Eps. 15. Mulai Tumbuh Benih Cinta

1935 Words
Pergerakan waktu masih tetap sama, dua puluh empat jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Akan tetapi, bagi seseorang perputaran waktu itu mungkin terasa lebih cepat, apabila setiap detik yang dia lalui dalam hidupnya, dipenuhi hal-hal bermakna. Begitu pula yang tengah dirasakan oleh pasangan Danu dan Sukma. Sudah lebih dari satu bulan, mereka menjalani hidup berumah tangga. Kendati pernikahan yang mereka jalani berawal dari sebuah keterpaksaan dan tanpa adanya rasa cinta, tetapi keduanya tetap berusaha menjaga komitmen untuk bisa saling menerima. Getaran cinta memang belum terasa di hati keduanya, tetapi setiap saat bersama membuat kedekatan di antara mereka pun kian terasa istimewa. Bagi Sukma, kehadiran Danu dalam hidupnya seakan bagai sebuah anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Pria hilang ingatan yang sudah ditolongnya itu, seolah datang sebagai pembawa keberuntungan. Semenjak bersama Danu, Sukma merasa hasil kebunnya juga kian melimpah. Ditambah lagi pria yang kini sudah sah menjadi suaminya itu, juga sangat rajin membantu semua pekerjaannya. Hal yang sama pun dirasakan oleh Danu. Kendati dia hilang ingatan dan tidak bisa mengingat masa lalunya, tetapi tinggal bersama gadis cantik dan sederhana seperti Sukma, membuat hidupnya terasa sangat berarti. Di kehidupan Danu sebagai Aryan sebelumnya, pekerjaan kasar seperti berkebun dan beternak, sama sekali tidak pernah dia lakukan. Namun, entah mengapa tinggal di desa itu Danu sangat mudah beradaptasi. Mungkin saja keseharian Aryan yang sebelumnya adalah seorang pekerja keras, secara tak sadar ikut terbawa hingga saat itu. * * Matahari baru saja menampakkan indah pancarannya, kicauan burung juga masih terdengar mendominasi di desa itu. Walau masih musim hujan, tetapi cuaca pagi itu cukup cerah, sehingga udara pun terasa hangat. Semua itu seolah mampu memberi semangat bagi semua para warga desa untuk menjalankan aktivitasnya di kebun masing-masing. "Kita berangkat sekarang, Bang!" Sukma meraih keranjang besar yang akan ia bawa ke kebun. Pagi itu, usai sarapan dia dan Danu sudah siap akan berangkat ke kebun. "Ayo! Aku juga sudah siap." Danu mengangguk sambil bergegas mengambil beberapa peralatan berkebun seperti cangkul dan sabit yang biasa tersimpan rapi di samping rumah. Mereka berdua lalu sama-sama berjalan beriringan menuju area kebun mereka, yang tak terlalu jauh dari sana. Dalam perjalanan ke kebun, tak sengaja Sukma dan Danu bertemu dua orang wanita yang juga adalah warga desa itu. Melihat Sukma dan Danu melintas di hadapan mereka, kedua wanita itu terlihat saling berbisik. "Oh ... jadi ini ya, suaminya Sukma yang katanya buruk rupa itu?" "Iya, wajahnya sangat menyeramkan, bukan?" "Kamu benar. Sungguh disayangkan, gadis paling cantik dan dikenal sebagai kembang desa ini, akhirnya menikah hanya dengan seorang pria berwajah cacat seperti itu, iihh ... " Kedua wanita itu mengedikkan bahunya dan tersenyum mengejek ke arah Danu sekaligus juga Sukma. Seketika Danu menundukkan wajahnya. Kendati topi hoodie yang tengah dia kenakan mampu menutup kepalanya, tetapi hari itu dia lupa memakai penutup wajah. Dia sadar, hal itulah yang telah mengundang perhatian dua wanita itu untuk mengejek kekurangannya. "Heh ... ngomong apa kalian barusan, hah!" Sukma membentak dan menatap kedua wanita itu dengan sorot matanya yang terlihat gusar. "A-a-anu ... i-i-itu ... ti-tidak ada apa-apa!" Salah seorang wanita itu menjawab dengan tergagap dan seketika merasa gugup mendengar bentakan Sukma. Dua orang itu saling mencuri tatapan, tetapi wajah mereka sama-sama tertunduk. "Kalian berdua dengar, ya! Jangan pernah menghina kekurangan orang lain. Seperti apapun Bang Danu, dia adalah suamiku. Kalian berdua tidak perlu mengejek kami seperti itu." Sukma kembali meninggikan suaranya, sambil menudingkan telunjuk ke wajah dua wanita di hadapannya. Dia sangat tidak senang, ketika mendengar cemoohan dua orang itu tentang suaminya. "Idih ... kenyataannya 'kan memang begitu, Sukma. Kasihan sekali gadis secantik kamu harus bersuamikan seorang lelaki berwajah rusak dan jelek seperti itu." Wanita satunya mencebikkan mulutnya serta menegaskan lagi ejekannya. "Tapi kalian tidak perlu mengejek! Suamiku seperti apa, juga bukan urusan kalian!" Sukma berdecak sengit. Emosinya kian tersulut dan merasa tidak terima dengan cibiran dua wanita itu. "Sudahlah, Sukma. Tidak usah meladeni mereka. Sebaiknya kita segera ke kebun!" Tidak ingin memperpanjang keributan, Danu bergegas menarik tangan Sukma, menjauh dari dua wanita itu dan mengajaknya untuk melanjutkan perjalanan. "Aku kesal sama mereka, Bang. Nggak bosan-bosannya mereka menghina kita." Sukma menggerutu dan sangat jengkel mendengar ejekan dua wanita itu. "Tidak usah pedulikan apa kata orang, Sukma. Lagipula, memang faktanya aku ini buruk kok," tampik Danu, berusaha meredam kekesalan istrinya. "Tapi tidak seharusnya mereka berkata seperti itu, Bang! Aku heran ... tak ada bosan-bosannya mereka mengejek kita." Meski Danu sudah berusaha menenangkan, tetapi sungut kekesalan itu masih saja keluar dari mulut Sukma. "Nanti pasti ada waktunya mereka akan bosan mempergunjingkan kita," pungkas Danu tetap tidak terlalu peduli apa kata warga yang masih saja sering menghinanya. Meski merasa kesal, Sukma dan Danu tetap melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Selama ini, cemooh serta ejekan seperti itu sudah sangat sering mereka dengar dari banyak warga lainnya. Karena itulah, mereka berdua berusaha tutup mata dan telinga, agar tidak merasa sakit hati akan hinaan semacam itu. Setibanya di kebun, Sukma dan Danu langsung disibukkan kegiatan rutin mereka di sana, mulai dari menyiram semua tanaman sayur, memberi pupuk serta menanam benih-benih baru. Sembari sibuk bekerja, keduanya juga selalu saling bersenda gurau. Gelak tawa mereka selalu terdengar bersahutan, sehingga tak terasa pekerjaan berat menjadi begitu ringan mereka kerjakan bersama. "Sukma, kamu petik saja sayuran yang siap panen, biar aku yang menanam bibit baru ini!" Danu mengambil alih bibit sawi dari tangan Sukma, lalu mulai menanamnya pada bedengan yang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Sukma tersenyum dan mengangguk setuju. Dalam hati dia merasa sangat senang. Semenjak adanya Danu ikut mengurus kebun, dia bisa memanfaatkan lahan sempit miliknya dengan lebih maksimal. Selain hasil panen sayur yang lebih banyak, dia juga mampu memperbanyak jumlah ternaknya, sehingga untuk kebutuhan sehari-hari mereka cukup terpenuhi dari hasil bertani dan beternak. Lebih dari sebulan menjalani hubungan sebagai pasangan suami istri, Sukma dan Danu juga semakin hari semakin dekat. Kendati sama-sama belum mengungkapkan perasaan masing-masing, sejatinya rasa cinta sudah mulai tumbuh di antara mereka. Bukan tidak menyadari, tetapi keduanya sama-sama enggan saling mengutarakan isi hati. Sadar akan banyak kekurangannya, Danu memilih menyimpan sendiri perasaannya. Sedangkan Sukma, sebagai seorang wanita, tentu dia juga merasa malu, bila harus menyatakan perasaan itu lebih dulu. "Bang Danu seorang pria yang baik. Apapun kata orang tentang dia, aku tidak menyesal menikah dengannya." Bibir Sukma menyunggingkan sebuah senyum. Kedua tangannya sibuk memetik kembang kol, tetapi batinnya juga terus bergumam. Semua yang ada di dalam diri Danu, secara tidak sadar sudah memesonakan mata hatinya. Meski hari semakin siang, Danu dan Sukma masih terlihat asyik mengurus kebun dan juga memberi makan ternaknya. Mentari juga bersinar redup, karena sedikit tertutup awan sehingga suasana terasa teduh dan tanpa terasa, satu keranjang penuh juga sudah terisi berbagai jenis sayuran. "Ini hasil panen terakhir sebelum aku mulai pembibitan lagi. Setelah ini, masanya menanam lagi. Semoga saja sayur-sayur ini bisa terjual dengan harga yang lumayan." Sukma tersenyum puas memandangi keranjang sayur yang penuh sesak di hadapannya. Sukma lalu perlahan mengangkat keranjang itu, hendak memindahkannya ke luar area kebun. "Huh, ini berat sekali!" Sukma menghembuskan napas panjang. Meski sudah biasa mengangkat keranjang sayur itu sendiri, tetapi hari itu hasil panennya cukup banyak dan keranjang itu pun lebih berat dari biasanya. "Jangan diangkat sendiri, Sukma. Ini berat ... biar aku yang melakukannya." Tanpa Sukma sadari, ternyata Danu sudah ada di sebelahnya dan ikut meraih tepi keranjang. Dengan cepat, Danu mengangkat sendiri keranjang itu, tanpa memberi kesempatan Sukma yang melakukannya. "Terima kasih, Bang." Sukma hanya tersenyum dan membiarkan saja Danu melakukan semua itu. Keduanya lalu berjalan menuju tanah lapang di dekat kandang ayam, hendak beristirahat sejenak di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja Sukma tersentak dan berteriak, "Aaaaa!!! Awas ada ular, Bang!" Mata Sukma terbelalak dan terlihat shock. Dari dalam keranjang yang tengah dipikul oleh Danu, tampak kepala seekor ular hijau menyembul seraya menjulurkan lidah. Saat itu posisi mereka sangat dekat, sehingga walaupun binatang melata itu berukuran kecil, tetapi Sukma bisa melihatnya dengan sangat jelas. "A-apa? Ular?" Merasa sangat terkejut, Danu langsung melemparkan keranjang itu, sehingga semua sayur di dalam keranjang ikut berhamburan, berserakan di atas permukaan tanah. Ular yang masih ada di dalam keranjang pun juga ikut keluar karenanya. Merasa keselamatannya terusik, ular itu berdesis, seakan menunjukkan kemarahan kepada Danu dan Sukma. "Bang Danu!" Sukma berteriak. Melihat ular, sekujur tubuh gadis itu seketika gemetar. Secepat kilat Sukma bersembunyi di belakang punggung Danu. "Itu ular berbisa, Bang. Aku takut!" bisiknya dengan suara bergetar. "Tenanglah, Sukma. Diam di tempat dan jangan bergerak. Aku akan mengusir ular itu." Sejenak Danu juga diam dan memasang kuda-kuda, berjaga-jaga serta waspada, bila saja ular itu akan menyerang. Pandangan Danu juga beredar ke sekelilingnya, berharap menemukan sebuah benda, yang bisa dia gunakan untuk mengusir ular tersebut. Cukup beruntung, tak jauh dari posisinya berdiri saat itu, Danu melihat ada sebatang ranting yang sudah kering. Bergegas dia membungkuk, lalu mengambil kayu itu dan memukulkannya ke arah ular itu, sehingga binatang berbisa itu pun perlahan menjalar, menjauhi mereka. Tetap di posisi semula, Danu juga terus memperhatikan ular itu sampai hilang tak terlihat lagi. "Ular itu sudah pergi, Sukma." Danu meraih tangan Sukma yang basah karena keringat dingin dan menggenggamnya dengan erat. "Aku trauma sama ular, Bang. Sewaktu kecil, aku pernah dipatuk ular. Walau tidak berbisa, tapi rasanya sakit." Saking takutnya, tak sadar kedua tangan Sukma memeluk Danu dan dia juga membenamkan kepalanya di d**a bidang pria itu. "Tidak perlu takut, Sukma. Selama kita tidak mengganggunya, dia juga tidak akan menyerang kita." Danu mengusap kepala wanita yang sudah menjadi istrinya itu, berusaha mengusir segala rasa ketakutannya. "Untung saja Abang yang tadi membawa keranjang itu. Kalau aku ... pasti aku sudah mati ketakutan, Bang." Danu langsung terkekeh mendengar pengakuan konyol gadis itu. "Hanya karena seekor ular kamu tidak akan mati, Sayang. Dan bagaimana dengan nasibku kalau kamu mati? Apa aku harus menjadi duda, padahal kita baru saja menikah?" ujarnyadengan nada bercanda dan sekedar mengolok-olok Sukma saja. "Ihh ... Abang jangan menggodaku seperti itu!" Sukma mendengus kesal seraya memajukan bibirnya dan Danu tetap hanya terkekeh menanggapinya. "Gara-gara ular itu, sekarang sayuranku berantakan. Padahal tadi aku sudah capek-capek menatanya di dalam keranjang." Sukma menunjukkan wajah cemberut dan semakin kesal. Akibat isi keranjang yang berhamburan, sudah pasti dia terpaksa menunda waktu istirahat, serta harus merapikannya ulang. "Jangan khawatir, aku akan membantumu, Sukma." Danu tersenyum dan mulai berjongkok untuk untuk memunguti sayuran yang berserakan itu. Sukma juga tak mau kalah ikut menyusul dan keduanya bekerja sama memasukkan kembali sayuran itu ke dalam keranjang. Cuaca yang tadinya masih sedikit cerah, tiba-tiba berubah mendung. Awan hitam datang bergulung-gulung dan tanpa terduga, hanya dalam hitungan menit, butiran-butiran air menetes sangat deras dari langit. "Yah ... hujan, Bang!" seru Sukma, sambil mengusap rambutnya yang sudah mulai basah akibat tertimpa air hujan. "Bagaimana ini? Semua sayuran masih berantakan!" Sukma menggerutu dengan wajah cemas. "Kamu berteduh saja di dekat kandang ayam, Sukma! Biar aku yang membereskan semua ini," balas Danu sembari tetap sibuk memunguti sayuran-sayuran itu, walau hujan kian deras menerpa tubuhnya. "Aku juga ikut, Bang." Sukma tak ingin mengindahkan permintaan Danu yang menyuruhnya berteduh. Keduanya tetap bekerja sama membereskan semua sayur dan menatanya kembali di dalam keranjang. Gelak tawa pun kembali terdengar di antara kedua orang itu. Sambil bekerja, mereka juga bercanda dan sesekali saling mencipratkan air hujan. Keduanya seakan tidak peduli, badan mereka kini sudah basah bahkan sampai bagian terdalam. Hingga tanpa terasa pekerjaan mereka pun akhirnya bisa selesai dengan cepat. "Sudah kepalang basah, sebaiknya kita langsung pulang saja, Bang! Tidak usah berteduh lagi," ajak Sukma, setelah melihat kini keranjang sayurnya sudah diikat rapi oleh Danu. "Iya, Sukma. Sekarang mari kita pulang saja." Danu mengangkat keranjang sayur yang juga basah, serta memikulnya kembali di atas punggung. Dengan sekujur tubuh mereka yang sudah basah kuyup dan rasa dingin juga menembus hingga ke permukaan kulit, keduanya tetap berjalan dan ingin lebih cepat sampai di rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD