Bab 2. Tidak Tahu Malu

1527 Words
Villa yang mereka tempati tak jauh dari pantai. Hunian pribadi pemilik resort yang hanya ditempati ketika mereka datang berlibur kesana. Teman Ezra yang menikah tadi siang itu adalah keponakan dari pemiliknya. Langkah Ezra terasa berat. Kalau Hanum dan papanya sudah menemukan jejak keberadaannya, maka sudah pasti tak lama lagi yang lain pun akan datang memburunya. Setelah ini hidupnya tidak akan tenang. Terlalu memuakkan harus berurusan dengan manusia-manusia busuk seperti mereka. Perasaannya sedikit lega ketika menemukan Hera sedang duduk bicara dengan mamanya di gazebo taman depan villa. Dia sempat menoleh ke belakang. Hanum dan mantan mertuanya menyusul dengan menggandeng Lala yang sepertinya masih merajuk. Dulu ketika pergi, bocah itu masih bayi. Jadi sudah pasti Hanum yang sengaja meracuni otak polosnya, dengan mengatakan kalau dia lah papanya. Benar-benar perempuan picik. “Tan, boleh saya bicara sebentar dengan Hera?” Ezra menatap lekat penuh bersalah gadis yang melengos marah itu. “Ingat yang tadi Mama bilang, Ra! Kamu sendiri yang memilih, jadi harus siap dengan segala konsekuensinya! Terus atau mundur, keputusan ada di tanganmu!” ucap mama Hera sebelum beranjak meninggalkan mereka berdua di sana. Xena menghampiri tamunya dan diajak masuk lebih dulu. Menghela nafas panjang, Ezra duduk di samping Hera. Salahnya tidak jujur soal Lala. Itu karena dia pikir mereka tidak mungkin bertemu lagi. Lagipula bocah kecil itu juga bukan darah dagingnya. “Maaf, harusnya aku tidak menutupi apapun soal anak itu.” “Apalagi yang Om sembunyikan dariku? Apa susahnya jujur? Aku saja tidak mempermasalahkan status Om yang duda. Kenapa soal anak itu harus ditutupi?” cecar Hera dengan suara meninggi. Dia menoleh marah membalas tatapan Ezra. “Lala bukan anak kandungku. Hanum sudah hamil saat menikah denganku,” jawabnya seketika membuat Hera terdiam. Ezra meraih tangan Hera, lalu menggenggamnya hangat. Amarah di mata beningnya mulai pudar. Sumpah! Dia cinta mati ke gadis cantik ini. Kalau tidak mana mungkin rela menunggu sampai Hera selesai sekolah. Seperti pria bodoh mau jadi teman bercerita Hera yang ketika itu sedang patah hati. Setahun hubungan mereka tak lebih seperti om dan keponakan. Baru setelah dia lulus Ezra berani terang-terangan mengutarakan perasaannya, juga meminta izin ke keluarga Hera. “Aku juga tidak tahu apa maksud Hanum memberi pemahaman ke anaknya, kalau aku lah papanya. Padahal jelas-jelas dia bukan darah dagingku. Kamu kalau masih tidak percaya, aku siap membuktikannya dengan tes DNA!” ucap Ezra berusaha menyakinkan gadis itu. “Beneran dia bukan anak kandungnya Om? Terus kalau sudah hamil dan bukan bukan benih Om, kenapa juga mau menikahinya?” gumamnya ragu. “Hm, bukan. Aku menikahinya karena terpaksa.” Ezra menggeleng. “Aku jamin kalau ada perempuan yang melahirkan anak kandungku, itu cuma kamu nantinya!” “Dih, si Om ngarep! Siapa juga yang mau punya anak sama situ!” sahut Hera beranjak berdiri dengan muka panas. Tapi, dia terhuyung dan berakhir jatuh terduduk di pangkuan Ezra begitu pria itu menarik genggaman tangan mereka. “Om!” serunya kaget. “Jangan marah lagi, ya? Aku janji setelah ini akan menceritakan semuanya ke kamu. Ya?” rayunya mendekap pinggang Hera. “Semuanya? Tanpa terkecuali!” tuntut