Bab 3

1366 Words
Faris kini harus beristirahat dulu, bersiap untuk besok, memasuki gerbang baru dalam hidupnya, memasuki dunianya yang baru, dunia kerja. Pagi ini Faris sudah berada di kantornya yang baru, tepatnya di ruang rapat. Bersama dia ada sekitar 15 orang lagi. Mereka semua kompak memakai pakaian yang sama, atasan putih dan bawahan hitam. Sebenarnya tidak ada ketentuan khusus tentang pakaian yang harus mereka pakai, bahkan di email yang mengabarkan kalau mereka lolos kerja dan meminta untuk datang hari ini, hal itu tidak disebutkan. Tapi ternyata, mereka semua kompak memakai pakaian seperti itu, semuanya. Faris sudah sampai di kantor ini sekitar setengah jam yang lalu. Dia benar-benar naik ojek online hari ini. Dia tidak ingin telat dan membuat kesan buruk di hari pertamanya bekerja. Dan sama seperti dia, teman-temannya yang juga sesama karyawan baru ternyata kebanyakan juga seperti itu, meskipun ada juga yang datangnya mepet dengan jam masuk kantor. Tak lama kemudian masuklah seorang pria dengan setelan jas rapi. Pria itu tersenyum geli melihat para karyawan baru yang berpakaian seragam, padahal tidak diminta. “Selamat pagi semuanya…” “Pagi paaak…” “Perkenalkan nama saya Doni Wijaya, manager HRD PT. Tri Kurnia. Saya ucapkan selamat datang kepada kalian semua, dan selamat bergabung di perusahaan ini,” ucap Pak Doni memperkenalkan diri dan menyambut para karyawan barunya. “Nggak perlu banyak basa basi ya. Kalian adalah orang-orang terpilih dari sekian ribu orang yang mendaftar, jadi berbanggalah. Tapi ingat, begitu masuk di perusahaan ini, kalian dituntut untuk memberikan yang terbaik. Semua harus on the track. Jika ada yang keluar jalur, atau tidak bisa mengikuti langkah yang lainnya, maka siap-siap aja, karena di luar sana sudah banyak orang yang menunggu untuk menggantikan posisi kalian, paham?” “Paham paak…” “Sebelum saya lanjutkan, saya ingin bertanya dulu. Apakah setelah duduk di ruangan ini, ada diantara kalian yang berubah pikiran dan ingin mengundurkan diri sekarang juga? Kalau ada, silahkan bilang ke saya. Yang dari luar kota, saya akan belikan tiket pesawat untuk pulang. Yang dari dalam kota, saya siapkan mobil untuk mengantar ke rumah kalian.” Tidak ada yang menjawab, malah mereka bingung, saling tatap satu sama lain. Baru masuk kerja, belum apa-apa, sudah ditanya seperti itu. “Saya bilang begini karena saya nggak mau repot lagi. Mendingan repot diawal, cuma keluar duit buat biaya kalian pulang. Tapi kalau kalian udah tanda tangan kontrak, terus nantinya nggak betah dan pengen keluar, urusannya ribet, dan saya nggak mau dipusingkan dengan hal itu.” Kembali semuanya terdiam, termasuk Faris. Dia masih bingung dengan maksud Pak Doni, tapi dia sudah mantap untuk tetap berada di perusahaan ini apapun yang terjadi, paling tidak, sampai kontrak untuk masa trainingnya selesai. Setelah itu, hal lain bisa dipikirkan lagi nanti. “Oke, kalau nggak ada, saya anggap kalian sudah siap untuk memperjuangkan posisi kalian di perusahaan ini, betul begitu?” “Betul paak…” “Nah gitu dong, wajahnya jangan tegang kayak gitu, kalian ini baru diterima kerja, jadi pasanglah wajah bahagia kalian.” Beberapa orang tersenyum mendengar ucapan Pak Doni. Berbeda dengan yang tadi bernada tegas, ucapan Pak Doni kali ini terdengar seperti sedang bercanda, apalagi pria itu juga sambil tersenyum. “Baiklah, saya akan jelaskan program yang akan kalian jalani mulai hari ini. Kalian akan menjalani program training yang akan dibagi menjadi 2 tahap. Pertama, selama 3 bulan kalian akan belajar tentang dasar-dasar dan SOP kerja di kantor pusat ini. Setelah itu, 3 bulan kemudian kalian akan belajar lebih ke operasionalnya, semacam praktek kerjanya. Nah, di 3 bulan kedua ini, kalian bisa saja masih berada di kantor pusat, atau mungkin disebar ke kantor cabang, tergantung kebutuhan. Di akhir masa training nanti, kalian akan diminta presentasi apa saja yang sudah kalian dapat dan kerjakan selama training, dan itu akan menentukan kalian layak diangkat menjadi karyawan tetap atau tidak.” Terdengar Pak Doni memaparkan panjang lebar tentang program training yang akan dijalani oleh Faris dan teman-temannya sesama karyawan baru. “Maaf pak,” salah satu karyawan baru ada yang mengangkat tangannya. “Iya mas, ada apa?” “Jadi kita belum pasti diterima di sini pak?” “Iya, benar sekali. Saat ini, status kalian masih 50%. 50% lagi ditentukan dari selama kalian mengikuti training dan presentasi akhir nanti. Masih ada pertanyaan?” “Saya pak. Apakah nantinya jika kami semua lulus, kami semua diterima? Atau menyesuaikan dengan kuota?” “Oh tidak, kalau kalian semua lulus, semua akan diterima karena jumlah kalian yang berada di sini, adalah sesuai dengan jumlah karyawan yang kita butuhkan, baik di pusat ataupun di kantor cabang. Jadi tidak ada patokan ranking, hanya patokannya standar minimal yang diminta oleh perusahaan. Ada pertanyaan lagi?” Semua terdiam kembali. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dan jawaban yang diberikan oleh Pak Doni sudah cukup bagi mereka. Yang jelas sekarang mereka sudah tahu posisinya seperti apa. Meskipun belum sepenuhnya diterima, tapi mereka merasa lebih tenang karena tak perlu terlalu bersaing dengan sesama rekan karyawan baru. Jika semua bisa melewati standar minimal yang diminta perusahaan, semua akan lolos, tidak perlu diurut berdasarkan ranking. “Baiklah kalau tidak ada pertanyaan lagi, saya rasa semua sudah mengerti. Sebentar lagi asisten saya akan membawakan draft kontrak kalian untuk masa training, yang berisi hak-hak dan kewajiban kalian. Sambil menunggu, saya absen dulu ya, biar lebih kenal.” “Iya pak.” “Oke, yang pertama, Aldi Wijaya…” “Saya pak.” “Beatrix Rosalia.” “Saya pak.” Pak Doni terus memanggil satu persatu nama dari teman-teman Faris. Ada untungnya juga, karena tadi Faris belum sempat berkenalan dengan semua teman barunya itu. “Faristama Nagoya.” “Saya pak,” Faris mengangkat tangan ketika namanya disebut. “Nagoya?” “Eh, iya pak.” Pak Doni menatap wajah Faris, membuat teman-temannya di ruangan itu ikut menatapnya, yang membuat Faris jadi bingung. “Nama kamu ada nuansa jejepangan gitu, tapi mukamu nggak ada jepang-jepangnya?” “Hehe, saya memang bukan orang Jepang kok pak,” jawab Faris. “Oh, berarti, lahir di Jepang?” tanya Pak Doni. “Nggak juga pak, saya lahir di Solo.” “Lha terus? Kok namanya pake Nagoya segala? Apa singkatan atau ada arti khusus yang lain? Atau cuma gaya-gayaan?” “Hmm, kalau kata bapak saya sih, emang saya dibuatnya di Jepang pak, makanya dikasih nama itu.” “Wuahahahahaha…” Seketika mereka semua tertawa mendengar jawaban Faris. Bahkan Pak Doni sampai terduduk di kursi memegangi perutnya saking kerasnya tertawa. Farispun mau tak mau ikut tertawa. Dia sebenarnya tidak berniat melucu, karena memang itulah jawaban dari orang tuanya ketika ditanya kenapa namanya ada Nagoya-nya. Apalagi selama ini juga jarang ada yang bertanya tentang namanya. Dan ketika dia menjawab seperti itu, sikap teman-temannya biasa saja. “Permisi…” Tawa mereka terhenti saat seorang wanita dengan busana kantoran masuk membawa setumpuk kertas. Semua perhatian langsung terpusat padanya. Terutama Faris, yang sangat terkejut melihat siapa yang masuk. “Oh kamu Vi, sana bagiin dulu draft kontraknya,” perintah Pak Doni. “Baik pak.” Wanita itu langsung membagikan berkas yang dia bawa ke para karyawan baru. Yang terakhir adalah Faris, karena dia memang duduknya paling belakang. “Loh, mbak Selvi? Kok di sini?” tanya Faris, setengah berbisik. “Ya emang aku kerja di sini, hehe. Udah kamu baca aja dulu itu, entar aja kita lanjutin ngobrolnya,” jawab wanita itu, yang tak lain adalah Selvi. Faris benar-benar terkejut karena tak menyangka Selvi juga bekerja di sini. Dari kemarin, tidak ada pembicaraan mengenai hal ini selama di rumah. Nando tak membahasnya, Selvi juga. Dan memang Farispun tak bertanya dimana Selvi bekerja. Pantas saja kemarin Nando dan Selvi, terutama Selvi menawarkan untuk berangkat bareng, ternyata mereka memang sekantor. Tapi ada untungnya juga bagi Faris berangkat duluan, karena memang sudah niatnya untuk tak sampai telat di hari pertamanya bekerja. “Vi, bisa tolong kamu jelasin masalah kontrak itu?” pinta Pak Doni. “Baik pak.” Selvi yang baru saja duduk kemudian berdiri lagi, saat dilihat para karyawan baru itu selesai membaca draft kontrak mereka, dan menunggu penjelasan dari Selvi. “Baik rekan-rekan semua, sudah dibaca draftnya?” “Sudah bu…” “Oke, saya hanya akan sedikit menambahkan saja. Intinya, selama masa training ini, kalian akan menerima gaji sebesar 6 juta perbulan. Untuk tempat tinggal, bagi yang berasal dari luar kota diberi 2 pilihan. Pertama tinggal di mess perusahaan, kedua mencari tempat tinggal sendiri. Tapi jika mencari kos sendiri, dari pihak perusahaan tidak menanggung biayanya, jadi semua 100% ditanggung oleh rekan-rekan sendiri, bisa dipahami?” “Bisa bu…” “Maaf bu, saya mau nanya,” seseorang dari mereka mengangkat tangannya. “Iya mas silahkan.” “6 juta ini bersih atau masih dipotong pajak lagi?” “Oh, 6 juta itu bersih. Untuk pajak sudah ditanggung perusahaan, sudah diluar itu.” Semuanya mengangguk. Hampir semua tak mempermasalahkannya lagi, karena ternyata gaji pertama yang akan mereka terima jauh lebih banyak dari yang mereka kira sebelumnya. Termasuk Faris, yang waktu interview ditanya berapa gaji yang diinginkan, dia hanya menjawab 4-5 juta saja, tapi ternyata malah lebih tinggi dari permintaannya. ‘Masih training aja segini, berarti kalau udah diangkat jadi karyawan tetap, bakalan lebih tinggi lagi dong? Wah beruntungnya aku bisa masuk di perusahaan ini. Aku harus bener-bener berusaha nih, biar diangkat jadi karyawan tetap,’ batin Faris.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD