11. Sandiwara

1031 Words
Pagi itu, Devan terbangun dengan kepala terasa berat dan pandangan yang masih kabur. Saat dia mencoba menyesuaikan diri dengan sekelilingnya, pandangannya tertuju ke samping. Betapa terkejutnya dia saat melihat Eve, istrinya, sedang memeluknya erat di sampingnya. "Apa yang terjadi?" gumam Devan pelan, mencoba mengingat-ingat kejadian semalam. Fragmen dari malam sebelumnya mulai berkelebat di benaknya—malam bersama Ana, pulang dalam keadaan setengah mabuk, dan entah bagaimana, kini ia terbangun dengan Eve di pelukannya. Devan merasa ada yang tidak beres, tapi pikirannya masih terlalu kabur untuk mencerna semuanya dengan jelas. Eve masih tertidur dengan damai di sampingnya, wajahnya terlihat tenang dan lembut. Devan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam momen itu, tetapi dia belum bisa menempatkan perasaannya dengan jelas. Mungkinkah dia telah terlalu dekat dengannya? Devan mencoba menarik diri pelan, berusaha tidak membangunkan Eve, namun pikirannya terus berkecamuk, bertanya-tanya bagaimana dia bisa sampai di situ. Devan segera menarik dirinya dari pikiran yang mulai merasukinya. Dia tidak ingin terjebak dalam perasaan aneh yang muncul di antara mereka. “Hei! Bangunlah,” panggil Devan dengan nada yang lebih keras, bahkan sedikit teriak, sambil menggoyangkan tubuh Eve. Eve terbangun dengan terkejut, matanya langsung terbuka lebar saat mendengar suara Devan yang penuh tekanan. Dia menatap Devan dengan kebingungan, masih belum sepenuhnya sadar dari tidurnya. “Ada apa?” tanya Eve dengan suara serak, merasa sedikit canggung karena mendapati dirinya masih berada begitu dekat dengan suaminya. “Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa kamu tidur di sampingku?” Devan bertanya tajam, seolah mencari jawaban atas sesuatu yang tak bisa dia pahami. Eve, yang masih bingung dengan situasi itu, hanya bisa terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku... aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kamu mabuk tadi malam...” Devan tertawa meremehkan, suaranya penuh keraguan. "Aku tidak percaya, kamu sengaja ingin berduaan denganku kan? Setelah kemarin aku mengacuhkanmu?" Eve menggeleng dengan cepat, merasa tertekan. "Itu tidak benar. Aku hanya ingin mengganti pakaianmu yang sedikit kotor, lalu kamu menarikku dalam pelukan." Devan terdiam sejenak, tampak tidak percaya dengan penjelasan Eve. "Mana mungkin aku memelukmu? Jangan terlalu percaya diri. Jika pun aku memelukmu, itu hanya karena aku tidak sadar!" Eve merasa sedikit terluka oleh nada Devan, namun dia berusaha tetap tenang. "Aku hanya ingin membantu, Devan. Aku tidak bermaksud apa-apa." "Kamu pikir aku percaya?" katanya ketus, Devan berdiri dan mulai merapikan pakaiannya dengan gerakan cepat, masih merasa tidak percaya dengan apa yang terjadi. Eve menyusulnya dengan langkah cepat, "Kamu mau kemana?" tanyanya dengan penuh perhatian. "Bukan urusanmu," jawab Devan dingin, berusaha menghindari pembicaraan lebih lanjut. Eve, yang merasa tekadnya kuat, berkata, "Sebaiknya kamu tunggu di meja makan. Biarkan aku membiarkanmu sarapan." Devan terkejut oleh perhatian Eve, mengerutkan kening. "Tidak perlu, biarkan para pelayan yang membuatkan itu." Eve menggeleng dan mencegah Devan untuk melangkah lebih jauh. "Tidak, tidak. Ini tugasku, biarkan aku membiarkanmu sarapan." Devan berkacak pinggang, marah. "Pendengaran mu bermasalah? Sudah ku katakan, tidak usah!" Eve menatap Devan dengan tatapan tegas. "Aku hanya ingin melakukan ini, jadi tolong biarkan aku." “Terserah kamu saja, tapi jangan memasang wajah sedih jika aku tidak memakannya!” Devan mengatakan dengan nada yang tetap kaku, meskipun ada sedikit keleluasaan dalam suaranya. Eve tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, tunggu aku di meja makan." Katanya dengan bersemangat dan meninggalkan Devan mematung di kamar . Senyuman dan semangat Eve, yang tampak begitu tulus, secara tiba-tiba mengingatkan Devan pada seseorang dari masa lalunya. Mata Devan mulai berkaca-kaca tanpa dia sadari, dan perasaan nostalgia mulai menghampirinya. “Mengapa aku jadi memikirkan dia?” umpat Devan pada dirinya sendiri, merasa frustasi dengan dirinya sendiri karena emosinya yang tiba-tiba muncul. Dengan cepat, dia bergegas meninggalkan kamar, berusaha mengalihkan pikirannya dari kenangan yang kembali menghantui. Devan menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Di bawah, beberapa pelayan sudah menanti, siap untuk menyiapkan segala keperluan Tuan rumah. Mereka serentak menyapa, “Selamat pagi, Tuan.” Namun, Devan hanya membalas dengan diam. Devan beralih ke Melani dan memberi perintah, "Melani, tolong awasi Eve. Dia sedang membuatkan ku sarapan, aku takut dia akan meracuniku." Melani mengangguk dengan cepat dan segera bergegas ke dapur untuk memantau situasi. Devan melanjutkan perjalanannya menuju meja makan, mencoba mengusir pikiran yang masih berkecamuk di benaknya tentang masa lalu dan perubahan yang baru saja terjadi dalam hidupnya. Tiba-tiba ponsel Devan berdering di atas meja. Devan menerima telepon dari ibunya, Raisa, dengan cepat. “Hallo, sayang.” “Ya, ada apa, Ma?” “Mama ingin ke rumahmu,” jawab Raisa, yang membuat Devan terkejut. Meskipun senang ibunya akan datang, Devan merasa malas harus berpura-pura romantis . Tapi sungguh, Dia tak ingin menyakiti perasaan ibunya untuk kedua kalinya. “Hari ini, Ma?” tanya Devan, memastikan. “Tentu, aku rindu dengan anak perempuan ku,” jawab Raisa dengan penuh kasih. Devan mencoba menenangkan diri dan tertawa kecil. “Baiklah, Ma. Biarkan aku meminta pelayan menyiapkan hidangan lezat untuk Mama.” “Tidak perlu, sayang. Mama akan memasak bersama istrimu,” balas Raisa dengan antusias. Devan merasa tertekan mendengar itu. “Sepertinya Mama terlambat, Eve sudah membuatkan sarapan untukku.” Raisa meledak kegirangan di seberang telepon. “Wah, anak menantuku perhatian sekali. Mama tidak sabar ingin mencicipinya.” “Baiklah, Ma. Kami tunggu Mama ya. Hati-hati di jalan,” kata Devan, sebelum menutup telepon dan mulai mempersiapkan kedatangan ibunya dengan campur aduk perasaan. "Tolong panggilkan Eve." Perintah Devan kepada Dita pelayan muda. Dita mengangguk dan tak selang beberapa menit Eve mendekatinya. Dita, pelayan muda, memanggil Eve seperti yang diperintahkan Devan. Eve mendekat dengan tatapan penasaran, "Apa kamu memanggilku?" Devan hanya bergumam, "Mama akan ke sini." Eve terkejut. "Kamu harus bersandiwara peduli padaku. Jangan terlihat kaget kalau aku sedikit manis padamu, dan jangan terlalu percaya diri. Semua itu aku lakukan karena aku tidak ingin membuat Mama kecewa." Eve menggigit bibirnya dan mengangguk. “Baiklah, aku akan melakukannya.” Devan mengamatinya dengan kritis. “Sekarang, tunggu apa lagi? Persiapkan dirimu. Apa kamu yakin ingin berpenampilan kumuh begini?” Eve segera menuju kamar, berusaha memperbaiki penampilannya untuk memastikan bahwa dia tampak pantas di depan ibu Devan. Sementara itu, Devan merapikan diri siap menunggu di meja makan, serta memikirkan hal-hal yang perlu di lakukan tanpa terlihat sedang bersandiwara. Meski dalam hati kecilnya, Devan merasa bersalah karena telah membohongi kedua orang tuanya, bahwa ia belum benar-benar menerima pernikahan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD