13. GOSIP HANGAT

2402 Words
“Selamat pagi.” Suara nyaring dan melengking meramaikan suasana pagi di kediaman keluarga Suwandi. Gadis berambut panjang model baru dengan penampilan sudah rapi kini baru saja bergabung ke meja makan untuk sarapan bersama kedua orang tua dan kakak laki-lakinya. Wajahnya yang semringah, menarik perhatian semua anggota keluarga. Satu persatu orang yang ada di sana mendapat ciuman hangat dari Aluna. “Kok kamu bahagia sekali? Semalam mimpi apa?” Tanya Suwandi, ayah Aluna. Aluna membalas dengan senyumnya yang lebar. “Mimpi dapet uang jajan dari Mas Azel,” jawabnya sambil mengedip nakal kepada Azel. Pria yang disebut namanya menatap dengan tatapan sinis. “Baru juga ketemu sudah mau malak.” “Siapa yang mau malak sih, Mas? Dipalak adik sendiri juga nggak bakaln bikin rekening Mas Azel kosong.” “Sudah-sudah, jangan berdebat. Kalian berdua selalu saja begini kalau berdekatan, kalau jauh malah saling merindukan.” Ambar menimpali. “Mas Azel, Ma.” “Kamu sendiri yang duluan.” Aluna mendecakkan lidah menatap tajam ke arah kakaknya. “Mas Azel nggak mau ngalah. Sebagai kakak yang baik harusnya sabar dan nggak boleh ngegas kalau berdebat sama adik tercinta dan cantik ini.” “Ogah, males.” Sahut Azel dengan wajahnya yang jutek. “Pa, Mas Azel liat deh.” “Aluna sudah. Kamu belum jawab pertanyaan Papa.” Nyali Aluna ciut ketika mendengar suara ayahnya. “Maaf Pa, tapi aku nggak ada apa-apa kok. Ya pagi ini perasaannya seneng aja, nggak tau karna apa.” “Oh begitu, baguslah kalau pagi ini aura positif menyapa kamu, kami juga jadi ikutan senang.” “Mama heran, padahal kamu lagi patah hati tapi kenapa tetep ceria?” Tanya Ambar heran. “Dulu Mama kalau berantem dikit sama Papa, langsung sedih berhari-hari. Kenapa kamu beda, ya?” “Ma, yang mutusan Ray kan aku, masa aku harus nangis dan bersedih terus-terusan, sih?” ucap Aluna. “Kalau putus ya sudah, mungkin belum jodoh. Ya aku buka lembaran baru dengan orang lain lagi. Aku cantik, baik, dan aku yakin akan ada cowok yang terbaik yang mau memperjuangkan aku.” “Kata Mama, beberapa hari yang lalu, kamu pulang diantar sama cowok. Siapa orang itu?” Tanya Azel tiba-tiba. Aluna melirik Ambar dengan singkat. Padahal ia sudah berpesan kepada sang ibu agar menjaga rahasia soal Angkasa karena ia sudah bisa menebak jika Azel tahu pasti kakaknya akan sangat penasaran. “Mama ih, ingkar janji.” Gerutu Aluna sambil melirik sang ibu. Bukannya merasa bersalah, Ambar malah tersenyum geli melihat wajah cemberut putrinya. “Maaf sayang, Mas kamu selalu bisa mengorek informasi soal kamu. Ya akhirnya keceplosan deh.” “Jadi, dia siapa?” Azel kembali bertanya penuh dengan penekanan. Dengan pandangan ragu, Aluna mencoba menatap kedua mata pria di hadapannya. “Itu loh Mas, dosenku yang ketemu di restoran waktu itu. Ingat kan, namanya Angkasa.” “Kenapa dia baik sama kamu?” “Ya Mas pasti tau alasannya kenapa Mister Angkasa nganter aku pulang. Mama pasti sudah cerita dengan lengkap.” “Aku tanya kenapa bisa kebetulan dia yang antar kamu pulang?” “Karna Mister Angkasa liat aku nggak nyaman sama Ray jadi dia coba bantu aku pergi dari hadapan dia. Ray maksa terus dan kebetulan Mister Angkasa mau ke mobilnya yang parkir tepat di sebelah mobilku.” Jelas Aluna. Padahal ayahnya sendiri tidak sedetail itu jika bertanya. Azel memang berbeda, teliti dan begitu posesif. “Lain kali jangan sembarangan pergi sama orang terutama sama cowok.” Ucap Azel tegas. “Apalagi dengan dosen, yang ada kamu bisa digosipin sama temen-temen yang lain.” Aluna mengembuskan napas pelan. “Iya Mas, aku pasti inget.” “Azel, kamu rasa khawatir kamu terlalu berlebihan, kasian Aluna merasa terkekang.” ucap Suwandi. “Aku cuma mau ngingetin Aluna, Pa. Keras demi kebaikan dia, apa salahnya. Kalau bukan aku sabagai kakak yang jaga, siapa lagi?” Ujar Azel sambil meneguk kopi buatan Ambar. “Iya Papa tau, dan Papa bangga sama kamu. Asalkan tidak sampai membuat Aluna tertekan, Papa dan Mama akan berusaha memahami sikap perhatian kamu terhadap Aluna.” “Aku baik-baik saja kok, Pa.” ucap Aluna agar perdebatan ayah serta kakaknya berakhir. “Sebaiknya sarapannya dihabiskan dulu. Pahi-pagi jangan berdebat hal yang berat nanti suasana hatinya jadi tidak bagus,” Ambar menimpali. *** “Angkasa, bagaimana perkembangan hubungan kamu dengan Iris?” Tanya Andani ketika menemani putranya sarapan sedangkan suaminya sedang ada pertemuan di luar kota. “Hubungan apa maksud Mama?” Andani meletakkan teh hangat untuk Angkasa dan seporsi roti isi selai cokelat di atas piring. “Ya masa sejak makan malam, kamu tidak ada perkembangan lagi? Jangan terlalu pasif dong, Angkasa.” “Makasih Ma,” Angkasa mengucapkan itu untuk sarapan yang dibuatkan oleh sang ibu. “Ma, aku dan Iris baru bertemu sekali. Rasanya aneh kalau aku harus kirim pesan atau telpon dia. Apalagi aku ajak ketemu, aku belum terbiasa dengan hal itu.” “Ya karna baru bertemu sekali makanya kamu harus tetap jaga komunikasi. Setelah komunikasi lancar, kalian bisa ketemu lagi.” Jelas Andani semangat. “Ingat Angkasa, kamu laki-laki jadi harus bergerak lebih dulu. Jangan kecewakan kami sebagai orang tua. Cukup sekali kamu berhubungan dengan perempuan yang tidak mau diajak serius, jangan buang-buang waktu lagi. Iris berbeda dan dia sudah jelas asal usulnya. Sepertinya dia juga tertarik sama kamu jadi asal kamu mau usaha sedikit, rencana perjodohan ini pasti akan berhasil.” Angkasa menghela napas panjang, berusaha tetap tenang ditengah gempuran nasihat dari ibunya. “Ma, apa yang aku jalani saat ini cukup sulit. Banyak penyesuaian yang harus lakukan, Ma. Tolong beri aku waktu untuk menyembuhkan luka dan memahami situasi yang masih asing buatku. Kalau aku sudah siap, tanpa Mama minta aku pasti akan mengajak Iris untuk bertemu lagi.” “Apa kamu masih mengharapkan wanita itu? Kamu belum bisa melupakan dia?” Angkasa diam, menatap Andani sebelum menjawab. “Hubungan kami tidak sebentar Ma, aku butuh waktu. Tapi Mama tidak usah khawatir, karna kami sudah tidak punya harapan.” “Ya udah, Mama hanya ingin mengingatkan kamu, sayang. Semoga kamu tidak salah paham dan bisa mengerti bahwa Papa dan Mama ingin yang terbaik untuk kamu. Kami hanya menggantungkan harapan terhadap anak kami satu-satunya.” “Terima kasih karna Mama khawatir tapi kasih aku waktu.” Balas Angkasa. Mobil yang dikemudikan oleh Aluna baru saja sampai di parkiran dekat perpustakaan. Bersama dengan Lia, rencananya mereka ingin mencari referensi untuk melengkapi data skripsi mereka. Namun wajah Aluna sedikit malas karena ia tahu kondisi perpustakaan sangat ramai. “Tuh parkiran penuh, Li. Di dalem pasti juga penuh.” “Perpus penuh tapi pasti nggak akan ribut, Aluna.” Sahut Lia sambil melepaskan sabuk pengaman. Aluna mendecakkan lidahnya. “Jadi curiga kamu ngebet ke perpus pasti karna seseorang, ya?” “Enak aja, ya nggaklah.” Sembur Lia. “Udah deh, ayo turun.” Dengan gerakan malas, akhirnya Aluna menuruti perintah dari temannya. Baru saja menginjakkan kaki di perpustakaan, Aluna sudah mendapat pandangan curiga dan sinis dari beberapa orang. Awalnya gadis itu tidak sadar, tapi ternyata Lia juga merasakan hal yang sama. “Emang kita salah kostum, ya?” Tanya Aluna pelan. Lia memperhatikan dirinya lalu kemudian Aluna. “Nggak kok. Apa bedak dan lipstikku terlalu menor?” “Nggak kok, biasa aja. Tapi kenapa orang-orang pada liatin ke arah kita?” “Kayaknya mereka liatin kamu deh, Lun.” Bisik Lia karena tidak mungkin mereka bersuara keras di tempat yang jelas-jelas dituntut untuk tenang. “Liat aku? Tapi kenapa?” “Ya aku juga nggak tau,” jawab Lia sambil berpikir. “Jangan-jangan karna kejadian waktu itu.” “Apa?” “Ada yang liat kamu pulang sama Mister Angkasa dan gosip langsung menyebar.” Dengan mulut terbuka, pandangan Aluna langsung menyapu ke segala arah dan ia melihat dengan jelas tatapan tajam serta bisik-bisik dari beberapa mahasiswi ke arahnya. “Sepertinya tebakan kamu benar, Li.” Lia menarik tangan Aluna, mengajaknya ke rak buku sehingga bisa menghindari tatapan mata orang-orang. “Aku yakin, anak-anak di fakultas dan jurusan pasti lagi ngomongin kamu dan Mister Angkasa. Mereka pasti berpikir kamu ada hubungan sama Mister Angkasa. Yang paling parah, gosip hangat ini akan menyebar dengan liar dan menganggap kamu terlalu cepat berpaling dari Ray. Aku jadi ngerasa bersalah karna bawa kunci mobil kamu dan berujung pulang dengan Mister Angkasa. Duh gawat!” Lia terlihat panik memikirkan apa yang baru ia ucapkan. Aluna diam, meresapi apa yang baru saja temannya katakan. Kemudian ia menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. “Biar saja Lia, aku nggak peduli dengan gosip yang beredar. Yang penting aku nggak bikin salah dan dosa, jadi aku mau masa bodo dengan penilaian mereka. Kamu tau kan cerita yang sebenarnya dan aku bukan cewek nggak bener yang main gonta ganti pacar.” “Iya dong Luna, aku kenal kamu dengan baik, bahkan luar dalam. Tapi kenapa tumben kamu sesantai ini? Biasanya kamu bakalan panik nggak jelas, terus jadi overthinking. Sekarang kok bisa berpikir untuk cuek?” Tanya Lia penasaran. “Karna aku mau membuktikan kepada Ray kalau aku bisa move on dari dia dan bahagia bisa lepas dari dia. Enak saja masih mau maksa-maksa, dia kira dia siapa?” Gerutu Aluna sebal, sepertinya rasa cinta dan sayang yang dulu pernah ada perlahan sudah mulai menghilang. Kedua tangan Lia menyentuh lengan Aluna, sambil menatap lurus. “Setuju! Jangan mau dibuat bersikap dan berperilaku bodoh lagi. Aku nggak mau kamu galau karna patah hati.” “Iya-iya, aku juga nggak mau kok.” Balas Aluna. “Ya sudah, jangan terlalu dipikirin. Tujuan kita ke sini cari buku kan, jadi ayo.” Di tempat lain, Angkasa sedang duduk berhadapan dengan Iris. Mendadak wanita itu menghubunginya dan mengajaknya makan siang. Restoran yang dipilih adalah Taco Bar and Restaurant. “Aku jadi nggak enak sama Mas Angkasa. Pasti lagi sibuk ya?” “Kalau saya sudah di sini, artinya saya tidak terlalu sibuk.” Jawab Angkasa. Iris tersenyum, berusaha tidak tersinggung dengan sikap Angkasa. “Maaf ya Mas, karna Tante Andani nelpon dan menanyakan tentang perkembangan hubungan kita, makanya aku ajak Mas Angkasa ketemu sekalian makan siang.” Ucapan Iris membuat Angkasa memejamkan mata sejenak. Ibunya terlalu bersemangat sampai harus seperti ini. “Maafkan Mama saya kalau sudah mengganggu kamu.” “Nggak Mas, sama sekali nggak ganggu kok. Aku malah seneng dengan perhatian Tante Andani.” “Saya sudah bilang kepada Mama saya untuk memberi saya waktu, tapi nyatanya beliau kurang sabar.” “Mas, tolong jangan tersinggung atau salah paham. Tante Andani hanya tanya, selebihnya beliau nggak ngomong apa-apa lagi kok.” Jelas Iris. “Apa pun itu, saya tetap minta maaf.” Ketika selesai mengatakan itu, pandangan Angkasa tiba-tiba terkunci pada sosok yang baru saja melangkah ke arahnya, membuat pria itu diam untuk beberapa saat. “Kenapa Mas?” Tanya Iris curiga. “Oh, tidak apa-apa.” Angkasa mengalihkan perhatian dan pandangan matanya. Aluna berjalan masuk ke restoran bersama dengan Lia. Ia begitu semangat mengajak Lia makan siang dan berjanji mentraktirnya setelah selesai dari perpustakaan. Mereka belum sadar, arah langkah kaki mereka tertuju pada meja tempat Angkasa dan Iris duduk. “Gimana, bagus kan suasana restonya?” Tanya Aluna kepada Lia. “Bagus kok, terlihat nyaman.” “Nggak salah kan aku ajak kamu ke sini? Aku taunya dari Mas Azel.” “Nggak sama sekali apalagi ditraktir sama kamu,” jawab Lia sambil tersenyum jail. “Sekali-sekali bolehlah,” sahut Aluna santai. “Anggap saja merayakan kebebasanku dari rasa takut terhadap Mister Ang—” kalimat Aluna menggantung ketika tepat di depan matanya melihat Angkasa sedang duduk bersama seorang wanita. Lia mengikuti arah pandangan Aluna dan ia juga terkejut dengan apa yang ada di hadapannya. “Wah, ada Mister Angkasa,” bisiknya kepada Aluna. Keduanya berjalan ragu. Jika berbalik sudah tidak mungkin karna Angkasa juga sudah melihat keberadaan mereka. Mau tidak mau mereka tetap melanjutkan langkah, melewati meja yang ditempati oleh Angkasa. “Selamat siang Mister Angkasa,” sapa Aluna dan Lia secara bersamaan. Angkasa tersenyum singkat. “Selamat siang. Kalian makan siang di sini?” “Iya Mister. Kebetulan sekali ketemu dengan Mister di sini.” Jawab Lia. Aluna melirik wanita yang duduk bersama Angkasa. Terlihat cantik dan dewasa. Ia tersenyum singkat kepada wanita itu lalu dibalasnya. “Kalau begitu, kami permisi Mister. Selamat siang.” “Ya, silakan,” jawab Angkasa singkat. “Mereka mahasiswanya Mas Angkasa?” Tanya Iris ketika Aluna dan Lia sudah tidak ada dalam jangkauan pandangannya. Angkasa mengangguk pelan. “Iya, namanya Aluna. Kebetulan saya pembimbing skripsinya. “Wah cantik, ya,” gumam Iris sambil menunduk, menikmati makannya. “Apa?” Iris menggeleng. “Nggak Mas, kita lanjutin makannya saja.” Di meja lain, Aluna dan Lia baru saja selesai melakukan pemesanan makanan. Keduanya nampak begitu penasaran dengan keberadaan Angkasa bersama seorang wanita. “Kira-kira itu siapanya Mister Angkasa, ya?” Tanya Lia kepada Aluna dengan nada penasaran. Aluna mengangkat bahunya ringan. “Mana aku tau.” “Apa itu mantannya yang di Singapura?” “Mantannya? Mister Angkasa punya mantan?” “Maksud kamu? Pertanyaannya aneh banget. Masa cowok seganteng Mister Angkasa nggak punya mantan.” “Maksudku bukan begitu, aku kira statusnya sekarang sudah punya pacar.” “Denger-denger sih waktu di Singapura dia punya pacar dan setelah pulang mereka putus.” “Karna?” “Entahlah, mungkin karna LDR. Atau sekarang sudah balikan dan mantannya sudah ikut ke Indo. Entahlah, ribet urusan orang.” “Kalau Mister Angkasa balikan sama pacarnya, gosip hangat di kampus bisa jadi masalah besar dong?” Aluna mulai ketar-ketir. “Kamu bilang Mister Angkasa cuek soal itu, jadi kita nggak bisa menebak apakah perempuan tadi pacarnya atau tidak. Kalau dilihat-lihat sih sikapnya biasa aja, nggak ada mesra-mesranya.” “Iya juga sih, semoga nggak ada masalah baru lagi. Sakit kepalaku kena masalah terus.” “Nggak apa-apa, Lun. Namanya juga hidup, pasti akan ada masalah.” Diam-diam, Aluna meresapi ucapan Lia. Berita ini baru saja ia dengar dan hatinya mulai menebak, mungkin wanita tadi adalah pacar atau mantan dari dosennya. “Oh jadi dia sudah punya pasangan,” batin Aluna. “Sudah Lun, kamu jangan lirik ke meja Mister Angkasa,” Lia mengingatkan. “Kamu mau dianggap curi-curi pandang sama perempuan itu? Apa mencuri cium belum cukup?” Godanya lagi. Kening Aluna menampakkan kerutan, menatap sebal ke arah Lia. “Jangan diingetin lagi, aku sudah lupa rasanya.” Jawaban Aluna membuat Lia tertawa. Keduanya akhirnya berbincang dengan topik ringan tanpa peduli dengan keberadaan Angkasa di tempat itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD