“Horeeeee,,, akhirnyaaaaa…”
Seorang pemuda melompat kegirangan sambil berteriak, membuat orang-orang yang ada di sekitarnya terkejut. Dia bahkan membuat kursi yang tadi dia duduki terjatuh ke belakang. Tapi sesaat kemudian, pemuda itu seperti sadar akan sesuatu, dan ekspresi wajahnya langsung berubah.
“Jancuk. Wong edan. Ngapain kamu teriak gitu?” gerutu seseorang yang duduk di samping pemuda itu.
Tak langsung menjawab, pemuda itu menarik kursinya yang tadi terjatuh, meletakkan lagi di posisinya, kemudian dia duduk.
“Hehe, sorry Gas, nggak sadar. Aku lagi seneng soalnya.”
“Seneng sih seneng, tapi nggak usah sampai kayak gitu juga kali.”
Orang yang merupakan sahabat dari pemuda itu masih terus menggerutu. Dia juga merasa malu karena dilihat orang-orang yang ada di kafe ini. Suasana kafe yang tadinya tenang tiba-tiba heboh karena teriakan dan lompatan dari pemuda itu. Bukan cuma pengunjung saja, tapi para karyawan kafe juga terkejut dan ikut-ikutan melihat ke arah mereka.
“Emang ada apa sih Ris? Sampai kamu teriak gitu?”
“Ini lho Gas, aku baru dapat email dari PT. Tri Kurnia, aku keterima kerja di sana.”
Pemuda yang tadi berteriak, Faris, menunjukkan handphonenya kepada sahabatnya yang sempat kesal, Yogas.
“Serius? Tri Kurnia? Wah mantap Ris, selamat ya.”
“Hehe iya Gas, makasih ya. Beruntung banget aku bisa keterima di sana.”
Faris sebenarnya merasa kurang enak memberitahukan ini kepada Yogas. Karena pada awalnya, justru Yogas yang sangat ingin masuk ke perusahaan itu. Faris tadinya sudah mau memilih perusahaan lain, karena kebetulan tes yang diikuti sudah masuk tahap akhir, dan dia mau fokus, tidak mau mendaftar ke tempat lain lagi. Tapi kemudian Yogas yang memaksanya untuk mendaftar.
Pada akhirnya nasib berkata lain. Faris gagal dalam tes akhir yang diikutinya, tapi malah lolos di tes perusahaan ini. Sedangkan Yogas, yang dari awal mengajak Faris, malah sudah gagal di tes tahap awal.
Tadinya karena Yogas sudah gagal, Faris juga sudah malas melanjutkan tesnya, tapi lagi-lagi Yogas memaksanya, dan akhirnya sekarang dia benar-benar diterima di perusahaan itu. Apalagi Faris tadi sempat melihat ekspresi lain dari Yogas, mungkin rasa kecewa, atau iri, tapi setelah itu Yogas bersikap wajar saja.
“Terus, kapan mulai kerjanya Ris?”
“Minggu depan sih berangkatnya, tanda tangan kontrak. Tapi mungkin juga langsung masuk masa training.”
“Oh gitu. Trainingnya berapa lama?”
“Katanya sih paling cepet 6 bulan, tapi bisa lebih juga, tergantung sama progresnya.”
“Ya bagus deh kalau gitu. Moga-moga kamu cukup 6 bulan aja trainingnya, terus langsung diangkat jadi karyawan tetap.”
“Amiiin. Makasih ya, Gas. Sayang kita nggak bisa lolos bareng-bareng.”
“Iya sih, aku udah gagal di psikotes awal. Tapi nggak papa, aku ikut seneng kok kalau kamu lolos.”
Faris tersenyum mendengar ucapan Yogas. Dia tahu, meskipun berkata seperti itu, Yogas pasti menyimpan kekecewaan.
“Lha terus, tesmu sendiri gimana Gas yang sekarang?”
“Ini masih nunggu pengumuman, kalau lolos tinggal tes kesehatan aja sih.”
“Ya moga-moga kamu juga lolos Gas.”
“Iya, amiin..”
“Ya udah, kalau gitu kita cabut yuk.”
“Lah, mau kemana? Baru juga bentar di sini.”
“Kita ke sport center.”
“Weh, mau ngapain Ris?”
“Mau beli jersey sama sepatu bola nih.”
“Lah, tumben amat? Kamu bukannya nggak suka bola ya?”
“Lha ya emang bukan buat aku. Buat kamu.”
“Kok buat aku?”
“Lha kan aku udah janji waktu itu, masak lupa?”
“Oh iya. Itu beneran ya? Kirain cuma bercanda doang, haha.”
“Yaa beneran lah, udah kadung janji. Yuk cabut.”
“Hayuk dah, lumayan dapet jersey sama sepatu gratis, haha.”
Sekarang giliran Yogas yang kegirangan. Faris memang pernah bilang, kalau dia lolos dan diterima kerja di PT. Tri Kurnia, dia akan membelikan Yogas jersey bola tim kesayangannya, juga sepatu bola atau futsal. Saat itu Yogas menganggap Faris hanya bercanda. Farispun sebenarnya tak terlalu serius dengan ucapannya, karena dia pikir tidak akan diterima di perusahaan besar itu, tapi nyatanya dia diterima, jadi harus memenuhi janjinya.
^^^
Sudah seminggu berlalu sejak Faris membuat kehebohan di kafe saat dia bersama Yogas. Sekarang dia sedang dalam perjalanan menuju Jakarta, kota tempat kantor pusat dari perusahaan yang sudah menerimanya. Masih terlalu pagi, matahari juga belum terbit, tapi Faris sudah tak bisa lagi memejamkan matanya.
Dari kaca jendela kereta ekonomi yang dinaiki, Faris hanya bisa melihat kegelapan di luar. Sesekali cahaya lampu dari kejauhan nampak dari pemukiman yang dilewati kereta itu.
Rasa kantuk Faris sudah hilang, padahal sejak berangkat tadi dia juga tidak bisa tidur dengan nyenyak. Bukan karena kondisinya yang kurang nyaman, tapi karena dia terlalu bersemangat, perasaannya sedang sangat bahagia.
Dia ingin cepat-cepat sampai di Jakarta, kota yang untuk beberapa bulan kedepan akan dia tinggali. Kalau sebelumnya dia ke Jakarta hanya untuk main-main atau liburan saja, kali ini untuk bekerja.
Faris memang sudah beberapa kali ke Jakarta. Yang paling sering adalah untuk mengunjungi seseorang. Seseorang yang dulu pernah mengisi hatinya, tapi sejak setahun belakangan ini menghilang begitu saja, seperti ditelan bumi. Orang yang pernah begitu dominan mengisi hari-harinya, lalu meninggalkan ruang hampa di dalam hatinya, bahkan sampai sekarang.
‘Huft, apa nanti di Jakarta bakal ketemu dia ya? Gimana kabarnya dia sekarang? Kalau misal nanti ketemu, aku harus gimana ya?’
Ingatannya kepada seorang gadis yang dulu pernah mengisi hari dan hatinya itu, tiba-tiba membuat kegembiraannya hilang. Dia jadi teringat lagi, saat pertemuan terakhir dengan gadis itu. Waktu itu, dia mengunjunginya di Jakarta, karena kebetulan gadis itu sudah bekerja di sana. Seperti sebelum-sebelumnya, setiap Faris mengunjunginya, mereka selalu menginap di hotel.
Gadis itu tak pernah mau membawa Faris ke kostnya, karena katanya tidak boleh membawa cowok masuk. Padahal Faris hanya ingin tahu saja, tapi gadis itu tetap menolak. Akhirnya Faris tak lagi mempermasalahkan, karena yang penting buatnya bisa bertemu dan melepas kangen dengan gadis itu.
Tapi setelah pertemuan terakhirnya itu, saat Faris pulang, itulah saat terakhir mereka bertemu. Gadis itu masih sempat mengantarnya ke stasiun. Faris juga sempat mengabari saat keretanya mulai berjalan, dan gadis itu membalasnya. Tapi itulah pesan terakhir yang didapat oleh Faris.
Setelah itu, Faris mengabarinya kalau dia sudah sampai, tapi pesannya tidak terkirim. Faris mencoba menelpon, tapi nomernya tidak aktif.
Awalnya Faris masih berpikiran positif, mungkin memang handphone gadis itu sedang mati. Tapi setelah beberapa jam kemudian, Faris mencoba menghubungi lagi, tetap tidak bisa. Faris mulai khawatir, jangan-jangan terjadi sesuatu kepada gadis itu. Diapun mencoba mengecek media sosial gadis itu, dan betapa terkejutnya Faris, ternyata semua media sosialnya sudah tidak ada, dinonaktifkan semuanya.
Sejak saat itulah, Faris tak tahu lagi kabar gadis itu. Dia pernah mencoba mencari gadis itu ke Jakarta, tapi begitu sampai di Jakarta, Faris menyadari sesuatu. Dia tak tahu dimana kost tempat gadis itu tinggal.
Faris mencoba mencari ke kantor gadis itu, tapi ternyata gadis itu sudah lebih dari sebulan mengundurkan diri. Itu artinya, saat pertemuan terakhir mereka, sebenarnya gadis itu sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Faris makin kebingungan, karena dia tak tahu lagi harus mencari kemana.
‘Ah sudahlah, kalau jodoh pasti ketemu lagi.’
Cukup lama Faris melamun, tanpa disadarinya kondisi di luar kereta sudah mulai terang. Dia melihat jam tangannya, sebentar lagi kereta yang dia naiki akan sampai di stasiun yang menjadi tujuannya.
Hari ini dia akan dijemput oleh salah satu saudara jauhnya. Mereka sudah lama tidak bertemu, tapi untung Faris masih menyimpan nomer kontak saudaranya itu. Faris melihat orang-orang juga sudah mulai bersiap, diapun ikut mempersiapkan dirinya.
Sekitar 20 menit kemudian, kereta itu mulai masuk ke area stasiun. Faris sudah berdiri membawa tasnya, bersama dengan para penumpang lainnya. Begitu kereta berhenti, mereka turun dengan tertib. Begitu turun, Faris dan para penumpang lainnya langsung diserbu para porter yang menawarkan jasa mereka. Karena Faris hanya membawa sebuah koper yang tidak terlalu besar, dan juga tas ransel yang dipanggulnya, diapun menolak dengan sopan.
Faris langsung menuju ke pintu keluar. Dia harus berdesak-desakan dengan para penumpang yang berebut keluar. Saat itu juga dia langsung diserbu para tukang ojek dan supir taksi, tapi lagi-lagi Faris menolaknya. Tak lama kemudian dilihatnya seorang pria sedang berdiri agak jauh dari pintu keluar, tapi melihat ke arahnya juga. Pria itu melambaikan tangan, dibalas oleh Faris. Farispun segera menghampiri pria itu.
“Wueeeh, akhirnya datang juga. Selamat datang di Jakarta Ris,” sambut pria itu.
“Hehe makasih mas. Maaf lho udah bikin mas Nando repot-repot jemput aku.”
“Halah santai aja lagi, nggak usah sungkan. Bawaanmu ini aja?”
“Iya mas.”
“Lha kok cuma dikit?”
“Iya ini yang penting-penting aja dulu, kan belum pasti ditempatin di sini, repot kalau bawa banyak sekalian. Lagian, entar mas Nando juga repot kan bawanya, hehe.”
“Lah repot kenapa? Aku kan bawa mobil.”
“Loh, kirain masih pake motor mas? Tau gitu kan aku bawanya banyak sekalian, hahaha.”
“Hahaha. Ya udah, yuk cabut. Mau kemana dulu? Mau makan apa langsung ke tempatku?”
“Ke tempat mas Nando dulu aja deh, makan entar gampang.”
“Oke.”
^^^