“Mas, aku takut!” serbuku memeluk tubuh Mas Fery erat setibanya ia di rumah.
Sekarang sudah pukul 09:00 malam, suamiku baru pulang. Kucium aroma tubuhnya yang wangi dan segar.
“Takut apa?” tanya Mas Fery datar, ia membalas pelukanku tak kalah erat. Lalu kami melangkah menuju lantai atas, ke kamar.
“Mas, tadi tetangga kita ribut. Entah, aku nggak tau apa yang mereka ributkan. Tapi dengerin suara keras dan cacian kayak gitu bikin aku takut, Mas. Pikiranku buruk, takut mereka saling nyakitin fisik.”
Mas Fery menyimak ceritaku sambil rebahan di kasur. Kedua tangannya terentang lebar seperti orang jatuh dari ketinggian.
“Semoga aja itu hanya pikiranku ya, Mas. Dan nggak terjadi apa pun sama tetangga kita,” lanjutku lagi. Kini aku ikut berbaring di samping Mas Fery.
“Jangan terlalu dipikirin, Yank, namanya juga rumah tangga, pasti ada ributnya. Yang penting kamu tetap tenang dan rileks, ya. Kita nikmati malam pertama kita di rumah ini.” Mas Fery mengusap-usap rambutku. Lalu mengusap wajah. lanjut ke ...
“Mas,” psnggilku cepat sembari menjauhkan tangannya di atasku. “Martabaknya mana? Aku lapaaarr.” Aku memegangi perut, dari tadi cacing-cacing di dalamnya sudah berisik.
“Oh, iya, masih di mobil!” Mas Fery segera melompat dari ranjang, berlari kecil keluar kamar dan menuruni anak tangga menuju lantai bawah.
Huufh! Kirain dia lupa beli.
“Nih, Yank.” Mas Fery sudah kembali lagi membawa kantung plastik berisikan kotak martabak kesukaanku. Hem, yummy!
“Thanks, ya, Mas. Sering-sering beliin nggak apa-apa, kok.” Aku terkikik.
“Ntar gendut gimana makan martabak mulu?” Mas Fery kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.
“Asal kamu masih sayang, aku nggak papa,” jawabku enteng. Cepat-cepat membuka kotak martabak, dan memakannya dengan lahap. Kulihat, Mas Fery memajukan bibirnya.
“Jangan lupa cuci tangan, Yank,” ingatnya tepat di saat tanganku terulur ingin mencomot sepotong martabak.
Diingatkan begitu, aku segera menuju westafel di kamar mandi, dan secepat kilat kembali duduk menghadap kotak martabak.
“Yank, kalau kamu gendut, aku sih nggak masalah, yang masalah itu kamu, baju-bajumu bisa pensiun semua.” Mas Fery tertawa lebar, bukan aku yang ia takutkan, tapi baju-bajuku. Luar biasa memang.
Terserahlah, bodo amat sama timbangan, yang penting perut kenyang hati pun riang. Begitu kira-kira prinsipku sekarang. Tapi kata Mama, kalau belum punya anak alias belum melahirkan, makan banyak pun tak masalah, tidak terlalu memberi efek melar seperti ibu-ibu yang sudah melahirkan. Jadi ... aku ingin menikmati masa-masa ini sebelum aku punya anak. Ya, begitu.
“Yank, kita belum honeymoon. Malam ini mulai, ya?”
Ucapan Mas Fery berhasil membuatku ‘keselek’ martabak. Sedikit terbatuk-batuk aku minum air putih untuk mendorong martabak yang serat di tenggorokan. Gila, ingat juga dia rupanya. Tapi aku diam, pura-pura tidak mendengar.
“Yank, kok, diem, sih?” Mas Fery mengambil posisi duduk, menatapku melas.
“Duh, aku kekenyangan kayaknya, Mas. Susah berdiri jadinya.” Aku pura-pura, tapi Mas Fery tak mudah dibohongi, dia sudah hapal betul gimana ekspresiku saat bohong atau tidak. “Pokoknya start malam ini.”
Aku melongo. Lhaa, kok jadi maksa, Mas? Tapi ya ... sudahlah, aku juga senang dipaksa-paksa dikit. Cmiw!
Perutku sudah kenyang, kubereskan kotak martabak dan kusimpan dalam kulkas. Tidak lupa aku ke kamar mandi untuk bersih-bersih, menggosok gigi, cuci muka, dan sebagainya. Saat selesai, aku menahan tawa dan menarik napas lega melihat Mas Fery sudah pulas. Dia kelihatan kelelahan. Pelan-pelan kuselimuti tubuhnya.
***
Cuaca malam ini seperti mendukung ketakutanku. Ada dua hal yang kutakuti saat ini, suara gemuruh hujan dan terkaman laki-laki yang saat ini berbaring di sebelahku. Tapi ketakutan pertama masih bisa dikompromi di banding ketakutan kedua. Sekarang tengah malam, aku masih terjaga di balik selimut tebal. Selimut bulu yang lembut membuat tidurku selalu nyaman, hadiah pernikahan dari sepupuku, Alisa Manopo.
Ah, gimana kabarnya gadis itu sekarang. Aku belum memberitahunya kalau aku sudah pindah di sini. Setahunya, aku dan Mas Fery tinggal bareng sama Mama-Papa.
“Yank,” panggil Mas Fery, mengigau. “Yank,” ulangnya lagi. Kutepuk pipinya pelan, ia bergerak sebentar lalu tidur lagi. Ah, kacang mahal!
Satu jam sudah aku tak bisa memejamkan mata, hujan sudah reda menyisakan gerimis halus di luar sana. Udara teras dingin, padahal sejak tadi kami tidak menyalakan AC. Mengendap-endap aku keluar kamar, tak bisa tidur, nonton TV pilihan terbaik. Baru saja di depan pintu Mas Fery memanggil.
“Yank, mau ke mana?”
Langkahku terhenti, aku menoleh ke arahnya salah tingkah.
Mas Fery turun dari ranjang, mendekatiku. Ia menatapku lekat, menyusuri setiap lekuk tubuhku. Mataku terpejam, aku tak sanggup melihat matanya, astagaa.
Tiba-tiba bibirku disentuh dengan lembut. Saat kubuka mata, jari tangannya menyentuh bibirku secara perlahan. Aku menelan ludah susah payah, napasku juga terasa sesak.
“Love you,” ucapnya serak. Lalu meraih tanganku, mengecupnya lembut. Mas Fery menuntunku menuju pembaringan.
Kudengar suara gerimis hujan di luar sana seperti musik klasik yang memandu kami untuk saling memadu kasih. Membawaku terlena pada pusara cinta yang luar biasa. Rasanya ... aku tak ingin lepas dari kebahagiaan ini selamanya. Selamanya ....
“Mas, bukannya tadi bobonya pules?” aku bertanya disela kesibukan kami.
“Ssstt.” Telunjuk Mas Fery menempel di bibirku, “mana bisa Mas tidur pulas kalo di dekat kamu,” bisiknya di telingaku, begitu dekat hingga napasnya yang tersengal membuatku ... mabuk!
***
Aku menggeliat nikmat saat Mas Fery membangunkanku dengan mengecup bibir gemas, aku menjerit kecil dan melotot ke arahnya. Ini sudah pagi, dan aku masih bergelung di atas kasur, jarang sekali kulakukan di tempat Mama, di sana pagi-pagi sekali aku harus bangun pagi dan sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Ya, tentu saja aku ingin menjadi menantu yang baik untuk Mama, walaupun Mama sendiri tahu kalau aku sebenarnya gadis pemalas.
Aroma kopi menyeruak, memenuhi ruangan dan menggoda pernapasanku. Hanya dengan aromanya saja sudah membuatku b*******h. Mas Fery membuat dua cangkir kopi untuk kami minum bersama-sama, tapi aku harus menunggu kepulan asapnya sedikit berkurang.
“Mau lagi?” tanya Mas Fery menggodaku. Ia bertelanjang d**a menampilkan bulu-bulu halus di d**a bidangnya.
Aku yang masih belum beranjak dari kasur baru sadar saat melihat tubuhku di balik selimut tanpa sehelai benang pun.
Mas Fery duduk di sampingku, wajahnya begitu dekat.
“Di luar belum muncul sinar matahari, kurasa dia malu sama kita,” ucap Mas Fery, kini tangannya menyusup ke bawah selimut.
“Mas,”
“Hmm.” Mas Fery sibuk sendiri.
Aku ingin bercerita tentang mimpiku semalam, mimpi itu teras jelas dan aneh menurutku. Tapi melihat Mas Fery sudah tidak connect dengan ocehanku, aku malas meneruskannya.
“Memangnya Sang Kapten belum nyerah.” Aku berbisik di telinganya.
“Belum. Kapten masih ingin perang!”
Sudah kuduga akan begini akhirnya. Sang Kapten kembali berjuang di medan perang tak kenal lelah, mengacungkan pedangnya sambil berseru, “Hiyaaa.” Dan aku menikmatinya.
Dua cangkir kopi jadi saksi. Bahwa perang pagi ini lebih dahsyat di banding perang yang diguyur gerimis semalam.
***
Sudahlah, aku terlalu lemas pagi ini sebab kelelahan berperang. Semakin lemas saat Mas Fery berkata ia akan ke luar kota selama tiga hari, urusan pekerjaan.
Kusesap kopi yang sudah hampir dingin. Lalu melihat ke luar jendela. Di bawah sana masih ada sisa hujan semalam. Tanah dan rumputnya basah.
“Yank, memangnya semalam kamu mimpi apa?” tanya Mas Fery, rupanya ia masih mengingat ucapanku soal mimpi itu.
Ditanya begitu, aku justru ragu menceritakannya. Mimpinya seram memang tapi rasanya tak penting diceritakan.
“Sudahlah, ,Mas. Lupain aja, nggak penting.” Aku kembali menatap pemandangan di luar, kali ini kulihat Kakek Sugiono mulai berangkat jualan.
“Pah, nanti siang jangan lupa bungkusin nasi,” teriak Nenek mengingatkan. Kakek Sugiono menyahut singkat. “Ya,” katanya agak keras, mungkin takut istrinya tidak mendengar.
“Yank, kalau nggak cerita Mas ajak perang lagi, nih!” ia pura-pura merajuk.
Rasanya penegn tak ‘Hiii’.
Karena tak ingin menyimpan mimpi seram itu sendiri, terpaksa aku menceritakannya. Barangkali, mimpiku itu suatu pertanda apalah. Entah, bukankah kata orang setiap mimpi punya pesan tersendiri?