Seseorang bernama Robert itu menyuruh Raras memasuki sebuah benda yang disebut mobil. Benda itu besar sekali, tetapi tak lebih tinggi dari seekor gajah. Warnanya hitam mengilat dan Raras bahkan bisa melihat pantulan wajahnya di pinggiran mobil. Ada empat buah roda di setiap ujungnya. Dan yang lebih ajaib, benda itu bisa bergerak dengan kecepatan stabil dan tanpa guncangan! Hebat sekali.
Dari balik kaca mobil, Raras bisa melihat pemandangan luar biasa yang membuatnya terheran-heran. Ada banyak pepohonan yang berjajar rapi di sisi kiri kanan jalan, orang-orang yang berjalan kaki dengan pakaian aneh, mobil-mobil yang bergerak saling menyalip, dan bangunan-bangunan megah yang tampak berkilau ditempa sinar matahari. Apakah, pada zaman ini, dipenuhi oleh ilmu sihir kelas atas?
"Benda yang tinggi menjulang dan berkilauan itu, namanya apa?" Raras bertanya pada Robert yang mengemudi dalam diam. Tak seperti kedatangannya pertama kali yang terasa mengancam Raras, kini pria itu tampak seperti anjing yang patuh pada perintah atasan.
"Gedung. Itu namanya gedung perkantoran. Ada juga apartemen, mall, dan supermarket merangkap taman bermain," balas Robert datar. Matanya tetap fokus pada kemudi. Ia bahkan tak menanyakan rasa penasarannya pada Raras.
Masih sambil menatap ke luar jendela, Raras menganggukkan kepala. "Ah, gedung." Raras kemudian punggung Robert. "Sekarang, tahun berapa?"
"2050."
Mata Raras langsung membulat terkejut. Wah. Itu berarti, jarak antara zamannya dan zaman ini sekitar 500 tahun lebih. Apakah, Raras terlempar ke masa depan? Di mana dunia semakin maju dengan segala perubahannya? Apa mereka behasil mengembangkan ilmu sihir sampai di titik yang mengagumkan seperti sekarang?
"Nona, apa anda sudah tahu alamat yang ingin anda tuju? Sudah satu jam lebih kita hanya berputar-putar di jalan." Robert berujar setelah hening beberapa lama. "Kalau anda tidak punya tujuan, maka saya terpaksa menurunkan anda di gedung Bintara, lokasi yang biasa digunakan untuk syuting drama sejarah. Mungkin di sana ada seseorang yang mengenal anda."
Raras mengerjabkan mata. Dunia ini, Raras baru pertama kali melihatnya. Terasa sangat asing dan ia tak yakin mampu mengatasinya seorang diri. Raras sudah meletakkan hidupnya ke tangan Aezar. Dengan cowok itu yang sudah menerima busur dan anak panahnya, itu berarti dia sudah menerima kesepakatan yang terjadi di antara mereka. Tentang membantu Raras beradaptasi di zaman ini. Kenapa, Aezar ingin menyuruh Raras pergi?
"Aku ingin kembali ke tempat Paduka Aezar," kata Raras akhirnya. "Aku tidak punya tempat yang dituju dan pembicaraanku tadi pagi dengan Paduka belum selesai. Bisakah, aku menunggu di tempat Paduka sampai Paduka kembali?"
"Tidak bisa," balas Robert datar. "Tuan Aezar meminta saya untuk mengantar anda ke gedung Bintara jika anda tidak punya tujuan." Robert kemudian membelokkan mobilnya ke pelataran sebuah gedung yang megah. "Saya akan mengantar anda sampai ke lobi."
"Tapi--" Raras tak bisa menyelesaikan protesnya saat Robert mematikan mesin dan keluar dari mobil. Dengan cepat dan gerakan terlatih, ia membukakan pintu untuk Raras.
"Silahkan keluar, Nona," kata Robert. "Anda bisa langsung ke dalam untuk menemukan seseorang yang mungkin anda kenal."
Raras melihat lobi gedung yang dipenuhi orang-orang yang masuk berlalu lalang. Rata-rata orang yang masuk berpakaian aneh seperti Aezar, tetapi ada juga yang memakai kemben batik dan selendang serupa dengan yang Raras kenakan. Gaya rambut dan hiasan di tubuhnya, juga serupa dengan milik Raras. Apakah, orang itu juga sama dengan Raras? Tidak sengaja memasuki lubang waktu dan terlempar ke era ini?
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Raras melangkahkan kaki telanjangnya keluar dari mobil, menyentuh aspal yang kasar. Robert langsung menutup pintu mobil dan menuju ke bagian kemudi ketika Raras menatap ke arah gedung itu penasaran. Baiklah. Raras akan mencari tahu.
"Kamu mau ikutan casting juga?" seseorang menyapa Raras dan tersenyum ramah. Seorang perempuan muda yang memakai kemben jarik. Pundaknya tertutup oleh jaket tebal berbulu, sebuah tas selempang yang terbuat dari kulit, dan sepatu kets. "Ayo, kita masuk sama-sama."
Raras mengerjab bingung. Ia bahkan belum sempat membuka mulut saat gadis itu berujar lagi dengan nada ceria. Ia mengulurkan tangannya. "Namaku Reina. Kalau kamu siapa?"
Raras menatap uluran tangan gadis itu dan wajahnya bergantian. Kening Raras berkerut samar, matanya menilai ekspresi Reina dengan saksama. Hingga akhirnya, ia balas tersenyum dan mengulurkan tangan. "Namaku Gusti Raras."
"Wah, keren." Mata Reina membulat sedikit. "Ayo, kita masuk ke dalam sama-sama." Reina menggandeng tangan Raras dengan semangat, kemudian menariknya ke dalam gedung.
Karena Raras tak punya pilihan lain, maka ia menurut saat Reina membawanya ke dalam gedung. Dan apa yang Raras temukan kemudian membuat matanya membulat terkejut. Di dalam sana, ada puluhan orang yang memakai kemben batik dengan motif yang berbeda-beda. Ada yang duduk di sebuah kursi besi yang ditata rapi, ada juga yang berdiri sambil berbicara sendiri, dan ada pula yang duduk lesehan di lantai.
"Wah, ternyata udah ramai banget," kata Reina. "Padahal aku sengaja datang satu jam lebih awal biar dapat nomor antrian dulu." Reina mendesah dan menatap Raras, kemudian tersenyum tipis. "Seenggaknya aku nggak sendirian. Ayo, kita ambil nomor mumpung antriannya udah agak sepi."
Tepat di sisi kanan, dekat sebuah lorong yang mengarah ke suatu tempat, terdapat sebuah mesin otomatis untuk mengambil nomor antrian. Mereka hanya perlu memasukkan nama dan beberapa data yang diperlukan untuk pendaftaran, dan secara otomatis, mesin akan memproses data dan mengeluarkan struk berisi nomor antri. Dari yang Reina dengar, casting peran hari ini hanya menerima seratus orang. Yang datang paling akhir, bisa jadi tidak kebagian tempat. Reina sebenarnya mengutuk kebiasaan primitif ini. Kenapa mereka harus pakai mesin jika bisa menggunakan formulir online untuk pendaftaran?
Tepat ketika sampai di depan mesin, Reina memasukkan data-data dan struknya langsung keluar. Ia kemudian menatap Raras yang berdiri di sampingnya dengan binar mata penasaran. "Aku isiin sekalian ya. Nama lengkap kamu siapa."
Raras terbangun dari lamunannya. Ia benar-benar tidak mengerti kenapa sebuah benda kotak bisa disentuh menggunakan jari dan mengeluarkan kertas. Apakah, mesin ini akan membawa Raras ke era Majapahit jika ia memasukkan namanya? "Gusti Dyah Kaniraras Kusumawardhani."
Mata Reina membulat. "Wah. Nama kamu keren banget." Reina mengangguk dan mulai memasukkan data Raras. "Terus alamat kamu di mana?"
"Era Majapahit, tahun 1425," balas Raras polos.
Reina mengerutkan kening tanda berpikir. "Ah, maksud kamu Majapahit hills? Sepupuku juga tinggal di kompleks perumahan itu. Cuma orang-orang berduit yang tinggal di sana." Reina mengangguk-angguk. "Pantes aja kamu tadi keluar dari mobil mewah." ia kembali fokus pada layar di depannya. "Nah, sekarang nomor KTP."
"Nomor KTP itu apa?" balas Raras polos. Kenapa segala sesuatu yang ada di era ini membuat Raras terus-terusan kebingungan?
Reina tertawa renyah. "Kamu lucu deh. Masa KTP aja nggak tahu." ia menatap Raras menyelidik. "Atau usia kamu belum ada tujuh belas tahun? Jadi nggak punya KTP? Wajah kamu masih keliatan muda banget soalnya." Reina menyimpulkan sendiri. "Yaudah, nggak usah diisi. Casting kali ini minimal usia enam belas tahun, kok." Sebuah struk keluar dan Reina menyerahkannya pada Raras. "Yuk, kita nunggu di dekat sana sampai nomor kita dipanggil."
Reina menarik tangan Raras lagi dan Raras cuma bisa menurut. Mereka kemudian duduk di kursi besi yang kosong. Ketika itulah Reina kemudian menyadari ada sesuatu yang salah pada Raras. "Kamu dari tadi nggak pakai sendal ya? Kok bisa?"
"Ah, sandalku sepertinya lepas ketika berlari di hutan." Raras menatap kedua telapak kakinya yang telanjang. "Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan ini."
"Ah..." Reina mengangguk-angguk meski wajahnya menyiratkan sebaliknya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tas. "Kamu udah hafal dialognya? Milih peran apa buat casting hari ini? Kalau aku, pengin nyoba peran Ratu Shima."
Raras mengerjab dan menoleh. "Ratu... Shima?"
****
Aezar harus mencari Raras.
Bukan karena dia peduli.
Tapi karena Raras... adalah makhluk asing.
Jika cctv tak merekam apapun, bahkan setelah Aezar mengumpulkan rekaman sejak dua hari lalu, maka bisa dipastikan Raras memang muncul di dalam ruang lukisannya secara ajaib. Mungkin saja, apa yang gadis itu katakan benar soal era Majapahit. Kemudian, lukisan gadis bangsawan yang baru Aezar beli dari lelang beberapa hari yang lalu, sejak melihatnya untuk pertama kali, Aezar merasa ada sesuatu yang magis. Wajah wanita yang berada di dalam lukisan... bukankah... terlihat mirip dengan Raras? Bagimana Aezar bisa mengabaikan kemungkinan itu dan baru menyadarinya sekarang?
Waktu menujukkan pukul lima sore ketika Aezar keluar dari penthouse dan melajukan mobilnya menuju gedung Bintara. Aezar sudah memerintahkan Robert untuk mencari Raras, tetapi pria itu tak menemukannya setelah dua jam mencari. Kata Robert, di gedung Bintara sedang diadakan casting umum untuk mencari talent baru yang akan berperan dalam sebuah drama kolosal. Banyak sekali yang mendaftar dan mengenakan pakaian serupa dengan Raras, jadi, agak kesulitan mencarinya.
Ketika memasuki gedung, Aezar melupakan satu hal: bahwa dia cukup terkenal meski bukan dari kalangan aktor papan atas. Wajah Aezar sering muncul di kanal berita bisnis, apalagi semenjak ia diangkat menjadi CEO. Aezar dipuja sebagai laki-laki temuda yang menguasai dinasti Patibrata. Apalagi, Aezar mempunyai wajah tampan yang membuat siapapun menoleh dua kali saat berpapasan. Ia juga kaya dan tinggi, masih jomblo pula. Wanita mana yang tidak tertarik dengan Aezar?
Karena itulah, berpasang-pasang mata langsung menatap Aezar penasaran dan diam-diam mengambil foto sambil tertawa cekikikan. Namun, tidak ada yang berani mendekat. Jika Aezar menemukan Raras dan membawanya pergi di hadapan semua orang, bukankah akan menciptakan sebuah skandal?
Lagi pula, ke mana perginya Robert? Kenapa ia menjadi tidak berguna di saat-saat penting hingga Aezar harus turun tangan sendiri?
"Pak Aezar, anda berada di sini?" seorang wanita dengan pakaian rapi menyapa Aezar dan membungkuk hormat. "Ada yang perlu saya bantu?"
"Siapa sutradara yang sedang mengadakan casting?" tanya Aezar langsung, tanpa basa-basi. "Saya harus ke dalam untuk mencari seseorang."
"Pak Sebastian masih berada di dalam," katanya ramah. Kemudian mempersilakan Aezar untuk berjalan lebih dahulu. "Mari, saya antarkan."
Patibrata Group memiliki beberapa gedung dan mall, salah satunya adalah Bintara. Selain itu, Patibrata juga mempunyai perusahaan yang bergerak di bidang produksi film dan membawahi banyak sutradara dan aktor terkenal. Indonesia di era ini, menjadi pusat kebudayaan dan produsen perfilm-an nomor dua se-Asia. Kiprahnya mulai diakui dunia dengan sederet aktor dan aktris hebat yang memenangkan berbagai nominasi di kancah internasional. Indonesia yang penuh sinetron ecek-ecek dan jajaran talkshow konyol, sudah menghilang dari peradaban.
Pintu ruangan itu dibuka dan Aezar melangkah ke dalam. Saat itulah, ia bisa melihat Raras yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Kemban yang dikenakan Raras tak sama seperti yang ia kenakan tadi pagi, melainkan diganti dengan jarik dengan motif cantik, panjang hingga menyentuh lantai. Sebuah selendang membelai pundak telanjangnya dengan anggun. Rambutnya disanggul tinggi, menampilkan lehernya yang jenjang. Sebuah makhota emas di kepala dan setangai bunga melati di kanan telinganya, membuat aura Raras terlihat memikat. Bahkan sikap tubuhnya pun memancarkan keanggunan seorang bangsawan.
Alih-alih orang gila, Raras terlihat seperti seorang Ratu sungguhan. Bisakah, Aezar menarik tangan Raras dan menikmati keindahannya untuk diri sendiri?
****