BISA DIBACA JUGA DI
KARYAKARSA: KOMOREBI
INNOVEL: BININYACHRISEVANS
Mahesa duduk termenung menatap kosong pada helm baru di tangannya. Helm yang dibelinya khusus untuk Indira, karena Mahesa memaksa naik motor menuju rumah Indira untuk bertemu dengan orang tuanya. Bisa saja Mahesa mengikuti saran Indira, menyewa sebuah mobil agar terlihat sekelas dengan Indira. Namun, Mahesa tidak mau. Jika Mahesa tidak datang melamar sebagai dirinya sendiri, maka ke depannya akan semakin sulit dan mahal bagi Mahesa untuk menutupi kebohongannya sebagai suami Indira. Setidaknya, jika orang tua Indira tahu bahwa calon suami anaknya ini hanya bisa membonceng putrinya yang seorang selebritis dengan motor warisan bapak, Mahesa tidak akan berkecil hati jika tiba-tiba suatu waktu papa dan mama Indira mendapati putrinya sedang merayakan ulang tahun pernikahan di warung lamongan pinggir jalan.
“Hei, kenapa bengong?”
Mahesa mendongak dan mendapati Indira sudah siap berangkat, kedua tangannya menengadah meminta helm.
“Maaf ya, Mbak. Saya punyanya cuma motor.”
“Aduh, lo jangan manggil gue pake mbak dong,” protes Indira, sambil memasang pengait helm warna merah muda dengan gambar kuda poni di bagian belakangnya. “Awas kalau nanti pas di rumah malah keceplosan.”
“Maaf, Mbak, eh Indira.”
Indira mengangguk kecil, lalu segera naik ke motor Mahesa, begitu dipersilakan oleh si empunya. Mahesa menarik gas pelan, bahkan lajunya tidak lebih dari 30 km/jam. Mahesa takut, boneka porselen yang sekarang sedang memeluk pinggangnya itu ketakutan.
“Motor lo enggak bisa cepetan dikit?” teriak Indira tepat di samping telinga kiri Mahesa yang tertutup helm.
“Maaf, Indira. Motor ini kemarin baru selesai diservis, karena abis kecelakaan sama bapak. Masih dalam tahap penyembuhan.”
“Tahap penyembuhan? Emang lo pikir ini motor abis operasi?” sungut Indira.
Mahesa melirik sekilas wajah kesal Indira dari pantulan spion, tidak pernah sekalipun dia berani bermimpi akan membonceng seorang selebritis—meskipun awalnya dia tidak tahu—menuju rumahnya, untuk melamarnya pula!
“Apa lihat-lihat? Ntar naksir, lho!”
Mahesa buru-buru mengalihkan fokusnya pada jalanan di hadapannya.
“Inget ya, walaupun enggak ada hitam di atas putih, kalau lo berani macem-macem, gue tabok lo!”
Setengah jam kemudian, motor Mahesa sudah berhenti di depan pagar sebuah rumah yang tampak asri. Pekarangannya luas, di sana tumbuh banyak pohon—kebanyakan buah-buahan—lalu di sisi kirinya juga ada kolam ikan dengan air terjun mini yang suara gemericiknya menambah asri suasana.
Mahesa melangkah mengikut Indira yang mempersilakannya menunggu di ruang tamu. Mahesa memperhatikan keadaan rumah Indira. Sangat luas dengan perabotan yang Mahesa yakini harganya lebih mahal daripada rumah bapak beserta isinya, ditambah dengan kebun teh bapak yang tidak terlalu luas.
Ragu kemudian menyergap batinnya bersamaan dengan rasa bersalah yang teramat saat mengingat bapak. Kemarin Mahesa sudah memberitahu bapak tentang Indira dan niatnya untuk melamar anak gadis orang. Reaksi bapak? Tentu saja kaget, ternyata bapak lebih gaul daripada Mahesa. Bapak tahu siapa Indira, tentu saja karena selama di rumah sakit, bapak sering menonton teve. Dari sanalah bapak tahu tentang Indira.
“Bapak ngikut kamu aja. Daripada zina, kalau memang kalian sudah kenal lama dan pengen banget nikah, bapak merestuinya. Enggak nyangka, bapak bakal punya mantu artis.”
Itu yang diucapkan bapak sebagai penutupnya, setelah selama hampir dua jam menginterogasi Mahesa, bahkan curiga bahwa dirinya sudah lebih dulu menghamili Indira. Sedih hati Mahesa mengingat semua yang diucapkannya pada bapak kemarin adalah kebohongan.
Mahesa segera mengusir segala pikiran buruknya yang membuatnya kehilangan fokus, saat Indira sudah kembali ke ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Seorang pria yang umurnya sedikit lebih tua dari bapak, berkumis, dan uban yang hampir memenuhi kepalanya tersenyum pada Mahesa.
“Apa kabar, Mahesa?”
“Baik, Om.”
Mahesa membalas senyuman papa dan mama Indira yang sudah duduk di hadapannya. Mereka terlihat ramah dan tidak heran melihat kedatangan Mahesa. Ini berarti, Indira sudah lebih dulu menceritakan tentang maksud kedatangannya kemari.
“Mahesa lagi sibuk apa sekarang?” tanya Mama Indira, sambil membantu seorang pembantu untuk meletakkan gelas di depan papa.
“Kerja, Tante. Sebenarnya kuliah sambil kerja, hanya saja saya cuti untuk semester ini.”
“Kamu masih kuliah? Belum lulus?”
Mahesa menggeleng. “Sedang skripsi, Tante.”
Sedetik kemudian setelah Mahesa selesai menjawab, dia bisa melihat sekejap tatapan tidak percaya dari mama. Lalu menoleh pada putrinya yang tersenyum.
“Mahesa ini lagi sibuk ngembangin start-up company, Ma, bareng temen-temennya. Makanya kuliahnya keteteran.”
Mahesa mendesah pelan. Indira melanggar satu perjanjian tidak tertulis mereka. Tidak ada kebohongan pada orang tua mereka, kecuali tentang pernikahan mereka.
“Di keluarga kami, menyelesaikan pendidikan itu penting.”
Mahesa mengangguk. “Tahun ini keluarga saya mengalami banyak musibah, yang mengharuskan saya untuk cuti sementara, Tante. Tapi tahun depan, kalau tidak ada halangan, saya akan menyelesaikannya.”
Mama Indira mengangguk mengerti, lalu mempersilakan Mahesa untuk menyantap kudapan dan teh hangat yang sudah tersaji.
Perkenalan Mahesa dan kedua orang tua Indira berjalan dengan baik. Meski di awal mama sempat ragu, tapi setelah melihat papa begitu senang mendapat lawan main catur yang bisa mengimbanginya, mama berubah pikiran.
“Dira, Mama tahu bukan Mahesa yang seharusnya mendampingi kamu. Ada apa ini?” tanya mama saat beliau bersama Indira menyiapkan makan siang dibantu oleh Bik Harsi.
Indira menghela napas, wajahnya menunduk menatap wortel yang sedang dikupasnya. “Enggak ada. Aku sama dia udah selesai, Ma. Lalu Mahesa datang menawarkan hatinya. Mama enggak yakin sama Mahesa?”
Mama menggeleng. “Mahesa anak yang baik. Meski belum selesai kuliahnya, tapi dia berhasil menyakinkan Mama, kalau dia enggak patah semangat di tengah musibahnya. Dia pemuda yang baik.”
Indira tersenyum.
“Bodohnya dia, mau sama kamu yang lebih tua,” kekeh Mama. “Tuh, lihat aja, ngupas wortel yang tadinya gemuk malahan tinggal selidi.”
Indira cemberut mendengar cibiran mamanya dan Bik Harsi yang tergelak.
Selepas makan siang, Mahesa kembali melaju mengantarkan Indira kembali ke apartemennya.
“Kamu kenapa bohong sama mama?” tanya Mahesa saat mereka sampai di lobi apartemen.
“Bohong gimana?” bingung Indira sambil masih berusaha melepaskan kaitan helmnya.
“Bilang kalau aku lagi bangun start-up company sama temen-temen. Kamu tahu sendiri kalau aku—”
“Ya gue terpaksa. Mama sama papa enggak akan setuju kita nikah kalau tahu lo cuti kuliah, kerja di kelab lagi. Ih! Susah banget sih ngelepasinnya!”
Mahesa menghela napas. Dalam hati menyetujui ucapan Indira. Di dunia ini, orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Terlebih lagi, Indira yang anak perempuan tunggal dan sudah terbiasa hidup enak. Mana mungkin orang tuanya akan menyerahkan Indira begitu saja pada Mahesa kalau tahu dirinya bekerja di kelab.
“Sini,” ujar Mahesa sembari mengulurkan tangannya untuk membantu Indira melepas helmnya. Lalu sempat merapikan sedikit rambut Indira yang berantakan dan menyerahkan helmnya pada Indira. “Bawa aja.”
“Ya udah, ati-ati di jalan.”
Mahesa mengangguk, lalu mulai menghidupkan kembali mesin motornya.
“Besok jam berapa kamu jemput?”
“Kayak tadi, dan tolong besok kalau ketemu bapak jangan bohong pada beliau.”
Indira tergelak keras sekali mendengar permintaan Mahesa. “Lo ini lucu banget! Kita pura-pura pacaran, terus nikah, itu aja udah bohongin bapak lo.”
“Setidaknya jangan nambah kebohongan. Aku enggak mau saat ini berakhir nanti, bapak kecewa terlalu dalam sama aku.”
“Enggak. Bapak lo enggak akan kecewa, beliau pasti ngerti, lo ngelakuin ini semua juga demi kesehatan beliau, kan?”
“Ya udah, aku balik dulu.”
Mahesa mengangguk sebelum akhirnya menarik tuas gas di tangan kanannya dan mulai melaju menjauh meninggalkan Indira yang tersenyum lega.
***