Hera yang tidak ingin lagi kecolongan seperti tadi. “Iya, semuanya tanpa terkecuali!” Ezra tersenyum mengangguk. Lega karena salah paham ini bisa langsung selesai. Dengan begitu akan semakin mudah membereskan masalah dengan Hanum juga papanya. “Ok!” angguk Hera setuju. Inilah yang disukai Ezra dari Hera. Umurnya boleh saja masih belia. Kelakuannya juga kadang bikin pusing. Tapi, Hera punya jalan pikir yang dewasa, tegas, dan tipe wanita yang punya prinsip. “Temani aku masuk bicara sama mereka, ya? Biar kamu juga tahu duduk masalahnya seperti apa! Cukup kamu lihat dan dengar, maka pasti akan paham orang seperti apa mereka itu.” “Hm.” Hera kembali mengangguk. “Gemesin!” Terkekeh Ezra mencuri ciuman di pipi Hera. “Haish! Om, kebiasaan!” Hera melompat turun dari pangkuan Ezra yang tertawa menyambar tangannya. Bahagia yang dia ingin bahkan hanya sesederhana itu. Bisa terus bersama gadis ini. Tapi, semua jadi tak mudah ketika para manusia busuk itu kembali bermunculan. Benar-benar memuakkan. “Ayo!” Ezra menggandeng Hera melangkah masuk ke villa. Kalau Hanum pikir bisa menghancurkan lagi hidupnya dengan cara kotor begini, maka dia salah besar. Hera, dengan cara apapun pasti akan dia pertahankan. Ezra mungkin benar-benar akan gila jika kehilangan gadis ini. Gadis yang telah membuatnya jatuh cinta, ketika dia tidak ingin jatuh cinta ke siapa pun. Hera yang hadir ketika dirinya hancur dan mati rasa. Begitu masuk mereka disambut tatapan keluarga Hera, Hanum, juga Andika mantan mertuanya. Senyum sinis tersungging di bibir mantan istri Ezra. Kecewa karena niatnya menyingkirkan gadis ingusan itu justru gagal begitu saja. “Jadi, maksud kalian datang mencari Ezra mau apa?” tanya Herman Wijaya langsung ke inti masalah begitu cucunya dan Ezra duduk. “Biarkan kami bicara dengan Ezra! Kalian orang luar tidak berhak ikut campur!” sahut Andika. “Yang orang luar itu adalah kalian! Calon istriku dan keluarganya berhak tahu masalah ini, karena aku tidak mau ada salah paham seperti tadi gara-gara ulah kalian!” tegas Ezra. “Katakan apa mau kalian mencariku! Atau, silahkan pergi! Aku merasa sudah tidak punya urusan lagi dengan kalian!” lanjutnya. “Lala mencari papanya. Apa harus setega ini kamu ke anak sendiri, Zra? Sejak pergi sampai detik ini, tidak sekalipun kamu bertanya kabar Lala!” seru Hanum sudah tidak bisa menahan jengkelnya. Ezra tertawa geli menatap mantan istrinya, lalu beralih ke gadis kecil yang duduk menggelendot di sebelah ibunya. Sebenarnya dia juga tidak tega menyakiti perasaan bocah itu, tapi Ezra tahu betul sepicik apa Hanum. Dia hanya menggunakan anak itu untuk kembali menjeratnya. “Anakku? Setahun menikah bahkan aku tidak pernah menyentuhmu, lalu anak darimana? Kamu lupa, kenapa mereka memaksaku untuk menikahimu? Karena kamu hamil anak Niko. Sedang pria b******n itu justru kabur di hari kalian seharusnya menikah,” lontar Ezra ketus. “Zra ….” “Kalau Lala mencari papanya, antar anakmu ke rumah keluarga Baskara! Bukan malah tidak tahu malu memaksaku mengakuinya anak! Kamu salah tempat membuat drama murahan seperti ini di sini!” bentak Ezra tidak memberi celah Hanum, untuk melanjutkan ocehan ngelanturnya itu. “Kamu masih saja tidak punya hati seperti dulu! Biar bagaimanapun kamu yang berstatus sebagai papanya saat Lala lahir!” geram Hanum tidak terima Ezra cuci tangan tidak mau mengakui Lala anak. “Tante nggak malu memaksa orang mengambil tanggung jawab yang bukan kewajiban dia menanggungnya? Dulu Om Ezra sudah berbaik hati menggantikan pria itu menikahi Tante. Kenapa malah Tante jadi tidak tahu diri begini?!” sahut Hera dengan seringai tengilnya. Tidak ada lagi amarah yang dia tunjukkan seperti tadi. “Tutup mulutmu! Bocah kemarin sore sepertimu tahu apa?! Jangan lancang menyela pembicaraan kami!” gertak Hanum emosi mendengar ucapan kasar Hera. Sayangnya dia belum paham siapa Hera. Cucu keluarga Wijaya yang biasa dengan kehidupan liar berkelahi di jalanan dan balapan. Tidak mempan jika cuma digertak oleh perempuan asing yang sengaja datang untuk bikin kisruh. Kakek Hera duduk tenang. Yakin cucunya mampu menyelesaikan masalahnya kali ini. “Jadi urusanku, karena yang kamu usik adalah calon suamiku. Kalau bocah itu adalah anak kandung Om Ezra, tentu saja aku tidak akan ikut campur. Masalahnya Om Ezra terpaksa menikahimu yang sudah hamil anak orang lain dan status kalian sudah cerai. Kamu tidak berhak menuntutnya bertanggung jawab soal anak itu!” balas Hera dengan suara meninggi. “Cucu konglomerat, tapi kasar dan tidak punya etika! Apa begini didikan orang tuamu?! Tidak sopan!” cibir Andika. Xena sudah mendelik hendak berdiri mendengar mulut kurang ajar mantan mertua Ezra, tapi papa Hera buru-buru menarik lengan istrinya. “Maksudmu aku tidak bisa mendidik anak. Begitu? Aku yang seharusnya bertanya, kamu bisa mendidik anakmu, tidak?! Baru kali ketemu orang tidak tahu malu seperti kalian. Anakmu hamil dengan pria lain, tapi Ezra yang ketiban sial dipaksa menikahi dan bertanggung jawab. Bahkan, setelah cerai masih menguber-uber minta pengakuan. Eh, situ waras?!” seru Xena geram bukan main. Andika langsung kicep. Ngeri melihat perempuan berambut pendek dan tangan dipenuhi tato itu mendelik dengan muka beringasnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa Herman Wijaya mau punya menantu wanita preman seperti itu. Lala mendusel ke belakang punggung mamanya. Sudah hampir mewek karena takut melihat mereka saling teriak. “Haish, ngeselin!” dengus Hera beranjak berdiri dari duduknya. “Beb!” panggil Ezra yang mengira Hera ngambek. “Aku haus, mau minum!” seru gadis itu ngeloyor ke belakang. Hanum dan papanya tak urung menghela nafas kasar. Mulai ciut nyalinya melihat perangai kasar mereka yang jauh dari prediksi mereka. Tadinya dikira keluarga konglomerat orangnya pasti kalem, tahu cara menghargai tamu. Tidak tahunya malah kasar seperti preman pasar semua. Sampai kemudian mata Hanum mendapati tato di leher Ezra. Dia mengernyit mencoba membaca huruf disana. Alfa Hera. Tanpa sadar bibirnya mendecih. Entah apa kelebihan bocah ingusan tidak punya sopan itu, sampai-sampai namanya pun Ezra bikin tato di lehernya. “Jangan buang waktuku! Kami kesini untuk liburan. Katakan sebenarnya apa mau kalian!” lontar Ezra sudah jengah terjebak di suasana tidak menyenangkan ini. “Rujuklah dengan Hanum. Jadi papanya Lala. Kalian bisa memulainya lagi dari awal. Hanum sudah banyak berubah. Tidak lagi emosian dan semaunya sendiri seperti dulu. Biar bagaimanapun kamu yang pernah berstatus sebagai papanya Lala,” ucap Andika dengan entengnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD