5. KEJUTAN UNTUK ALUAN

2168 Words
Aluna sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Hari ini jadwalnya untuk bertemu dosen pembimbing. Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi dan ia bersemangat sekali untuk menyelesaikan semua jadwal yang sudah ia susun hari ini. Seperti biasa, kemeja warna moka dipadukan celana bahan berwarna hitam dengan tas sempang berwarna cokelat agak kemerahan. Perpaduan yang bagus karena selain terlihat kekinian, pakaian yang dikenakan Aluna juga terlihat sopan untuk bertemu dengan dosen. Tidak lupa make up tipis sebagai kunci dari penampilannya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai dengan rapi. “Aluna selalu cantik,” puji Aluna pada dirinya sendiri. “Tapi kenapa aku bisa masuk perangkap si cowok b******k itu? Dasar cowok tidak tau bersyukur!” gerutu Aluna. Setelah menggerutu singkat, kini saatnya Aluna berangkat ke kampus. Tidak lupa, ia mengambil kunci mobil hadiah dari Azel ketika ia berhasil mendapat nilai sempurna di ujian semester pertama ketika kuliah di salah satu kampus swasta. Azel memang tidak akan pernah memberikan sesuatu yang mewah dengan cuma-cuma. Pria itu selalu memberi tantangan kepada adiknya sebelum meminta sesuatu. Dijanjikan mobil oleh Azel, tentu saja membuat Aluna semangat. Karena, sejak dulu ia selalu diantar jemput atau naik kendaraan umum jika berpergian. Meski hidup dalam keluarga yang tidak kekurangan, tapi mereka selalu diajarkan untuk hidup dalam kesederhanaan. Saat keluar dari kamar, Aluna mendengar ponsel yang ada dalam tasnya berdering nyaring. Sambil berjalan, ia mengambil ponsel di dalam tas. Begitu melihat nomor tidak dikenal menghubunginya, Aluna merasakan perasaan tidak enak. “Ini pasti Ray. Dasar bebal, masih saja gangguin orang. Harus berapa kali aku blokir nomornya biar dia berenti gangguin aku?” Gerutunya sebal, kemudian memasukkan kembali ponsel ke dalam tasnya. “Pagi Ma,” sapa Aluna ketika melihat Ambar. “Pagi sayang. Sarapan dulu sebelum ke kampus.” Aluna menghampiri Ambar lalu mencium pipi sang ibu. “Sarapannya apa nih?” “Nasi goreng, permintaan kakak kamu.” “Mas Azel sama Papa sudah pergi?” “Sudah sayang. Papa ada rapat dan Azel pergi keluar kota.” “Oh…” gumam Aluna sambil membuka tutup nasi goreng sosis lengkap dengan ayam yang disuwir. “Wah enak banget.” “Iya dong, kan yang masak Mama.” Ambil mengeringkan tangan setelah selesai mencuci piring yang digunakan oleh suami dan anak pertamanya untuk sarapan. Aluna mengalihkan pandangan, mencari sosok Bi Amik yang tidak terlihat. “Bi Amik mana, Ma?” “Ke pasar, beli sayur sama ikan karna stok di kulkas sudah habis.” Jawab Ambar. “Sampai jam berapa di kampus, Lun?” “Belum tau, Ma. Kalau bimbingan sudah selesai dan nggak ada kepentingan lagi, ya aku pulang.” Jawab Aluna yang tengah menikmati sarapannya. “Mrs. Friska juga nyuruh aku nunggu sampai jam 09.30 jadi ya belum pasti sampai jam berapa aku di kampus.” “Semoga bimbingannya lancar ya sayang, biar tahun depan kamu sudah bisa ujian dan wisuda.” “Tenang saja, Ma. Tahun depan anak Mama yang paling cantik ini, sudah punya gelar sarjana.” “Amin, semoga Tuhan memberikan jalan terbaik.” Ucap Ambar penuh harap. “Oh iya, bulan depan kita liburan ke luar kota sekalian merayakan ulang tahun Azel.” “Mama yakin bisa ngajak Mas Azel pergi ke luar kota? Bukannya jadwal Mas Azel selalu sibuk dan Mas Azel selalu merayakan ulang tahun sama rekan bisnisnya.” “Untuk kali ini harus bisa. Ini momen langka karna dia sebentar lagi sudah masuk usia kepala tiga.” Gadis itu menghela napas ketika sang ibu memiliki keyakinan tinggi. “Ya terserah Mama, aku kan Cuma sebagai tim hore.” “Kamu juga bujuk, biar dia mau.” “Iya Ma, tapi janji jangan paksa Mas Azel nikah lagi. Yang ada nanti dia bad mood dan ulang tahunnya malah jadi perang dingin.” Aluna mengingatkan sang ibu. “Kenapa diingetin sih, padahal itu tujuan utama Mama.” Aluan memutar bola matanya karena tebakannya benar. “Kasian Mas Azel Ma, biar saja dia menentukan hidupnya sendiri.” “Mama kan sudah pingin punya cucu. Atau kamu saja yang nikah kalau sudah lulus kuliah.” “Ma!” Ucapan asal Ambar sampai membuat Aluna menghentikan sarapannya. “Jangan ngomongin nikah terus, aku bosen.” “Kapan sih Mama ngomongin nikah terus?” gumam Ambar tanpa rasa bersalah. “Ya sudah, cepet habisin sarapan kamu biar nggak telat ke kampus.” “Mama sih pagi-pagi malah bahas nikah, heran.” *** Mobil Honda Jazz putih sudah terparkir rapi di parkiran gedung Fakultas Ekonomi. Aluna turun dari mobil dan langsung membuat beberapa mata tertuju kepadanya. Meski di kampus ini banyak mahasiswi cantik, tapi pesona Aluna selalu saja mampu menarik perhatian lawan jenis. Tapi entah saat ini pandangan itu adalah kekaguman atau berita mengenai hubungannya dengan Ray sudah tersebar sehingga jadi bahan gosip di kampus. Aluna tidak bisa menebak dengan pasti. Hari ini, ia datang ke kampus tanpa Lia karena temannya itu sudah bimbingan kemarin. Awalnya Lia ingin menemani tapi Aluna tidak setuju karena kasihan dengan gadis itu. Dengan langkah pasti, Aluna segera menuju gedung A, di mana ruang dosen ada di sana. Waktu menunjukkan pukul 9 dan ia masih punya sisa waktu untuk menunggu Mrs. Friska. “Hai Lun, sendirian,” sapa teman jurusan Aluna namun berbeda kelas. Aluan tersenyum karena ia memang kenal dengan gadis itu. “Hai, iya nih.” “Nggak sama Ray lagi?” Di telinga Aluna, itu bukan sebuah pertanyaan tapi sebuah sindiran. Namun, Aluna tidak akan terpancing dengan sindirin itu. “Kenapa harus sama orang lain kalau sendirian juga happy?” Gadis itu langsung diam, lalu pergi dari hadapan Aluna. Meski kesal, Aluan tetap menahan diri dan berusaha untuk tetap tenang. “Memangnya aku nggak akan bisa hidup tanpa cowok b******k itu!” Aluna melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Baginya, meladeni orang yang tidak tahu kehidupannya hanya buang-buang waktu saja. Ia harus fokus dengan tujuannya hari ini dan mencoba tidak peduli dengan tatapan orang lain. Namun, tiba-tiba tangannya ada yang menarik hingga membuat Aluna terkejut. Ia menoleh dan melihat siapa yang ada di belakangnya. Betapa kesalnya Aluna ketika tahu siapa orang tua. “Lepasan nggak?!” Ucap Aluna dengan penuh penekanan. Ia tahu saat ini sedang menjadi pusat perhatian beberapa mahasiswa yang ada di sana. “Aluna.” Ucap Ray tanpa mengindahkan perintah Aluna. Dengan cepat, Aluna menepis tangannya yang dipegang oleh pria yang dianggapnya sebagai musuh. “Jaga sikap kamu karna kita nggak ada hubungan.” “Aluna, mau sampai kapan kamu seperti ini? Aku sudah jujur sama kamu tapi kenapa kamu masih marah?” Kening Aluna mengkerut mendengar pertanyaan dari mantannya. “Hei, kamu sehat? Nanya kenapa aku seperti ini dan sampai kapan aku marah. Pertanyaan yang bodoh!” “Kamu kok jadi kasar begitu?” “Karna percuma menghadapi kamu dengan cara halus. Sikap kamu saja tidak bisa diterima kenapa aku harus baik-baik sama kamu?” Kecam Aluna. “Ingat ya Ray, jangan ganggu aku dan jangan pernah sentuh aku. Hubungan kita sudah selesai dan aku nggak mau punya urusan sama kamu.” “Nggak, aku nggak akan terima. Aku masih menganggap kita ini sebagai pasangan.” Sahut Ray. “Oke, aku anggap kamu butuh waktu untuk maafin aku dan aku sabar menunggu. Tapi, aku pastikan hubungan kita akan kembali seperti dulu. Aku akan membuat Aluna yung dulu kembali baik dan aku janji tidak akan menyakiti kamu lagi.” Gadis itu tersenyum mengejek, ucapan Ray seperti bualan di telinganya. “Terserah! Aku tidak akan pernah peduli.” Aluna segera pergi dari hadapan Ray. Ia tidak mau menjadi tontonan karena menghadapi orang yang menurutnya sudah tidak ada artinya lagi baginya. Meski hatinya dan perasaannya terluka, tapi Aluna harus kuat. “Dasar gila, menyebalkan.” “Aku tau kamu sengaja bersikap kasar, Lun. Aku minta maaf karna sudah menyakiti kamu,” gumam Ray sambil menatap punggung Aluna yang semakin menjauh. Sampai di depan ruang dosen, Aluna melihat beberapa temannya sedang menunggu giliran bimbingan. Ia tidak menyangka kalau ternyata hari ini cukup ramai sehingga ia tidak akan bosan jika menunggu. “Aluna, dipanggil Mrs. Friska. Katanya kalau ada kamu, diminta masuk sekarang.” Aluna tidak menyangka kalau dosen pembimbingnya sudah ada di dalam padahal belum waktunya untuk bimbingan. “Oh iya, makasih ya.” Tanpa menunggu lama, Aluna segera masuk dan sudah siap menyiapkan map berisi data skripsinya. “Selamat siang Mrs.” “Siang Aluna, silakan duduk.” Ucap Friska. “Terima kasih, Mrs.” ucap Aluna lalu mendaratkan tubuhnya di atas kursi yang ada di depan meja kerja Mrs. Friska. “Jadi begini Aluna, ada hal yang ingin saya sampaikan kepada kamu terkait status saya sebagai dosen pembimbing kamu.” Aluna mendengarkan dengan seksama namun juga tegang. “Iya Mrs, ada apa ya?” “Aluna, kamu bisa lihat kondisi kehamilan saya semakin besar dan kurang dari sebulan saya akan melahirkan. Saya akan cuti selama tiga bulan, maka dari itu saya sudah mencari dosen pembimbing pengganti untuk kamu dan mahasiswa lainnya yang selama ini berada di bawah bimbingan saya.” Ucap Friska dengan napas sedikit tersengal karena perutnya yang besar. “Hal ini saya lakukan karna saya tidak mau membuat kamu dan yang lain menjadi tidak fokus karna saya tinggal cuti. Meski ada pembimbing dua, tapi saya tetap ingin kalian bisa menerima masukan dari dua arah sehingga proses penyelesaian skripsi lebih maksimal.” Apa yang dijelaskan oleh Mrs. Friska, cukup membuatnya terkejut. Meski ia tahu kalau dosennya itu tidak bisa melakukan bimbingan dengan maksimal karena akan cuti, tapi ia tidak menyangka kalau akhirnya ia akan dicarikan dosen pengganti. Tidak ada yang bisa ia lakukan karena Aluna juga paham bagaimana sulitnya mengemban tanggung jawab saat kondisi Friska sedang hamil besar. “Baik Mrs. saya siap dengan keputusan Mrs. Friska. Maaf kalau membuat Mrs. Friska kesulitan mencari dosen pengganti untuk saya.” Ucap Aluna dengan tenang. Friska menggeleng sambil tersenyum. “Untungnya tidak karna kebetulan ada dosen yang baru pindah ke sini. Jadi, saya tidak perlu repot-repot mencarikan dosen pengganti karna dosennya sudah ada.” “Syukurlah kalau begitu, Mrs.” Entah ini rezeki atau memang rencana Tuhan, ia berharap jika dosen pengganti yang ia dapat memiliki sifat yang sabar seperti Friska. “Kita tunggu sebentar ya, karna beliau sedang bertemu dengan Bapak Dekan.” “Baik Mrs.” “Nah itu sudah datang. Panjang umur sekali Mister Angkasa.” Wajah antusias Friska membuat Aluna ikut menoleh ke arah pintu masuk. Tatapan matanya terkunci pada sosok yang sangat memanjakan mata para perempuan yang melihat. Pria berperawakan tinggi tegap, mengenakan kemeja biru langit dengan bawahan hitam. Tatapan matanya tajam, dengan rahang tegas, dan yang terpenting adalah tidak ada senyum di wajah pria itu. Aluna seperti mendapat kejutan karena hari ini hatinya dibuat dongkol oleh Ray namun kembali dibuat melayang dengan dosen pengganti yang sangat menggoda iman. “Mister Angkasa, bisa minta waktunya sebentar.” Ucap Friska dengan susah payah berdiri dari duduknya. “Tentu saja bisa, Mrs.” Jawab pria itu sambil menghampiri meja kerja Mrs. Friska. “Ada yang bisa saya bantu?” “Soal diskusi kita beberapa hari yang lalu dan permintaan saya mengenai Mr. Angkasa menjadi dosen pembimbing untuk mahasiswa yang ada di bawah bimbingan saya selama ini. Nah, Aluna adalah salah satu mahasiswi yang sekarang sedang menyusun skripsi. Saya mau mengenalkan secara langsung.” Aluna yang sudah berdiri sejak Friska berdiri, menatap Angkasa dengan jantung berdebar. Bagaimana bisa ia tidak terpikat dengan dosen tampan yang akan menjadi dosen pembimbingnya. Rasanya, ini seperti mimpi yang memanjakan mata Aluna. “Oh begitu.” “Aluna, ini Mister Angkasa yang baru pindah dari Singapur dan akan menjadi dosen pembimbing kamu, menggantikan tugas saya.” Gadis itu segera mengulurkan tangan kepada Angkasa. “Selamat siang, Mister. Saya Aluna, mohon bantuan dan bimbingannya.” “Angkasa.” Jawab pria itu singkat sambil membalas uluran tangan Aluna. Begitu perkenalan dan obrolan singkat antara mereka bertiga berakhir, kini waktunya Aluna berdua dengan Angkasa. Ia sudah duduk di kursi di depan meja Angkasa dan pria itu sedang melihat lembaran demi lembaran skripsi yang sudah Aluna berikan. “Jadi skripsi kamu mengambil data di perusahaan Seven? Yang saya tau, tempat itu sangat sulit di tembus.” “Iya Mister. Kebetulan saya juga magang di sana.” “Beruntung sekali.” Gumam Angkasa. Dalam hati, Aluna ingin menjawab ucapan Angkasa. Perusahaan yang bergerak di bidang fashion itu adalah milik dari teman Azel, sehingga dengan kemampuan otaknya yang mumpuni, ditambah dengan koneksi dari Azel, maka terwujudlah keinginan Aluna magang di sana. “Baik, saya harus periksa ini dulu. Nanti, jika sudah selesai saya periksa, kamu bisa ambil lagi.” Aluna mengangguk pelan tanpa mau melepas pandangan matanya ke wajah Angkasa. Ia benar-benar terpesona dan seperti lupa jika sikapnya ini kurang sopan. Angkasa mengalihkan pandangan yang awalnya fokus pada kumpulan kertas di atas meja, kini menatap Aluna yang tidak menanggapi ucapannya. “Apa kamu dengar saya bicara?” Gadis itu terkesiap dan seketika malu karena Angkasa menangkap basah dirinya. “De..dengar Mister. Baik, saya permisi dulu, Mister. Terima kasih atas waktunya.” “Tunggu,” cegah Angkasa ketika Aluna beranjak dari duduk. “Iya Mister?” “Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?” Tanya Angkasa sambil memberikan tatapan lekat kepada Aluna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD