menyisakan matanya saja?"
Sebenarnya pertanyaan ini tidak perlu ia tanyakan karena sekelilingnya banyak perempuan berjalan kesana kemari dengan rambut terurai dengan pakaian yang cukup dibilang terbuka. Tetapi ada juga yang sekedar menutup kepalanya serta berpakaian agak tertutup tetapi tidak sampai seperti perempuan tadi.
"Apakah kamu memilki bom?"
Mengenai pertanyaan ini, sekarang lagi heboh mengenai perempuan berpenampilan sama dengan perempuan tadi. Yaitu melakukan bom bunuh diri, itu hanya pertanyaan refleks saja yang terlantarkan tetapi ternyata sepertinya cukup menyinggung perempuan itu.
Memang sesekali ia menemukan perempuan berpenampilan seperti itu tetapi kebetulan ada yang berada dalam jangkauannya maka Barra mencoba bertanya serta mengeluarkan apa yang ada didalam pikirannya.
Mengenai jawaban Dito tadi masih ada beberapa kata yang cukup menyita pikirannya.
Mahram?
Apa itu? Apakah sejenis hubungan atau larangan baru dalam berteman atau sebuah keharusan atau bisa dikatakan kumpulan orang-orang yang harus dihindari bahkan tidak boleh di tatap? Apakah seperti itu? Atau artinya lain lagi.
Halal?
Bukankah kata halal hanya berguna untuk makanan saja dan setahunya itu sangat berarti dalam agama Dito. Tetapi perkataan Dito tadi ternyata sebuah fakta baru untuknya,kata itu ternyata berguna juga untuk manusia dan paling di prioritaskan oleh perempuan tadi.
Barra menyandarkan punggungnya pada sofa menatap langit-langit apartemennya yang sudah di rombak besar-besaran oleh sahabatnya. Berusaha menemukan jawaban atas segala pertanyaannya tetapi bukan jawaban yang ia dapatkan tetapi beberapa pertanyaan baru yang tidak memiliki ujung sama sekali.
Kenapa mahram harus diperhatikan, bukankah jika berteman boleh saja?
Jemarinya memainkan kalung di lehernya sambari pikirannya terus menerus berpikir mengenai praduga-praduga dalam otaknya.
Jika dalam memandang seseorang haruslah mahramnya lalu kenapa perempuan yang ditemuinya tidak seperti itu? Mereka malah saling berpegangan tangan, saling tertawa bersama dan itu antara laki-laki dan perempuan.
Banyak perempuan menutup kepalanya tetapi kainnya tidak sebesar dan sepanjang milik perempuan di studio tadi, malah terkesan pendek masih bisa memperlihatkan motif serta gaya pakaian yang mereka pakai.
Jemarinya masih mempermainkan kalungnya, dan tanpa sadar ia mengucap nama perempuan itu.
"Bellvania..."