4. Bertemu Mantan kekasih

1340 Words
Pada akhirnya Devan menyeret Eve ke kamar, dengan tangannya yang kuat dan penuh amarah tanpa memperhatikan permohonan istrinya yang lirih. Sesaat kemudian tubuh Eve terhempas ke atas ranjang dengan keras. Perasaan takut langsung menguasai Eve, tubuhnya gemetar hebat sementara air mata mengalir tanpa henti. "Tolong jangan..." bisik Eve dengan suara bergetar. "Aku mohon..." Devan berdiri di tepi ranjang. Menatapnya dengan tatapan penuh kemarahan yang dingin. "Ini salahmu Eve!" bentaknya, "kamu yang memancing amarahku, jangan pernah berpikir kamu bisa melawan kehendak ku!" "Tapi aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan Devan." Devan tersenyum sengit. "kamu memang keterlaluan, bahkan sejak pertama kita bertemu kamu berani memanggilku dengan nama!" bentaknya lagi, Eve benar-benar ketakutan juga frustasi menghadapi suaminya yang penuh amarah. Eve mencoba memberanikan diri, Ia bangun dan duduk di ranjang. "Aku hanya menjalankan tugasku sebagai istrimu, kedua orang tua kita meminta kita untuk saling mencintai. Kamu pikir, hanya kamu yang dirugikan Devan!" "Stop memanggilku nama! Apa kamu tidak dengar hah!" Bentaknya sangat keras, Eve seolah sudah terbiasa meski Ia tak tahu harus bagaimana lagi menghadapi semuanya. "Aku, sebagai perempuan yang menjaga harga diriku sejak dulu untuk suamiku yang benar-benar aku cintai bahkan dengan mudahnya kamu renggut secara kasar." "Aku rasa, aku berhak!" jawabnya lagi membantah. "Kamu pikir, kamu akan aku biarkan setelah syarat pernikahan yang begitu mewah dan mahal itu." tegasnya lagi. Devan, menjajarkan posisinya. Menatap mata Eve dengan dingin dan penuh amarah. "Tidak, aku tidak semudah itu kamu manfaatkan." Eve menggeleng, "Kamu salah tentangku dan keluargaku." Devan tersenyum meremehkan. "Orang seperti mu selalu menjadikan posisi yang kamu punya sebagai pembelaan, sekarang kamu tidak akan bisa mengaturku!" "Apa yang ingin kamu lakukan." tanyanya gemetar, saat tangan Devan mulai menguasai tubuhnya. "Hentikan! Kumohon." bayangan kejadian semalam membuat Eve ketakutan, ia tak ingin Devan memperlakukannya dengan kasar lagi. Ia tak mau itu terjadi. Eve mulai bergerak melakukan banyak penolakan, namun kalah dengan tubuh kuat dan besar yang Devan miliki. "Devan! Bukalah..." teriak Ana dari balik pintu, perempuan itu terus mengetuk pintu berulang kali. "Jika kamu melakukan dengan perempuan itu, aku berjanji tidak akan menemuimu!" Ana benar-benar tak ingin itu semua terjadi, kedatangan Devan yang ia tunggu untuk menemaninya dirumah ini, bukan justru menunggu mereka bermesraan di kamarnya. Tak lama kemudian Devan membuka pintu, wajahnya yang penuh dengan amarah terpancar jelas. Ana tanpa pikir panjang langsung menarik kekasihnya itu. "Sayang, kamu ini bagaimana? Bukankah kedatangan mu kesini untuk bersenang-senang dan melupakan kesedihan yang sedang terjadi?" "Perempuan itu selalu menyebalkan." "Sudahlah, kan ada aku disini. Lebih baik kita bersenang-senang, bagaimana?" Wajah dingin dan penuh amarah itu berubah menjadi datar, garis-garis ketegangan berubah menjadi lembut saat Ana merangkulnya. "Baiklah, maafkan aku membuat harimu kacau." Eve keluar dari kamar, dengan wajah yang sembab. Ana melihatnya dengan tatapan yang sengit. "Kamu lebih baik pulang, tidak perlu menunggu suamimu!" Eve menatap Devan meminta persetujuan. "Ku rasa kamu lebih baik pergi, tapi jangan kembali ke hotel. Atau aku tak segan-segan menyakitimu lagi." Eve hanya bisa mengangguk, meninggalkan sepasang kekasih itu berduaan. Setiap langkah yang ia lalu terasa sakit, betapa sedihnya hidup yang ia jalani. Semua keceriaan dan ketenangan selama ini berubah menjadi rasa traumatik yang mendalam. Setelah melewati pagar rumah, Eve berdiri di trotoar, menoleh ke kanan dan ke kiri. "Kemana aku harus pergi?" gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam di tengah riuh rendah suara jalanan kota. Dia meremas tangannya dengan gelisah, mencoba menemukan kekuatan untuk melangkah. "Aku tak bisa pulang ke keluargaku... mereka akan kecewa jika tahu apa yang terjadi," pikirnya. Namun, tinggal bersama Devan jelas bukan pilihan. "Apalagi kota ini terlalu ramai, tak seperti di desa." Namun kakinya terus berjalan, entah kemana dia harus pergi tapi paling tidak, Ia senang bisa lepas dari Devan dan Ana. Tentu Eve sedih, semua perasaan bercampur menjadi satu. Andai saja Ibu dan bapaknya tak mengatakan bahwa suaminya akan menghormati dan melindungi dirinya mungkin Eve akan menolak dengan halus perjodohan itu. Jika saja Ia tahu, suaminya orang yang arogan, sombong dan dingin Eve lebih baik hidup dalam kemiskinan. Eve menarik napas dalam dan melangkah pelan menuju taman yang sedikit ramai dengan beberapa orang yang tengah beristirahat setelah berolahraga. Suasana di sana terasa lebih hidup dibandingkan perjalanan sepi yang baru saja ia tempuh. Ada tawa dan obrolan ringan, anak-anak kecil berlarian, dan beberapa pasangan duduk santai di bangku taman. “Lebih baik aku kesana,” pikirnya. Mungkin dengan berada di antara orang-orang, ia bisa sedikit melupakan rasa sakit yang menderanya. Setelah menemukan bangku yang kosong di bawah pohon besar, Eve duduk. Dia mengamati sekitar, Eve menyandarkan kepalanya ke bangku. merasakan hembusan angin yang sejuk menyentuh wajahnya. "Rasanya disini lebih tenang, seperti berada di desa. Aku benar-benar merindukan desa." Semenjak perjodohannya dengan Devan, Eve sudah cukup lama pindah ke kota bersama orang tuanya. Tetapi, setelah pernikahan ini, kemungkinan besar orang tuanya akan kembali ke desa. "Eve? Kamu kah itu?" Suara itu membuat Eve terkejut. Ia menoleh ke arah asal suara dan melihat seorang pria yang tampak akrab, berjalan mendekatinya dengan wajah penuh keheranan. Dia memperhatikan sosok pria itu lebih saksama. Matanya yang tajam dan senyumnya yang ramah seketika membangkitkan kenangan dari masa lalu. "Glen?" Eve menyahut, hampir tak percaya bahwa ia bertemu dengan teman lamanya di sini, lebih tepatnya mantan kekasih, di tengah kota yang begitu asing baginya. "Iya, ini aku!" Glen tertawa kecil, menghampiri Eve dan duduk di sampingnya di bangku taman. "Sejak kapan kamu pindah di kota? Dan bagaimana kabar mu?" Eve tersenyum tipis. "Sudah hampir satu bulan ini, dan aku baik-baik saja." jawabnya, meskipun matanya tampak berbeda dari senyumannya. Glen mengamati Eve lebih lama, merasa ada yang tidak beres. "Kamu yakin baik-baik saja? Kamu terlihat sedikit... lelah." "Aku baik-baik saja Glen, kamu apa kabar? Bagaimana pekerjaanmu?" "Ku harap begitu. Aku baik, dan pekerjaan ku juga baik. Hanya saja ada sedikit kendala, tapi aku bisa mengatasinya." "Jangan terlalu lelah, terkadang hidup perlu keseimbangan. Pikirkan juga dirimu yang butuh istirahat." Glen mengangguk, menyadari bahwa Eve mencoba memberikan semangat meskipun dia sendiri sedang menghadapi kesulitan. "Terima kasih, Eve. Aku akan ingat nasihatmu. Kadang aku memang terlalu fokus pada masalah dan lupa untuk menikmati hidup." "Sekali lagi, jika kamu butuh seseorang untuk bicara atau hanya teman untuk bersantai, aku ada di sini," kata Glen dengan tulus. Eve merasa sedikit lega mendengar tawaran itu, merasa ada seseorang yang benar-benar peduli dan bisa diandalkan di tengah masa-masa sulitnya. "Oh ya, apakah aku boleh tahu tempat tinggal mu sekarang?" tanya Glen, Eve menelan ludahnya, bagaimana ia harus menjawab? Ia tidak ingin Glen tahu jika ia sudah menikah, apalagi menikah dengan pria arogan seperti Devan. "Aku.." Saat Eve akan menjawab dimana tempat tinggalnya, tiba-tiba saja dua pria berbadan tinggi besar menariknya untuk mengikuti mereka. Eve dan Glen sama terkejutnya. "Siapa kalian?" tanya Glen penuh amarah dan kebingungan. Eve mencoba memberontak, tetapi genggaman tangan pria-pria itu terlalu kuat. Glen segera berdiri, mendekati mereka dengan wajah tegang. Namun, kedua pria itu tetap diam, tidak merespons pertanyaan Glen. Mereka hanya terus menyeret Eve tanpa memperhatikan keributan yang mereka sebabkan. Glen segera melangkah maju dan mencoba menarik Eve dari mereka, tetapi salah satu pria itu menepis tangan Glen dengan kasar. “Kami hanya menjalankan perintah,” kata pria yang lebih besar dengan suara dingin, akhirnya membuka suara. "Jangan ikut campur." Glen tidak bisa tinggal diam. "Aku tidak akan membiarkan kalian membawa dia pergi begitu saja!" Dengan cepat, dia mencoba menyerang pria itu, tetapi lawannya terlalu kuat, dan Glen terdorong mundur. Eve semakin panik, berusaha meronta dari genggaman kedua pria itu. “Lepaskan aku! Glen, tolong!” suaranya bergetar penuh ketakutan. Orang-orang disana hanya melihat, dan beberapa dari mereka mengabadikannya melalui ponsel. Kemungkinan mereka tak berani melawan dua pria berpakaian hitam itu. Eve menangis, berusaha menggapai Glen dengan tangan yang masih terikat kuat oleh para pria itu. "Glen!" teriaknya, matanya penuh ketakutan. Glen mencoba bangkit dari tanah, tetapi tubuhnya terasa lemah setelah dorongan keras tadi. Ia melihat dengan putus asa saat dua pria itu dengan cepat memasukkan Eve ke dalam mobil hitam yang sudah menunggu. Eve, di dalam mobil, masih meronta dan menangis, tatapan putus asanya terus tertuju pada Glen. "Glen! Tolong aku!" teriak Eve, tetapi suara itu hampir tidak terdengar karena pintu mobil langsung ditutup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD