Keesokan harinya, setelah menjemput mama bersama Indira. Mahesa melajukan mobil Indira menuju sebuah butik. Seperti yang Indira katakan semalam, hari ini mereka akan melakukan fitting baju pengantin.
Sesampainya di butik, mereka bertiga disambut oleh seorang pegawai wanita yang mempersilakan Indira menuju lantai dua.
“Kami sangat berterima kasih pada Mbak Indira, karena sudah memercayakan gaun pengantinnya pada butik kami,” ujar pegawai wanita yang masih berjalan beriringan dengan Indira. “Silakan tunggu di sini sambil menikmati camilannya. Saya akan membawakan baju pengantinnya.”
“Ibu Lia lagi enggak di tempat?”
“Ibu Lia sedang menghadiri wedding fair di Bangkok, Mbak.”
“Hebat ya Lia sekarang. Udah cantik, sukses, baik pula. Eh, Mama denger dari mamanya Lia, katanya dia juga mau nikah lho.”
“Kayaknya sih begitu.”
“Calonnya masih sama yang dulu?” tanya Mama lagi.
“Kayaknya sih iya. Setahu aku, Lia mantannya banyak. Tapi katanya yang membekas di hati cuma ada dua orang!”
“Wah, hebat juga dong berarti dua orang itu, bisa nakhlukin hati ratu kutub utara.”
“Mama, apaan sih? Kok ngomongnya gitu.”
“O iya, Mama lupa, kalau punya piaraan satu penguin kutub selatan yang juga susah banget ditakhlukin hatinya.”
Indira mencebik. “Siapa bilang susah? Buktinya sekarang aku udah mau nikah, kan?”
“Bener juga. Semoga aja Mahesa sabar ngadepin kamu, jadinya enggak perlu dibalikin ke papa sama mama,” kekeh Mama. “Mama harap, kamu enggak nyakitin Mahesa, Dir.”
Indira mengerutkan keningnya mendengar ucapan Mama. “Yang anaknya Mama, aku atau Mahesa? Kok lebih khawatir sama Mahesa? Tuh! Orangnya aja cuek, malah sibuk lihat-lihat pemandangan di luar.”
“Ya kamu. Cuma, Mama kasihan aja kalau Mahesa kamu jadiin pelarian dari Adrian.”
“Ma, enggak seperti itu ceritanya. Kita udah bahas ini ratusan kali. Mahesa yang—”
“Datang ke kamu. Ya, Mama percaya. Hanya saja, entah kenapa rasa percaya Mama kayak gamang gitu, Dir. Masih ada sesuatu yang mengganjal.”
“Udah! Pokoknya Mama tenang aja. Semuanya akan baik-baik saja. Please, jangan khawatir tentang aku dan Mahesa. Kami baik-baik aja,” mohon Indira, berusaha menyakinkan mamanya bahwa semua adalah nyata! Gawat kalau insting mama sudah bermain, bisa-bisa semuanya terbongkar sebelum pernikahan yang akan diadakan kurang dari seminggu lagi!
“Silakan Mbak Indira.” Pegawai butik mempersilakan Indira untuk masuk ke ruang ganti.
“Aku nyoba gaunku dulu.”
Mama mengangguk.
“Jangan macem-macem sama Mahesa.”
“Enggak akan,” yakin Mama.
Namun, itu semua tinggal omong kosong belaka, karena saat Indira menghilang di balik pintu kamar ganti, mama langsung memanggil Mahesa dan memintanya duduk.
“Kamu beneran cinta sama Dira?”
Mahesa meneguk ludahnya. Ditodong pertanyaan seperti itu, oleh calon mertua, membuat Mahesa seketika menjadi orang bodoh. Lidahnya kelu dan tangannya mulai berkeringat.
“Ke … kenapa Mama nanyanya begitu?”
“Mama sebenarnya enggak habis pikir sama kamu. Kenapa mau gantiin posisi Adrian?”
“Indira bukannya sudah pernah jelasin, Ma?”
“Udah. Dia bilang kalau kalian udah kenal lama, kamu diem-diem suka sama dia. Terus pas Adrian pergi, Dira putus asa dan curhat ke kamu. Enggak berapa lama, kamu nembak dia.”
Mahesa hanya mengangguk. Ya, memang seperti itu skenario pertemuan yang Mahesa dan Indira setujui. Teman lama yang memendam rasa cinta, lalu bersedia menjadi calon suami pengganti yang kemudian hari akan mengakhiri pernikahan dengan cerita perselingkuhan. Cukup masuk akal, kan?
Mama menghela napas seraya menatap sedih Mahesa yang juga balas menatapnya, tapi sorot matanya seolah penuh ketakutan.
“Kalau Dira cuma anggap kamu sebagai ban serep, apa kamu beneran bakal bahagia? Apa Dira juga bakal bahagia? Apa pernikahan kalian bakal bertahan? Sampai kapan kamu mau berpura-pura bahwa Dira benar-benar cinta sama kamu, Sa?”
Kenapa jadinya malah seperti ini? Kenapa semua orang seakan menelanjangi hubungan Mahesa dan Indira. Seolah kebohongan dan sandiwara yang disusun mereka berdua mudah sekali terbaca oleh orang lain? Apa memang seburuk itu skenario yang mereka susun? Atau akting mereka yang buruk? Kemarin lusa papa, semalam bapak, dan sekarang mama? Ada apa dengan para orang tua ini?
“Mama tenang saja. Aku dan Indira, kami akan baik-baik saja,” yakin Mahesa. Berharap kalimat sederhana itu, dapat membuat calon mama mertuanya tidak lagi meragukan hubungannya dengan Indira.
Sungguh! Jika sekali lagi ada orang yang meragukan hubungan Mahesa dan Indira, Mahesa mungkin akan langsung meledak dan membuka semua omong kosong sandiwaranya.
“Mas Mahesa, silakan ikut saya,” ajak pegawai butik seraya mempersilakan Mahesa masuk ke kamar ganti di sebelah kamar Indira.
Mahesa menurut, kemudian dibantu oleh seorang pegawai butik, Mahesa mengenakan tuksedo hitam dengan bahan premium yang terlihat berkilau, berikut dengan celananya. Sungguh terasa begitu lembut saat kain itu menyentuh permukaan kulit Mahesa.
“Bagaimana? Nyaman?”
Mahesa melihat pantulan dirinya di cermin. Pakaian ini sangat pas di tubuhnya. Membuat Mahesa terlihat seperti pengusaha kaya yang bisa membuat semua wanita takhluk padanya. Tapi tunggu dulu! Bagaimana bisa pas? Mahesa tidak pernah mengukur tubuhnya di butik mahal ini. Apakah mungkin, tubuhnya dan Adrian seukuran?
“Mari.”
Mahesa keluar dari kamar gantinya, bertepatan dengan Indira yang juga keluar dari kamar gantinya. Tatapan mereka bertemu untuk sesaat, lalu keduanya tersenyum.
“Cocok juga lo pake jas.”
“Ehm, apa ini bajunya Adrian?”
“Iya. Ternyata pas banget di lo. Berarti kalian seukuran.”
“Dira!” sergah Mama. “Kamu enggak pesen yang baru?”
“Itu—”
“Enggak apa-apa, Tante. Lagian bajunya Adrian pas kok di badan saya, dan sepertinya enggak cukup waktu buat ganti yang baru,” potong Mahesa berusaha meredam kemarahan mama.
“Iya, Ma. Apalagi Lia lagi enggak ada di sini, kan. Kelamaan kalau mau re-design.”
Mama menggeleng pelan, kepalanya terlalu pening memikirkan cara berpikir putrinya yang mengabaikan perasaan Mahesa. Dan Mahesa juga, kenapa pria itu terlihat tidak peduli saat memakai jas yang semula milik Adrian? Apa egonya sedikitpun tidak merasa terluka? Sungguh pasangan yang aneh!
“Tuh, Mahesa aja bilang enggak apa-apa, kok.”
Indira melangkah menuju cermin yang ada di dekat mereka. Beberapa saat memperhatikan gaun pengantin model A-line, yang membingkai tubuhnya dengan indah.
“Ya! Gue enggak ada masalah sama gaun gue. Lo gimana?”
Mahesa tidak langsung menjawab, tapi kakinya melangkah mendekat kepada Indira. Dia berhenti tepat di samping Indira, lalu melihat bayangan dirinya dan Indira yang ada di dalam cermin. Sungguh menakjubkan! Mahesa bahkan tidak berani bermimpi seperti ini sebelumnya. Berdiri di samping seorang Indira dengan memakai baju pengantin, dan kurang dari seminggu akan menjadi suaminya.
“Aku juga udah pas.”
“Eh, bentar.” Indira meraih pundak Mahesa dan memutar tubuh cowok itu menghadapnya. “Hem, kayaknya bagian bahunya agak kekecilan, ya? Bahu lo lebih lebar dari Adrian.”
“Enggak, kok. Aku nyaman pake ini.”
“Bener?” ragu Indira.
“Beneran.”
Setelah selesai melakukan fitting baju, mereka tidak langsung pulang. Siang ini, mama masih mau ditemani anak dan calon menantunya pergi ke vendor katering, dekor, dan gedung. Beliau ingin memastikan tidak ada kesalahan di hari pernikahan putri tunggalnya ini. Meskipun Indira sudah menolak sejak awal, karena dia sudah memercayakan semuanya ke wedding organizer, tapi bisa apa dia kalau mama sudah bersabda?
“Kamu sama mama tunggu aja di depan. Aku ambil mobil di parkiran dulu.”
Indira mengangguk, lalu bersama mama berjalan menuju pintu keluar. Tepat ketika Indira menapakkan kaki di luar butik—entah darimana datangnya—segerombolan orang langsung menghampirinya. Namun, ini bukan sembarang orang! Mereka adalah wartawan gosip yang haus akan berita tentang Indira!
“Mbak Indira, lagi fitting buat nikahan, ya?”
“Mbak, di dalam ada pasangannya?”
“Mbak? Kok ajak mamanya? Calon suaminya emang enggak diajak?”
Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang membuat—tidak hanya Indira tapi juga—mama jengah.
“Duh, maaf ya Mbak, Mas. Anak saya lagi enggak buka sesi tanya jawab. Kita mau pulang, nih!” seru Mama sambil mendorong kerumunan di hadapannya.
“Maaf, ya. Gue enggak bisa jawab sekarang. Nanti, juga kalau udah sah, kalian bakal tahu kok siapa suami gue. Sekarang gue sama nyokap mau balik, permisi ya,” jawab Indira mencoba sopan dan diplomatis.
“Kenapa nikahnya diem-diem, Mbak? Apa jangan-jangan gosip yang bilang kalau Mbak Dira hamil di luar nikah itu bener?”
“Heh! Mulutnya! Tolong jangan sembarangan ya! Gosip enggak bener itu!” gusar Mama dengan tangan terulur hendak menampar mulut si Penanya, tapi langsung ditahan oleh Indira.
Gerombolan wartawan itu masih belum puas, bahkan semakin mendesak Indira dan mama sampai mentok ke tembok. Indira berusaha keras menyeruak jalan di antara mereka, tapi tenaganya kalah besar! Peristiwa saling dorong akhirnya tidak dapat terelakan, hingga membuat mama terjerembab.
“Mama!” pekik Indira, lalu berusaha membantu mama berdiri, tapi dorongan dari berbagai arah malah membuat Indira terjatuh. “Aw!”
Pasrah! Indira tidak tahu harus bagaimana lagi! Kenapa orang-orang ini seperti predator yang tidak pernah berhenti sampai mangsanya menyerah? Berulang kali dia berteriak agar orang-orang ini menyingkir, tapi hasilnya nihil, hingga …
“Minggir kalian semua!” teriak Mahesa dan tanpa peduli caci maki para wartawan di sekitarnya, Mahesa terus menyingkirkan satu per satu orang-orang bar-bar di hadapannya, hingga tubuh meringkuk Indira yang sedang melindungi mama ada di hadapannya.
Mahesa segera menarik tubuh Indira dan mama. Mendekap mereka berdua, lalu dengan menjadikan tubuhnya tameng, Mahesa membelah kerumunan di hadapannya, tanpa sedetikpun melepaskan genggaman tangannya di tangan Indira dan mama.
Setelah mama dan Indira aman di dalam mobil, Mahesa yang hendak melangkah ke kursi supir dihadang oleh seorang penanya yang penasaran tentang siapa dirinya dan hubungannya dengan Indira. Dengan tegas Mahesa menjawab, “Saya calon suaminya! Kalau sekali lagi saya lihat kalian seperti ini pada Indira dan keluarganya, saya enggak akan segan buat laporin kalian ke polisi!”
***