Bab 6

1746 Words
Jika kita mengerjakan sesuatu yang kita sukai, atau paling tidak mengerjakannya dengan senang, maka pekerjaan itu tak akan terasa berat, dan waktupun akan berlalu dengan cepat. Itulah yang kini dirasakan oleh Faris. Tak terasa sudah sebulan dia bekerja. Semua yang perlu dia pelajari dalam waktu sebulan ini, sudah bisa dia kuasai semua. Tentu saja hal itu tak lepas dari bantuan Selvi, yang selalu siap jika Faris menanyakan soal pekerjaan di rumah. Apalagi dengan suasana kantor yang sangat menyengangkan. Memang di kantor ini tak terlalu mengenal istilah senior junior. Semua dipandang sama, asalkan kerjaan mereka bisa diselesaikan dengan baik. Tidak ada senior yang dengan seenaknya menyuruh junior untuk melakukan hal-hal di luar pekerjaan. Tidak ada junior yang juga seenaknya bekerja meskipun memiliki keluarga yang posisinya sudah tinggi di perusahaan ini. Semua sadar diri. Dan itu menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Di kantor ini juga kebanyakan karyawannya cepat bergaul dan mudah akrab, karena itulah Faris sudah langsung merasa seperti sudah sangat lama bekerja di sini. Hanya saja yang sedikit menganggunya, beberapa orang, terutama Pak Doni dan teman-temannya sesama karyawan baru, lebih sering memanggilnya ‘Jepang’ daripada nama aslinya. Gurauannya di ruang rapat kemarin rupanya berbekas di kepala mereka. Tapi meskipun begitu, Faris tak keberatan, malah geli sendiri. Faris juga sudah sangat akrab dengan Selvi dan Lidya yang seruangan dengannya. Hari-hari di kantor tak lagi melulu hanya membahas pekerjaan. Jika pekerjaan sudah selesai, mereka membahas hal lain, soal kehidupan pribadi mereka. Dari situ Faris dan Selvi tahu kalau beberapa hari yang lalu Lidya baru saja jadian dengan pria yang selama ini gigih mengejarnya. Lidya juga sudah mentraktir mereka, hitung hitung sebagai pajak jadian. Hari sudah sore, Faris dengan Selvi dan Lidya masih berada di ruangan mereka. Pekerjaan mereka sudah selesai dari tadi, dan kini mereka menunggu waktu pulang dengan mengorek cerita kehidupan Faris. Karena merasa sudah sangat dekat dan nyaman dengan kedua wanita itu, Farispun menceritakan beberapa hal tentang dirinya, termasuk gadis yang membuatnya galau setahun belakangan ini. “Jadi setelah terakhir kamu tengok kesini, kalian langsung lost contact gitu Ris?” tanya Selvi. “Iya mbak. Sepulang aku dari sini, aku hubungi dia mau ngabarin kalau udah sampai, tapi nomernya nggak aktif. Kupikir HPnya mati. Beberapa jam kemudian aku hubungi lagi, tetep nggak aktif. Terus aku cek sosmednya dia, eh nggak tahunya semua udah non aktif, satupun nggak ada yang tersisa.” Faris sudah memanggil Selvi mbak karena meskipun masih di kantor, sudah tidak ada lagi urusan dengan pekerjaan, lagipula Selvi sendiri yang memintanya. “Kok bisa gitu ya? Apa pas kalian terakhir ketemu itu, kalian ada masalah? Ribut-ribut gitu?” “Nggak ada mbak, aku merasa semuanya baik-baik aja. Dia bahkan nganterin aku ke stasiun, dan pas kita mau pisah, dia masih senyum senyum aja. Yaa pokoknya masih kayak biasanya lah, nggak ada yang berubah.” “Mungkin ada sesuatu yang nggak kamu sadari Ris,” sahut Lidya. “Sesuatu apa Lid?” “Yaa nggak tahu. Mungkin dari selama kamu di sini, ada pembicaraan kalian yang bikin dia jadi kayak gitu, yang kamu nggak sadar itu.” “Hmm, apa yaa. Kayaknya nggak ada deh. Kita tuh beneran kayak biasanya, semua normal-normal aja.” “Kalian seumuran Ris?” tanya Selvi. “Iya mbak.” “Waktu kalian ketemu itu, kalian bahas tentang nikah nikah gitu nggak?” “Nggak ada sih mbak. Nggak ada omongan kearah sana.” “Kalian udah berapa lama jadian? Sampai saat itu?” “Udah 3 tahun mbak, dari sejak kami kuliah. Terus pas lulus, dia kan langsung keterima kerja, sedangkan aku masih nganggur setahunan.” “Hmm sorry Ris, agak vulgar. Kalian, ngeseks?” “Iya.” Faris mengangguk. Dia merasa tak perlu canggung lagi, mereka sudah sama-sama dewasa. “Waktu kalian ngeseks pas terakhir ketemu itu, gimana rasanya?” “Rasanya? Maksudnya?” “Gini, bukan gimana rasa ngeseksnya, tapi lebih ke, hmm apa yaa, feelnya. Kamu ngerasa dapat feelnya nggak waktu itu? Atau menurut kamu, dia dapat feelnya nggak?” Faris terdiam, tak langsung menjawab. Dia mencoba mengingat-ingat kembali waktu terakhir bersama gadis itu. Apa saja yang mereka lakukan, dan apa saja yang dia rasakan. “Hmm, kayaknya, agak beda sih mbak. Gimana ya, mungkin bisa dibilang, dia agak dingin. Tapi waktu itu aku nggak terlalu ngeh soal itu sih.” Selvi menatap Lidya. Sepertinya mereka sepemikiran. “Gini ya Ris, ini mungkin lho. Cewekmu itu ngerasa kalau kalian itu harusnya udah waktunya nikah, apalagi hubungan kalian udah sejauh itu, tapi ternyata kamu nggak ada bahas kearah sana. Mungkin sebenarnya dia berharap waktu itu kamu membahasnya. Ya meskipun nggak harus nikah saat itu juga, karena kan kamu emang belum kerja, tapi siapa tahu, di tempat kerjanya, atau di lingkungannya dia, ada orang lain yang deketin dia, dan menyatakan keseriusannya, jadi dia butuh kepastian dari kamu,” ucap Selvi, mencoba menjelaskan apa yang dia pikirkan. “Nah, karena waktu ketemu itu dia pengen tahu kepastian dari kamu, tapi kamu nggak membahasnya, dan akhirnya dia milih orang lain. Ini masih kemungkinan sih, tapi aku, sama Lidya, sebagai sesama cewek, pasti punya pikiran kearah sana.” “Yaa tapi, kalau emang kayak gitu, kenapa dia nggak bahas duluan mbak? Minimal tanya kek.” “Hey boy, yang cowok itu siapa? Ya harusnya kamulah yang punya inisiatif. Gini ya Ris, siapa tahu ada cowok lain yang ngajakin cewekmu nikah, dan dia belum jawab karena pengen tahu kamu nganggap hubungan kalian itu kayak gimana, tanpa harus dia tanya atau dia pancing. Dan disitu, mungkin dia bisa lihat kalau kamu nggak ada pandangan ke depan dengan hubungan kalian, makanya dia ninggalin kamu,” kali ini Lidya yang menanggapi. “Tapi hal kayak gitu kan bukan kepentingan satu pihak aja, tapi untuk kedua belah pihak, jadi harusnya dibahas bareng dong, nggak asal ambil keputusan kayak gitu secara sepihak?” Faris masih kukuh dengan pendiriannya. “Iya emang bener, itu untuk kepentingan 2 pihak. Tapi, masak kamu mau cewekmu yang inisiatif? Kalau misalnya lamaran, siapa yang ngelamar? Cewek apa cowok?” “Yaa, cowok sih mbak.” “Terus, kalau pas nikah, siapa yang ngucapin ijabnya? Cewek apa cowok?” “Iya iya, cowok. Tapi gini deh mbak, kalau emang ada yang deketin dia, ngajakin dia nikah, atau apapun itulah, harusnya kan dia bilang sama aku. Aku ini kan cowoknya, dengan dia nggak bilang, artinya dia nggak nganggep aku dong? Dia yang nggak pengen nerusin hubungan sama aku dong kalau kayak gitu?” “Kalau itu aku juga nggak tahu Ris. Kamu yang lebih tahu cewekmu itu kayak gimana, dan dari situ, harusnya kamu bisa, yaah minimal nebak lah jalan pikiran cewek kamu tuh arahnya kemana.” Faris terdiam. Dia ingin membantah, tapi benar juga yang dikatakan oleh Selvi. Selvi dan Lidya hanya memberikan pendapat mereka, sebagai seorang wanita. Dan kalau memang hal itu benar, ada yang mengganjal pikiran Faris. Kalau memang ada pria lain yang mendekati gadis itu, kenapa dia tidak memberi tahunya? Apakah memang gadis itu lebih memilih laki-laki lain daripada dia? Ataukah, ada kejadian yang membuat gadis itu terpaksa memilih laki-laki lain? “Mbak, Lid…” “Iya, kenapa?” “Hmm, apa mungkin ya, dia berpaling karena terpaksa?” “Maksud kamu?” “Ya maksudku, dia ada dalam kondisi dimana harus milih laki-laki itu, dan terpaksa ninggalin aku…” “Maksudmu dia hamil sama cowok lain?” tanya Selvi, to the point. “Yaa, something like that lah.” “Haduh Ris, mikirmu jangan kejauhan kayak gitu dong, ngeri. Hmm, tapi, yaa bisa jadi sih, ada kemungkinan kearah sana. Menurutmu gimana Lid?” “Yaa, gimana yaa. Bisa aja sih kayak gitu mbak.” “Coba deh kalian sebagai cewek, apa sih hal yang bisa bikin kalian berpaling sebegitu mudahnya, secepat itu, dari cowok yang bener-bener kalian cintai?” “Ada beberapa hal Ris. Pertama, mungkin yang kamu bilang tadi. Kedua, dijodohin sama orang lain. Ketiga, ada cowok lain yang bener-bener bisa bikin aku yakin sama dia. Nah sekarang pertanyaannya, apa kamu yakin, cewek itu bener-bener cinta sama kamu?” tanya Lidya. “Eh, maksudmu?” “Apa kamu yakin dia secinta itu sama kamu, sampai kamu mikir dia ninggalin kamu karena terpaksa?” “Yaa, yaa yakin lah…” jawab Faris dengan ragu-ragu. “Tuh, kamu sendiri aja nggak yakin jawabnya Ris.” Faris terdiam sejenak. Dia merasa tertohok dengan pertanyaan Lidya. Tapi dia seolah dibuat tersadar oleh wanita itu. Benar apa yang ditanyakan Lidya, apakah gadis itu benar-benar mencintainya? Apakah gadis itu meninggalkannya karena terpaksa? Atau jangan-jangan, justru gadis itu lebih mencintai pria lain ketimbang dirinya? “Pertanyaanku selanjutnya Ris. Seberapa kenal kamu sama cewekmu itu? Seberapa dalam kamu tahu dia? Tahu isi hatinya?” Faris kembali terdiam. Pertanyaan yang diberikan oleh Lidya ini benar-benar menusuknya. Bukan dalam artian membuatnya sakit, tapi membuatnya tersadar, dan terpaksa mengingat-ingat kembali. Dia membuka lagi memorinya tentang gadis itu. Hampir setiap hari, saat masih pacaran dulu sewaktu kuliah, mereka bersama. Tapi, jika diingat lebih jauh lagi, dia ternyata tidak benar-benar mengetahui dan mengenal gadis itu. Farispun menggeleng, “Aku nggak tahu Lid, aku nggak tahu apa-apa tentang dia.” “Aku nggak bener-bener tahu tentang keluarganya. Aku nggak bener-bener tahu tentang apa yang dia suka dan nggak suka. Aku nggak pernah bener-bener tahu pergaulannya seperti apa. Dia tahu persis apa aja isi handphone dan laptopku, tapi aku nggak tahu apa-apa punya dia. Aku nggak tahu dia Lid.” Lidya dan Selvi terdiam. Sebenarnya masih ada beberapa pertanyaan dari Lidya, tapi dia tahan. Dia memberikan waktu kepada Faris untuk berpikir, dan merenung. Memberikan waktu kepada Faris untuk memahami situasi yang sebenarnya. Faris sendiri, sebelumnya tak pernah mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu, baik dari dirinya sendiri, maupun dari teman-temannya. Kali ini, dia seperti baru saja dibangunkan dari tidur panjangnya. Dia benar-benar dibuka matanya tentang gadis yang selama ini membuatnya galau tak berujung. “Ris, pertanyaan terakhirku, kalau kamu nggak keberatan,” ucap Lidya. “Apa Lid?” Faris menatap Lidya, langsung di matanya. “Apa kamu yakin, kamu satu-satunya orang yang spesial untuk cewek itu?” Faris tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya. Dulu, jika ditanya seperti itu, dia pasti akan dengan yakin menjawab iya. Bahkan mungkin akan marah kepada yang bertanya. Tapi kali ini dia sendiri malah meragukannya. Meragukan cinta dari gadis itu, meragukan hubungan yang dia jalani dengan gadis itu, meragukan 3 tahun yang dia habiskan dengan gadis itu. Melihat senyum Faris, membuat Lidya dan Selvi ikut tersenyum. “Kalau gitu, nggak perlu kamu pikirin lagi. Atau untuk memastikannya, kamu cari dia, untuk yang terakhir kalinya. Untuk mendapat kepastian. Bukan tentang kepastian hubungan kalian, tapi kepastian kenapa dia ninggalin kamu. Setelah itu, ya sudah, lupain. Kubur dalam-dalam. Waktunya kamu buat move on.” “Iya, makasih ya Lid, mbak. Kalian bener-bener ngebuka mataku sekarang. Mataku udah ketutup sama cinta buta, yang bikin aku membenarkan semua yang aku pikirin. Entahlah, aku perlu cari dia lagi atau nggak, aku nggak tahu harus nyari kemana, karena jujur, selama aku ngunjungin dia, dia nggak pernah ngajak aku ke kost-kostannya.” “Lha terus, kalian kemana dong?” “Yaa, nginep di hotel mbak, hehehe.” “Hadeeeh. Ya ya ya, paham lah paham, hahaha.” Mereka bertiga pun kini tertawa. Faris juga. Dia bisa tertawa lepas. Menertawakan kebodohannya selama ini. Semuanya memang belum pasti, semua masih kemungkinan. Tapi kemungkinan itu rasanya mendekati 100%, hanya tinggal melihat kondisi yang sebenarnya saja. Tapi Faris rasa, itu sudah cukup. Setahun lebih menghilang tanpa kabar, apalagi yang harus dia cari? Tidak ada. ‘Bener yang dibilang Lidya. Sekarang wakutnya aku buat move on. Nggak perlu mikirin dia lagi. Yang penting sekarang, aku kerja yang bener. 2 bulan lagi juga bakal dipindah kan? Siapa tahu aku ketemu jodoh di sana.’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD