“Tapi janji sama Mbak, tidak ada keributan ya, Dek? Mbak malas cari masalah sama mbak Indah ataupun ibu,” sahut Rima kemudian.
“Tidak akan terjadi keributan Mbak. Aku akan kasih pelajaran pelan-pelan pada mbak iparku itu,” sahut Nanda yang membuat Rima lega.
“Iya Dek, mbak Indah tidak pernah mau turut serta dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Apalagi Ibu juga selalu melarangnya, jika mbak ingin meminta bantuan,” sahut Rima berusaha jujur. Rima berharap adik iparnya itu benar-benar bisa diandalkan.
“Oke Mbak. Aku memang sudah menduga, jika mbak Indah akan dimanjakan ibu. Maafkan ibu ya, Mbak? Nanda janji akan bikin ibu sadar. Mbak juga sepatutnya disayang oleh ibu.”
“Baik Nanda. Iya sudah kamu ke depan gin sana! ibu pasti menunggu kamu.”
“Sama Mbak juga dong. Mbak juga harus ikut sama aku duduk di depan.”
“Tidak usah Dek, nanti ibu marah. Ibu selalu melarang mbak ikut nimbrung di sana.”
“Tidak akan Mbak, 'kan ada Nanda. Ayo sudah kita ke depan. Piring kotor bekas kita semua makan, biarkan mbak Indah yang mencuci.”
“Baiklah, ayo,” sahut Nanda sembari mengekor berjalan ke depan. Di mana bu Heni dan Indah, sedang menonton televisi.
“Sini Nanda duduk dekat sama Mbak!” ucap Indah saat mereka berdua berdiri di dekatnya.
“Sini saja Mbak, sama aja kok,” sahut Nanda. Indah terlihat kesal, karena Nanda tidak pernah mendengarnya.
Nanda pun duduk di samping Rima. Rima melihat ibu mertuanya meliriknya sekilas, namun Rima berusaha mengabaikan tatapan tidak suka bu Heni dengan memandang ke segala arah.
“Bagaimana caranya bisa jadi model sepertimu? Mbak mau juga dong,” ucap Indah sembari tersenyum memaksakan pada Nanda.
“Yang pasti harus berkelakuan baik, ramah, rajin, dan berbakat mbak,” sahut Nanda masih dengan fokus menatap layar televisi.
“Masukkan Mbak ke sana dong! Mbak mau.”
“Wah bagus itu kalau mbakmu mau ikutan jadi model, menantu kesayangan Ibu pasti diterima. Secara Nak Indah cantik 'kan?" puji bu Heni.
“Hem banyak tesnya Bu, modal cantik saja tidak menjamin diterima. Harus punya bakat modeling, dan pastinya rajin. Memangnya mbak Indah sudah masuk kriteria yang aku sebutan belum, Bu?" sahut Nanda meremehkan.
“Semua bisa dipelajari Nanda. Biar dicoba dulu. Kamu jangan meremehkan mbak Indah dong,” sahut bu Heni tidak terima anak menantu kesayangannya diremehkan.
Rima memilih diam. Tidak ingin mencampuri urusan mereka. Toh pasti ibu mertuanya itu tidak akan mendengarkannya.
“Kalau menurut Nanda sih, mbak Indah jauh dari kriteria. Malahan mbak Rima aku rasa yang bisa diterima,” sahut Nanda sembari tersenyum pada Rima.
“Walah Dek, Mbak tidak ada bakat jadi model,” sahut Rima disertai gelak tawa dari mulut Indah.
“Lah, jangan Rima dong! Dia kerjanya di dapur. Mana tahu dia bergaya? Dandan saja tidak pernah. Tuh lihat, mukanya polos apa adanya! Apalagi hari-hari cuma pakai daster oblong, sama sekali tidak modis,” sela Indah tak suka.
“Walaupun tanpa dandan, mbak Rima cantiknya tetap terpancar Mbak. Jangan meremehkan istri berdaster! Kalau sudah dandan kelar hidupmu mbak,” sahut Nanda membuat Indah diam seketika. Wajahnya masam sekali. Rima ingin tertawa melihat wajah Indah yang ditekuk seperti itu.
Saat tidak ada Nanda, Indah semena-mena pada Rima, namun saat Nanda pulang, Indah selalu kalah melawan Nanda. Rima tersenyum puas melihat Indah mencebik. Kalau ada karet gelang, bisa diikat bibirnya Indah yang maju lima sentimeter itu.
“Jangan ngaco Nanda! Orang terbiasa jadi pembantu rumah tangga, mana bisa jadi model berbakat sepertimu,” kini bu Heni ikut nimbrung perbincangan mereka, saat sinetron kesukaan beliau sedang lewat iklan.
“Jangan meremehkan Bu! Kalau sampai mbak Rima diterima dan berpenghasilan, ibu yang akan berbangga punya menantu serba bisa.”
Jelas terlihat tatapan meremehkan dari bu Heni. Rima memilih diam tidak mau berkomentar atas pendapat yang dilontarkan oleh ibu mertuanya itu. Toh akan percuma, karena di mata ibu mertuanya, mbak segalanya.
Jam dua siang. Hari ini ada undangan ke rumah Pak Lurah. Kebetulan putra sulung pak Lurah menikah. Semua sudah siap untuk berangkat.
Indah dengan gaun merah menyala, sementara Roni dengan kemeja warna senada dengan istrinya. Roni baru saja bangun dari tidur panjangnya. Suami macam apa dia? Istri gaya selangit, suami tidak mau kerja. Semua jadi tanggungan suami Rima.
Bu Heni duduk di bangku teras bersama Indah dan Roni. Sementara Bambang baru saja keluar kamar dengan kemeja berwarna biru tua senada dengan gaun yang Rima kenakan. Hari ini wajah Rima sedikit berbeda, berkat Nanda adik iparnya. Nanda mendandaninya.
“Sudah siap Dek?" tanya Bambang pada istrinya.
“Sudah Mas, tinggal menunggu Nanda sebentar,” sahut Rima sembari membenarkan kerah baju Bambang yang kurang rapi.
“Cantiknya istri Mas. Tumben dandanannya berbeda?" Puji Bambang saat menyadari ada yang berbeda pada wajah istrinya itu.
“Mbak Rima memang cantik Mas. Mas hanya perlu memberinya modal untuk merawat diri,” sahut Nanda yang baru saja keluar kamar dengan gamis warna ungu muda. Warna yang sedang viral di tahun ini.
“Mas selalu memberinya uang lebih Nanda, tetapi mbakmu selalu menyimpan uang pemberian Mas, katanya untuk modal usaha,” sahut Bambang terus terang.
“Harus Mas. Daripada uangmu habis untuk memenuhi gaya hidup mbak Indah, lebih baik disimpan saja!"
“Husss jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Nanti mbak Indah dengar, 'kan Mas tidak enak.”
“Biar saja, Mas. Aku tidak suka ada benalu dalam rumah tangga kalian. Dia itu harusnya bersyukur punya adik ipar yang baik seperti Mas Bambang dan mbak Rima, bukanya berterima kasih dan berlaku baik, malah memanfaatkan, dasar benalu!"
“Sudah-sudah! Ayo kita keluar! Ibu dan yang lain sudah menunggu,” ucap Rima mengakhiri perdebatan Nanda dan suaminya.
Mereka pun gegas keluar. Bu Heni dan Indah sudah kipas-kipas pakai kipas kecil dengan baterai. Bedak yang dempul, membuat wajah Indah kelihatan lucu bak ondel-ondel. Rima hampir kelepasan tertawa melihat wajah Indah yang putih karena dempul itu.
“Lama banget sih kalian? Sudah tahu panas pakai dandan segala. Mau habis bedak sekilo wajahmu juga tetap saja Rima,” gerutu Indah yang membuat kepala Rima mendidih seketika.
“Hei, berkaca dulu Mbak sebelum menghina! Sudah jelas mbak Rima jauh lebih cantik. Kalau aku sih malu mbak ngomong begitu,” sahut Nanda sembari terkekeh.
“Sudah ayo jalan sekarang! Kamu jangan kurang ajar sama mbak iparmu Nanda! Tidak sopan,” bentak Roni.
“Makanya punya istri di didik Mas! Biar punya adab sama orang. Tidak seenaknya.”
“Kamu!” Roni sudah melayangkan tangannya ke udara hendak menampar adik bungsunya, namun Bambang langsung pasang badan. Roni mengurungkan niatnya dan menarik tangannya kembali.
“Sudah, sudah! Kalau Nanda pulang kok pasti ada saja keributan yang terjadi. Kamu jangan mengadu aneh-aneh pada Nanda Rima! Lihat 'kan mereka jadi ribut?" Lagi dan lagi bu Heni memojokkan Rima. Padahal bu Heni tahu siapa yang memulai keributan ini?
“Nanda dengan cepat masuk ke dalam mobil. Sementara yang lain gegas menyusulnya. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan lagi di antara mereka. Semua diam dengan pikiran masing-masing.
Bambang duduk di depan mengemudikan mobil. Sementara Bu Heni duduk di samping kursi kemudi. Rima dan Nanda duduk di tengah, sedang, Roni dan Indah duduk di kursi belakang.
Melihat wajah Nanda yang murung, Rima memberanikan diri menggenggam tangannya. Nanda langsung menatap Rima dan tersenyum tipis.
“Maafkan Mbak ya, Dek? Gara-gara Mbak, mas Roni memarahimu,” bisik Rima lirih.
“Bukan salah Mbak Rima. Tenang saja mbak! Aku sudah biasa ribut sama mas Roni sejak dulu,” sahut Nanda sembari menyenderkan kepalanya pada lengan kakak iparnya itu. Rima pun menariknya dalam pelukannya.
Mata Nanda berkaca-kaca. Rima tahu hati Nanda tengah terluka. Bu Heni lebih memilih membela menantu kesayangannya, dibanding anaknya sendiri. Bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa adik Nanda yang selalu membuat keributan.
Setelah beberapa menit perjalanan, mereka telah sampai di rumah Bapak Lurah. Terlihat banyak tamu undangan wara-wiri silih berganti mendatangi hajatan yang diadakan Pak Lurah.
Mereka pun turun dari mobil dan segera memasuki tenda hajatan. Setelah bersalaman dengan penerima tamu, mereka langsung menuju ke meja prasmanan. Wajah Indah masih saja cemberut.
“Eh, Indah masih ingat aku tidak? Aku pria yang pernah kamu tolak, karena aku miskin.”
Seorang pria tampan memakai setelan kemeja dengan jas berwarna biru tua menghampiri Indah dengan menggandeng seorang wanita cantik yang tersenyum ramah ke arah mereka. Sementara wajah Indah mendadak pias.
Berniat menjauh dari pria yang menyapanya, Indah justru tidak sengaja jatuh setelah menginjak gaunnya sendiri. Malu tentu saja, kebetulan tamu silih berganti berdatangan ke pesta pernikahan anak pak Lurah itu.
Roni melihat istrinya jadi bahan tertawaan segera membantu istrinya berdiri, dan mengumpat kasar pada tamu undangan yang menertawakan istrinya.
Ibu Heni pun terlihat khawatir pada Indah. Rima pun tidak tahan ingin ikut tertawa, melihat wajah Indah semrawut karena terkena air comberan.
“Katanya berbakat jadi model, Mbak? Jalan biasa saja bisa jatuh, bagaimana mau jalan ala-ala model?" cibir Nanda.
Indah terlihat kesal dan langsung kembali ke mobil, sebelum sempat makan. Sementara yang lainnya melanjutkan acara makan mereka yang tertunda, akibat peristiwa memalukan yang baru saja terjadi.
“Lain kali jangan begitu sama mbak Indah! Bukanya menolong malah ikut menertawakan,” seloroh bu Heni sesaat, setelah kami selesai makan. Rima melihat Nanda hanya tersenyum simpul pada ibunya. Sementara Bambang tampak tidak peduli sama sekali.
“Lagian ke undangan pakai gaun panjangnya tidak karuan. Mau saingan sama pengantin? Jatuhkan jadinya,” sahut Nanda.
“Ya ini semua gara-gara masmu ini. Tadi sudah ibu suruh antar mbak Indah ke pasar buat beli baju yang mau dipakai ke undangan, malah alasan mau rapat. Jadi mbak Indah pakai baju yang dia punya saja. Kalau Bambang tadi jadi mengantarnya beli baju, mungkin hal memalukan ini tidak terjadi,” sambung bu Heni ketus.
“Kok jadi menyalahkan mas Bambang sih, Bu? Ibu itu seharusnya bersyukur, anak ibu ini kerja keras buat menghidupi kita semua. Kalau bukan karena mas Bambang, kita bisa mati kelaparan. Anak ibu dua, tapi yang satu tidak mau bekerja. 'Kan bisa tadi suruh mas Roni yang mengantar istrinya. Kenapa mesti semua suamiku yang disuruh?"
Rima lepas kendali. Ia tidak terima ibu mertuanya selalu menyalahkan suaminya dan membela menantu kesayangannya.
Banyak pasang mata memandang ke arah mereka. Rima tidak peduli. Kalau dibiarkan bu Heni tidak akan tahu letak kesalahannya. Mata itu kini mendelik menatap Rima sengit.