10. Cerita Horor Rumah Kosong

1239 Words
Aku senang akhirnya Mas Fery ada waktu telponan sama aku. Memang kemarin seharian dia sibuk kerja, jadi nggak sempat hubungin istrinya yang katanya manis ini. “Yank, kangen,” rengek Mas Fery, saat kami Video call via WA. Tampang gantengnya melas, kelihatan lelah. “Sama, Sayang. Aku juga kangen. Sabar, ya. Kamu baik-baik di sana, jangan telat makan. Dan yang penting tetap jalankan prokes. Aku nggak mau kamu sakit, apalagi terpapar virus.” Aku mengingatkan panjang lebar. Ia terus menatapku, lalu menghempaskan tubuh di kasur. “Gimana kerjaan kamu, Mas. Lancar?” tanyaku, ikut merebahkan tubuh di kasur. “Lancar, Yank. Tapi capek, sehari Mas dan tim bisa survey lokasi sampai tiga-empat tempat. Beuh, rasanya pengen dipijat sama kamu.” Aku tertawa geli. Semenjak tahu aku bisa memijat, dia sering minta dipijat kalau lagi capai. Katanya enak, dan pegalnya cepat hilang.  Makin enak karena yang mijat istri tercinta. Gombalnya nggak nahan. “Nanti, kalau Mas pulang aku pijatin, ya.” Aku janji ke dia, biar dia semangat. Semangat cepet pulang maksudnya. “Ya, ampun, Yank. Udah nggak sabar rasanya. Tapi jangan khawatir, Mas di sini baik-baik aja. Tetap semangat kerja,” jelasnya berusaha membuatku tetap tenang. Ya, sudah kuduga, dia nggak selelah itu kurasa. Kalau rindu, aku tahu dia memang benar-benar merindukanku seperti aku yang tak ingin berlama-lama terpisah. LDR? Aku bahkan bilang ke Mas Fery sebelum kami memutuskan menikah, bahwa aku tidak ingin LDR terlalu lama, aku tidak suka menjalin hubungan jarak jauh, mungkin dua atau tiga hari dalam sebulan atau perdua minggu aku tak masalah. Asal jangan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Bisa mati dijerat rindu aku. Lebay? Nggak juga, semua berhak memilih kenyamanan masing-masing dalam menjalani sebuah hubungan.    ***   Siang ini aku melihat seorang Security mengendarai motor berputar di pekarangan. Security itu melihat ke arahku, kebetulan aku sedang duduk di teras sambil membaca n****+ karya salah satu penulis terkenal di f*******: beberapa tahun ini. Security kompleks itu tersenyum sambil mengangguk kepala. “Betah di sini, Teh?” tanyanya terdengar aneh. Ia mematikan mesin motornya. “Mudah-mudahan betah, Pak,” jawabku sekenanya. Kututup bukuku menggunakan kertas pembatas. Security berbadan tambun itu melirik rumah kosong di samping rumahku. “Baguslah kalau betah, kebanyakan warga kompleks sini takut masuk ke area pojokan sini. Saya sendiri aja takut,” ungkapnya jujur. Pandangannya kembali ke arahku. “Takut kenapa?” Aku penasaran.  Sekarang aku melihat name tag yang menggantung di baju seragamnya. Di sana aku tahu kalau nama Security berkulit gelap itu Gunawan. “Saya pernah malam-malam patroli ke sini, sampai di depan rumah kosong itu,” tunjuknya ke arah samping rumah, “saya dengar suara bayi nangis. Kan di sini nggak ada bayi, jadi saya merinding dan takut patroli area sini lagi kalau malam.” Terurailah pengalaman-pengalaman horornya selama bertugas. Mulai dari suara bayi sampai suata tawa perempuan. Wah, pantas saja hampir tiap malam aku tidak mendengar suara Securty memeriksa area sini kalau malam, mereka yang bertugas paling membunyikan tiang listrik sebagai tanda bahwa mereka sedang patroli. Pagi-pagi sekali barulah Security itu memeriksa, selama beberapa hari tinggal sini baru sekarang berkesempatan mengobrol dengan salah satunya. “Tapi aku nggak pernah dengar suara apa pun dari rumah sebelah,” terangku pada Gunawan. “Ya, bagus berarti,” ujarnya singkat. “Memangnya sudah berapa lama rumah ini kosong?” “Udah lama, Teh. Pernah ada yang nempatin, tapi nggak lama keluar lagi,” katanya. Aku mengangguk-anggukkan kepala. Kenapa mereka nggak betah, ya? “Suaminya kerja?” Gunawan mengalihkan pembicaraan. Aku meniyakan, kubilang ada tugas  di luar kota, besok atau lusa Mas Fery akan pulang. “Nanti kalau ada apa-apa lapor aja RT kompleks atau Security, simpan semua nomor-nomor security untuk mempermudah komunikasi,” pesan Gunawan, sebagai petugas keamanan, memang sudah kewajibannya mengingatkan warga agar tetap aman dan nyaman. Setelah mengingatkanku, Gunawan pamit pergi, kembali bertugas katanya. Sedangkan aku terus bertanya-tanya tentang rumah kosong itu. Sialnya, belum lama Gunawan pergi aku didatangi oleh seseorangi. Sebelumnya, laki-laki berpakaian rapi ala karyawan perkantoran itu menjambangi rumah kosong dan meliha—lihat kondiri rumah tersebut. “Permisi, maaf Mbak, mengganggu sebentar. Saya orang Bank, mau nanyain soal rumah di sebelah, itu rumah ada yang nempatin nggak, Mbak?” tanyanya sopan. “Nggak ada. Rumahnya kosong, Pak.” “Mbak tahu nggak pemilik rumah itu?” tanyanya lagi. Aku mengerutkan dahi. Sejak pertama pindah di sini, aku tak pernah melihat satu orang pun yang tinggal di rumah itu bahkan tak ada yang berani mendekatinya kecuali aku dan Mas fery. Aku sering mengintip ke dalam rumah, menyapui pekarangannya, dan kadang berjemur di depan sana. “Saya nggak tahu, Pak. Saya juga baru pindah di sini beberapa hari lalu,” jelasku, berharap laki-laki di hadapanku ini lekas pergi. Tapi aku juga penasaran. “Memangnya ada apa, Pak?” selidikku kemudian. Barulah la bercerita kalau ia orang Bank, ia mengeluhkan kalau pemilik rumah kosong itu sudah lama tidak membayar setoran perbulannya. Mereka juga kesulitan menghubungi pemilik rumah. Pemiliknya mungkin menghilang entah kemana. Jadilah rumah itu kosong, tak terurus. Tidak ada juga info dikontrakkan atau pun dijual. Ya, sekarang aku tau. Pemilik rumah pergi meninggalkan rumah itu begitu saja, mungkin saja sudah tidak kuat membayar cicilan. Kasus seperti itu banyak ditemui di perumahan-perumahan. “Kalau nggak bayar, rumah bisa disita Bank. Sayang sekali,” gumam orang Bank itu. “Mau gimana lagi, Pak. Kalau nggak bayar Bank berhak menyita,” timpalku, meyakinkannya. Wajah itu terlihat lesu. Sekali lagi ia pandangi rumah kosong di sebelah sebelum akhirnya ia pamit pergi.    *** Malamnya, aku tidak bisa tidur. Ucapan Gunawan terus terngiang di telingaku, soal bayi menangis dan tawa seorang perempuan. Seharusnya aku tidak memikirkannya, aku tidak memedulikan apa pun yang terjadi terhadap rumah kosong itu. Persetan dengannya! Tetapi nyatanya aku tidak bisa. Aku merapatkan telinga di tembok yang bersebelahan dengan rumah kosong. Memastikan kalau tidak ada suara apa pun di dalam sana. Benar, aku tidak mendengar suara tangis, tidak juga suara orang tertawa, tapi telingaku samar menangkap suara cakaran kuku di tembok. Alisku bertaut. Suara apa itu? Suara itu cukup jelas ketika daun telingaku menempel ditembok. Ya, sepenasaran itu memang. Suara kuku-kuku mencakar-cakar dinding. Kadang suara itu menghilang, kadang datang lagi. Aneh, aku malah semakin penasaran sekarang. Jadilah aku tidak bisa tidur sampai pagi.   *** Aku bangun kesiangan. Kepalaku berdenyut-denyut sakit. Mungkin efek tidak bisa tidur semalaman. Aku beranjak ke dapur mencari sesuatu untuk bisa kumakan. tidak ada apa pun yang bisa segera kumakan selain buah buah-buahan di di atas meja. Tubuhku lumayan segar setelah menghabiskan potongan buah apel dan buah pir. “Aku nggak mau tau, ya. Pokoknya harus dicari!” Aku mendengar suara Sri cukup keras dari sini. Nada suaranya terdengar keras penuh emosi. “Iya, nanti dicari, tapi nggak usah marah-marah,” timpal Kakek Sugiono. “Sekarang, Pak! Jangan nanti-nanti, itu orang udah ngilang dari sini, udah pergi jauh! Ya, ampun, nggak mikir banget jadi orang!!” Deg! Seketika aku mengelus d**a. Tega sekali Sri bicara kasar seperti itu kepada orantuanya. “Bikin emosi aja. Keseeelll!” pekiknya lagi, “Bapak dikasih tau berkali-kali masih aja nggak nurut. Jadinya begitu, susah sendiri!” Entahlah, aku tak tau apa yang mereka ributkan sekarang. Jika mendengar suara Sri, telingaku terasa sakit. Aku tak biasa mendengar kata-k********r seperti itu dilontarkan dari mulut seorang anak pada bapaknya. “Kalau Bapak nggak mau, biar aku datangin rumahnya, biar kumaki-maki sekalian!” Hening. Tak lagi kudengar suara menggelegar Sri dalam beberapa saat, yang terdengar suara mesin motor bututnya yang meraung keras, lalu suara itu menjauh lalu menghilang.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD