Suasana ruang kerja Ian begitu terasa membosankan bagi Siska. Setelah teman-teman Siska pulang dan gadis itu kembali menemui Ian, Siska justru dikejutkan dengan Ian yang menarik tangannya dan membawanya keluar tanpa bicara apa-apa.
Siska awalnya lunak namun lama kelamaan menjadi sedikit jengah, karena Ian menariknya keluar rumah tapi tak diberi kejelasan akan dibawa kemana.
Di dalam mobilpun Ian tak memberikan kejelasan. Alhasil Siska hanya bisa menggerutu dan mendumal. Janjinya yang untuk ramah pada Ian mendadak lenyap karena kesal.
"Mas Ian, ini kenapa aku di kurung di sini?" kesal Siska saat Ian masuk ke dalam ruangannya. Ternyata adegan seperti drama penculikan tadi, berakhir dengan Siska yang dikurung di kantor Ian. Sedangkan suaminya itu langsung ngacir ke ruang rapat.
Selidik punya selidik, ternyata Ian dihubungi sekretarisnya karena ada rapat dan ia lupa gara-gara ulah Cia sang sepupu jahilnya itu. Tapi kenapa Siska ikut ditarik ke kantor?
"Duduk yang manis saja di sini." perintah Ian yang akan melakukan rapat kembali.
"Tapi buat apa?"
"Buat duduk manis."
"Mas Ian?"
"Mas rapat dulu sebentar Siska."
"Trus aku dibiarin di sini sendirian?" Ian mengangguk santai membuat Siska mendengus kesal. Tanpa banyak bicara lagi, Ian kembali keluar setelah sebelumnya Ia mengambil sebuah Map di atas meja kerjanya.
Siska mendumal kesal. Ingin rasanya Ia mengobrak-abrik ruangan Ian. Namun melihat sifat Ian membuat Siska urung melakukannya.
Gadis itu memilih untuk berkeliling sambil melihat-lihat isi ruangan kerja suaminya itu. Sampai pandangan Siska jatuh pada ponsel Ian yang ada di atas meja.
Siska mendekati meja Ian bermaksud untuk mengambil ponsel mahal Ian lalu duduk di kursi keberasaran suaminya itu. Dengan teliti Siska menekan tombol atas untuk menghidupkan layarnya. Namun mungkin itu akan menjadi penyesalan bagi Siska karena yang dia lihat di layar ponsel Ian bukanlah foto dirinya, melainkan foto pernikahan Ian dengan mendiang Istrinya Vanessa.
Mungkin jika foto itu santai, Siska tak akan menatap nanar. Tapi yang ada kini Ia justru menatap lirih ponsel yang menampilkan sepasang suami istri yang tengah berciuman sambil mengenakan pakaian pengantin sebagai tanda kedua pasangan dalam foto tersebut baru saja menikah dan mereka sangat bahagia.
Sesak memang. Tapi Siska juga tak bisa menuntut. Siska kembali mengusap layar yang ternyata tidak di kunci.
Siska membuka kontak ponsel Ian dan mencari namanya. Tak ada kata spesial atau romantis yang di selipkan dalam kutipan namanya pada ponsel Ian.
'SISKA'
Sudah. Hanya itu saja.
Siska tak berniat mengubahnya, karena itu bukan hak nya. Ia kembali melanjutkan pencariannya menuju galeri. Dan satu lagi hal menyakitkan yang Ia dapatkan. Dalam ponsel Ian, satupun tak ada foto dia. Jangankan fotonya sendirian, foto pernikahan mereka saja tak ada.
Dengan rasa sesak di dadanya, Siska meletakkan ponsel itu setelah sebelumnya mengembalikan ke tampilan awal. Siska melanjutkan meneliti ruangannya. Sampai saat dia memutuskan untuk menghentikan semua. Karena lagi-lagi, Ia melihat foto Ian yang tegah berciuman dengan Vanessa. Tapi ini bukan mengenakan baju pengantin. Melainkan foto diatas ranjang dengan tubuh yang ditutupi selimut. Dibawah foto itu ada tulisan
'malam pertama kami yang indah. Ian
Siska sudah tak kuat lagi. Ia meletakkan foto itu dengan cepat di atas meja kerja Ian tanpa berniat memasukkannya kembali ke dalam laci meja dan langsung keluar dari ruangan Ian. Sekretaris Ian juga tak ada di mejanya. Mungkin ikut rapat bersama Ian.
Siska terus saja berlari saat Ia sudah keluar dari Lift di lantai satu. Siska segera mencegat taksi saat Ia sudah di luar. Tujuannya sekarang ini bukan rumahnya, tapi rumah Yana. Ia ingin menemui Yana sahabat tempat berbagi ceritanya.
Selama perjalan menuju rumah Yana, Siska mencoba sekuat mungkin untuk tak menangis. Ia berusaha tak mengingat Ian, tapi mengingat kelucuan sahabat-sahabatnya dalam bercanda sehingga membuat pikirannya sedikit teralihkan.
Ian baru saja selesai rapat. Dia berjalan dengan cepat menuju ruang kerjanya, namun ternyata tak menemukan adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Siska pergi entah kemana. Ian begitu ingin mengumpat tapi terhenti karena netranya menatap sebuah foto tergeletak begitu saja di atas meja.
Bukan itu yang menjadi masalah sekarang. Tapi kenapa foto malam pertamanya dan mendiang sang istri bisa ada di atas meja.
Seketika degup jantung Ian menjadi tak karuan.
Ian segera menjangkau ponselnya dan mencari kontak nama Siska di sana. Bukannya nada sambung, justru yang terdengar adalah suara operator.
"s**t! Ponsel Siska kan tak ia bawa?" geram Ian merutuki kebodohannya.
Namun tak berapa lama, Ian dikejutkan dengan suara ponselnya yang berdering.
Nomor asing yang tak ia tahu tertera di layar ponsel itu. Dengan cepat Ian mengangkatnya.
"Hallo?"
"Hallo Mas Ian, ini aku."
"Siska? Pake nomor siapa? Kamu dimana"
"Ini nomor Yana Mas. Aku lagi di rumah Ya--"
"Nggak bisa tunggu aku sebentar? Aku bilang tunggu di ruang kerja, bukan keluyuran.!" geram Ian dingin dan memutuskan ucapan istrinya itu.
Tak ada jawaban dari Siska di seberang sana.
"Siska!!?" panggil Ian dingin.
"Maaf tapi aku tak mau diikat. Aku mau ketemu teman-temanku. Aku ingin bebas Mas, bukan diperlakukan seperti ini."
Siska POV
"Maaf tapi aku tak mau diikat. Aku mau ketemu teman-temanku. Aku ingin bebas Mas, bukan diperlakukan seperti ini."
Aku mengatakannya. Namun tak ada tanda-tanda Ian akan menjawab ucapanku di seberang sana. Aku tak peduli. Melihat foto mesra mereka tadi membuatku muak. Apalagi tak ada foto diriku di ponsel Ian. Sedangkan di ponselku sendiri, layar depannya jika dibuka akan menampilkan foto Ian berpakaian baju tuxedo.
Mungkin permintaanku begitu jahat, tapi aku juga ingin seperti itu.
Saat Ian melarangku dengan lelaki lain, aku juga melarang Ian memikirkan wanita lain sekalipun itu mantan istrinya. Jahat memang, tapi inilah aku. Si gadis yang sudah bersuami. Si gadis yang begitu egois. Si gadis yang hanya ingin memiliki dan dimiliki.
Jantungku seakan berhenti saat panggilan itu dimatikan oleh Ian. Walaupun aku mencoba untuk menghubunginya kembali, Ian tak mengangkatnya. Tapi malah mengirim pesan singkat.
"Bebaslah sampai kau puas. Tapi setelah itu berdirilah bersamaku."
Ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Namun aku malu dengan Yana.
"Gimana?" tanya Yana padaku. "Ian marah?" lanjutnya.
Aku menggeleng pelan. Dia tak marah, sama sekali. Tapi dari ucapannya seolah ia berniat melepaskanku saat ini. Tak mau bersamaku saat ini.
Suaminya itu tak marah, tapi ia justru merasa Ian sedang mengusirnya.
"Jika Ian marah sebaiknya pulang. Bicarakan baik-baik. Kalian baru menikah dan sudah pisah ranjang. Gimana ceritanya? Saling bertukar cairan aja belum udah pisah ranjang.!" ucap Yana membuat Siska menepuk kepala gadis itu sedikit kuat membuat Yana mengaduh.
"Bicara Lo! Bisa disaring nggak sih?"
"Habisnya Lo!? Naena aja belum udah pisah ranjang. Setidaknya jangan pisah ranjang dulu. Rasain dulu nikmat yang orang-orang ceritakan itu. Apalagi si bokep tu, tiap hari ceritanya 'o***g' mulu. Homo sesat tu orang. Nggak kepengen apa Lo?" Siska mendengus. Yana memang sebelas dua belas dengan Agata. Pasangan manusia yang satu ini selalu tak pernah berpisah dari dunia per'o***g'an.
"Kepengen apa?"
"Jiaaahh. Belagak polos lagi Lo!"
"Emang gue nggak tahu monyet." jawap Siska kesal.
"Kepengen naena. Desah-desahan gitu di atas ranjang. Tusuk-tusuk. Aaahh, gue pengen banget tuh ngerasainnya."
"Sama sahabat per'o***g'an lu aja sana?"
"Siapa?"
"Hendrik sama Agata."
"Gila Lo! Yang ada diperkosa duluan gue sama mereka." tawa Siska meledak mendengar jawaban konyol dari Yana. Ia tahu Yana hanya bercanda. Walaupun bokep begitu, dua sahabat prianya di dunia ini tak pernah melakukan kekerasan pada perempuan. Mereka masih tahu Istighfar. Jika mereka dituduh seperti itu, kalian tahu apa jawabannya?
'Astagfirullah. Nggak mungkin kami begitu. Neraka masih ada kawan.'
Ck! Giliran di tuduh pasti keluar bijaknya. Namun jika lagi ngumpul otak m***m mereka meningkat menjadi seratus delapan puluh derajat.
Ah sudahlah. Lupakan soal dua cowok pecinta bokep itu untuk sementara waktu. Kembali pada Siska. Gadis itu masih galau dengan apa yang sebaiknya ia lakukan sekarang.
"Gue nggak mau pulang dulu Na. Gue nggak mau ketemu Ian."
"La trus lo mau ngapain? Lo itu udah jadi bini nye Kak Ian. Lo di sini kedinginan dong die malamnye?"
"Ck! Lo topik pembicaraan Lo kalau nggak ke ena ena bisa nggak sih? Muak juga gue dengernya."
"Makanya Lo pulang. Kalau lo masih sama gue, ya Lo nggak bakalan nemu saran dari mama dedeh di sini. Yang ada saran uh ah uh ah lu dapatnya. Heheheh"
Author POV
Siska mulai gerah. Ia tak habis pikir dengan otak Yana yang mesumnya kebangetan. Tapi nggak mungkin mereka dibilang sekumpulan anak liar jika bukan karena sikap.
Liar?
‘Itu nggak bohong kok. Kami memang di cap sebagai perkumpulan anak liar. Keluar masuk diskotik, pulang pagi. Bahkan salah satu dari kami ada yang pecinta ONS.’
Siska kini sudah berdiri di depan rumahnya. Tidak. Ini rumah Ian yang ia tempati sejak kemaren. Setelah puas mendengar ucapan gila Yana, Siska memutuskan untuk pulang saja. Dan disinilah dia sekarang. Dirumah Ian sang suami.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Jika masih sendiri dulu, ini masih pagi bagi Siska. Tapi sekarang, untuk mengatakan ini masih pagi, hatinya seketika menolak.
Setelah menghembuskan satu nafas kuat, Siska akhirnya melangkah masuk. Secara perlahan langkahnya berjalan menapaki teras rumah dan sampai pada gagang pintu.
Siska mendorong pintu secara perlahan dan ternyata tidak dikunci. Ruang tamu tampak begitu gelap. Namun ada satu celah cahaya dari arah dapur. Walaupun remang-remang, Siska mengikuti instingnya untuk melangkah menuju dapur dan betapa terkejutnya ia mendapati Ian tengah tertidur tertunduk dengan kepala diletakkan di atas meja dengan bertopang lengannya.
Siska segera mendekati Ian. Secara perlahan ia menyentuh lengan Ian. Nafas Ian begitu teratur.
“Mas!” panggilnya dengan suara sedikit pelan agar Ian tak terkejut.
Siska berhasil, Ian terbangun secara perlahan. Tatapan mata mereka bertemu.
“Kenapa tidur di sini?”tanya Siska pelan.
Ian menggeleng. Namun pria itu segera mendudukkan dirinya. Masih menatap mata Siska lekat. “Sudah puas bermainnya?” tanya Ian dengan nada pelan.
Siska menggigit bibir bawahnya. Ia takut menjawab. Walaupun pertanyaan itu terkesan biasa saja. Tapi Siska bisa menangkap rasa kesal dari sana.
“Mas—“
“Baiklah. Kita tidur.” Ian berdiri secara tiba-tiba dan membuat suara gaduh di rumah tersebut dengan menggendong Siska seperti sedang mengangkat karung beras di pundak sembari menampar-nampar p****t istrinya itu.
Walaupun sesampainya dikamar mereka tak melakukan apa-apa, namun perlakuan Ian padanya tadi mampu membuat jantungnya bertalu dua kali lipat. Pasalnya seliar-liarnya Siska, pantatnya tak pernah di sentuh pria lain. Tapi kini Ian bukan hanya memukul malah mengusapnya pelan lalu memukulnya lagi. Seperti itu sampai Siska di letakkan Ian secara perlahan atas ranjang.
Kini Siska sudah berada dalam pelukan Ian.
Haaahh.. Selalu saja seperti ini. Sebenarnya rumah tangga mereka ini apa ya? Sudah menikah tapi tak tampak seperti orang menikah. Malah terlihat aneh. Ian yang berstatus sebagai suaminya, bersikap lembut namun posesif. Tapi tak ada kata cinta yang keluar dari mulut Ian. Suaminya itu juga tak mau menyinggung soal berhubungan intim atau malam pertama.
Sedangkan Siska, gadis itu bingung dengan posisinya saat ini. Menjadi istri secara mendadak membuatnya bingung. Kadang jiwa bebasnya menuntut hak namun di satu sisi instingnya sebagai istri muncul secara tiba-tiba. Seperti sekarang ini. Siska memang suka keluyuran saat masih sendiri dulu. Tapi sekarang ia bersuami, walaupun di jodohkan.
Apa salah jika ia ingin bermanja dengan Ian dan meletakkan posisinya sebagai istri yang manja pada suaminya. Siska tak tahu bagaimana Vanessa dulunya, mungkin mendiang istri Ian itu punya sifat yang sangat dewasa, berbeda dengan dirinya yang masih ke kanak-kanakan.
Ian sudah tertidur. Sedangkan Siska masih terjaga dan sedang menatap wajah damai sang suami. Secara perlahan Siska mendekatkan wajahnya pada Ian dan mengecup bibir suaminya itu. Ini ciuman keduanya setelah ciuman pertama diambil Ian tadi siang.
Betapa terkejutnya Siska saat mendapati Ian membalas ciumannya. Siska begitu bahagia saat bibir mereka saling melumat walaupun mata Ian masih terpejam.
Ciuman mereka terlepas. Namun satu kalimat yang Ian ucapkan mampu membuat langit Siska seakan runtuh.
“I love you Vanessa.”
*****