Seperti yang Ezra bilang, dia benar-benar datang ke Freya untuk membatalkan rencana prewedding itu. Begitupun setelahnya Ezra menemui kakek dan orang tua Hera untuk memberitahukan soal itu. Dia berusaha menjelaskan sehati-hati mungkin, supaya tidak malah jadi salah paham. Prewedding nanti akan mereka lakukan lain kali. Kalaupun tidak sempat ke Lombok maupun Bali juga tidak apa. Dan tentu saja akan cari fotografer lain untuk menghandlenya.
Bukan maksud mereka menolak niat baik Freya maupun Biru, yang selama ini juga selalu menghandle prewedding para keponakannya. Hanya tidak ingin merasa terbebani. Paham apa yang Ezra dan Hera rasakan, mereka pun tidak mempermasalahkannya. Meski tadinya justru Freya yang sempat ngotot melanjutkan rencana.
Seberapa berarti keluarga Wijaya bagi Freya, semua orang juga tahu itu. Mereka punya jasa besar membantu Freya dan mamanya ketika masih hidup susah, sebelum akhirnya bertemu dengan Jonathan Lin. Dia dan papanya Hera besar bersama layaknya saudara. Mana mungkin sekarang gara-gara kisruh soal hati anak mereka, lantas sampai membatalkan soal prewedding.
Selesai makan pagi mereka pergi ke tempat permainan sky board. Yang lain sampai gedek melihat Ezra membawa Hera jumpalitan dan berputar-putar di udara. Sebentar kemudian mereka menukik tajam amblas ke dalam air, lalu tiba-tiba muncul ke permukaan dan melesat melayang ke atas sana.
Hera yang biasa menantang bahaya malah tertawa tergelak nemplok di gendongan Ezra menikmati permainan itu. Baru setelah puas bermain Hera balik ke hotel untuk ganti baju, sedang Ezra di sana lanjut ngobrol dengan teman-temannya sambil momong anak mereka. Biru, Juna dan Elang yang tadi sempat mengabadikan semua dengan kamera drone tampak puas dengan hasil bidikannya.
“Cello lusa mau ke Bali dulu. Ikut, nggak? Deva sama aku mau ikut kesana. Dia mau ketemu sepupunya yang kemarin tidak bisa datang,” lontar Daren.
“Boleh, tapi nanti aku tanya dulu Alfa mau ikut nggak,” sahutnya. “Rencana berapa hari disana?”
“Paling cuma sehari. Deva kan nggak bisa lama-lama absen,” jawab Daren.
“Kenapa? Kamu ada acara?” tanya Cello menyuapi bubur buah anaknya. Istri mereka pergi SPA. Anaknya sama bapaknya ditemani para baby sitter.
“Ada klien penting mau bikin tato di punggung. Sudah bikin janji dari seminggu lalu. Maunya aku sendiri yang handle,” terangnya.
“Bang Ezra ….”
Ezra yang dipanggil, tapi mereka semua yang menoleh. Karena kenal itu suara Langit. Ezra tersenyum melambaikan tangan mengajak Langit duduk di kursi kosong sampingnya.
“Sini! Mau main sky board?”
“Bukan. Mau minta waktu sebentar bicara sama Bang Ezra. Boleh?” tanyanya mendekat dengan muka canggung.
“Tentu saja. Ayo kesana!” angguk Ezra, kemudian beranjak bangun menunjuk ke meja di kafe taman tak jauh dari situ.
Mereka saling lempar pandang, lalu menatap dua orang yang berjalan beriringan menuju kafe. Sedang menerka-nerka apa yang ingin Langit bicarakan ke Ezra.
Menunggu Ezra yang memesan minuman, Langit melempar tatapannya ke sekitar. Sky board akan selalu mengingatkan mereka akan lamaran romantis omnya ke Keyra yang bikin semua orang meleleh. Namun, mulai sekarang sudah berganti pemerannya dengan cerita yang beda pula.
“Diminum!” Ezra meletakkan segelas jus jeruk untuk Langit, sedang dia sendiri memesan ice americano coffee.
“Terima kasih, Bang.” Langit meraih gelasnya dan meneguk hingga sepertiga.
“Bagaimana kuliahmu, Gala, dan Al disana? Betah?” tanyanya berbasa-basi. Sedikit kaku karena mereka memang tidak seakrab itu. Terlebih sejak dulu Langit sengaja jaga jarak dengannya gara-gara Hera.
“Hm, sekarang sudah mulai betah. Apalagi nanti ada Dewa, Kenan, dan Kinan yang juga kesana,” jawabnya.
Ezra manggut-manggut. Dia juga bingung mau mengajak mantan rivalnya itu ngobrol apa. Mereka berdua tidak pernah ribut gara-gara Hera, ataupun bicara tidak mengenakkan. Selama ini Ezra selalu pilih diam atau menyingkir jika ada Langit di dekat Hera, karena tidak ingin ada keributan
“Bang ….”
“Iya ….”
“Aku minta maaf kalau karena sikap kekanakanku, membuat Bang Ezra dan Hera tidak nyaman. Apa yang terjadi dulu itu murni kesalahanku, tidak bisa berpikir dewasa dan gegabah. Aku juga egois tidak memikirkan dampak sikapku yang kemudian menyakiti hati Hera. Kalau ditanya apakah aku masih cinta Hera? Tentu saja masih. Tapi, setelah semalam ngobrol dengan papa dan merenung, aku tahu tidak seharusnya jadi sandungan kebahagiaan kalian dengan sikapku yang tidak jantan tidak siap kalah. Maaf, untuk kejadian semalam,” ucap Langit dengan raut tenangnya.
“Tidak apa-apa, aku dan Hera bisa memaklumi itu. Kamu masih butuh waktu untuk move on. Justru aku yang minta maaf, karena sudah mengambil Hera. Kamu cinta ke dia, aku pun sama. Bahkan, tidak kalah besar dari perasaanmu ke dia. Itu kenapa sejak awal aku juga tidak bisa mundur. Maaf, kalau kemudian kebersamaan kami menyakitimu,” tanggap Ezra.
“Itu namanya persaingan yang fair, Bang. Sekarang aku merasa malu, merasa seperti pecundang yang belum siap kalah. Sampai-sampai kalian harus membatalkan prewedding demi menjaga perasaanku.”
“Bukan begitu, Langit. Kami hanya ….”
“Tolong jangan dibatalkan prewedding nya, Bang! Besar bersama, aku sangat tahu Hera orangnya perasa dan sensitif. Dia pasti tidak ingin menyakitiku. Dasar bodoh! Padahal aku sudah dengan sadar melukainya habis-habisan. Betapa brengseknya aku ke dia dulu! Dan setelahnya masih tidak tahu malu malah mengejarnya,” ucap Langit menunduk dengan helaan nafas kasarnya.
Ezra tidak tahu lagi harus ngomong apa. Mau dihibur dengan cara apapun, jelas tidak akan menyembuhkan patah hatinya saat ini.
“Prewedding bisa kami lakukan lain kali, tidak harus juga di Lombok. Lagipula semalam itu ide dadakan mereka. Aku dan Hera sudah ingin menolaknya, tapi tidak enak hati ke mereka,” terangnya.
“Karena itulah aku minta kalian tidak membatalkannya. Benar kata papa, awal mula masalah ini karena kesalahanku sendiri. Jadi sudah seharusnya aku belajar menerima konsekuensinya. Pembelajaran buatku kedepannya nanti untuk tidak gegabah mengambil langkah. Apalagi sampai sengaja menyakiti orang lain. Tidak semua penyesalan bisa dibayar dengan kata maaf. Sekarang aku paham itu!” Langit mendongak menatap Biru yang tengah menggendong Kenes bermain skyboard.
“Soal prewedding nanti akan aku bicarakan lagi dengan Hera. Kamu tidak perlu berpikir sejauh itu. Dia sudah baik-baik saja sekarang. Juga berharap kamu bisa menemukan kebahagianmu seperti dirinya.”
“Hm,” angguk Langit tersenyum, lalu meneguk minumannya.
“Bang Ezra beruntung bisa memilikinya. Hera itu biarpun pecicilan, agak oneng, dan bar-bar. Tapi, aslinya berhati lembut dan penyayang.”
“Iya, aku tahu dia memang seistimewa itu!” angguk Ezra setuju.
“Titip Hera ya, Bang. Aku sudah jahat melukai hatinya. Biarpun rasanya sakit melihat dia bahagia bersama pria lain, tapi aku juga lega karena dia sudah bersama orang yang tepat. Kayak yang Jingga katakan, cuma Bang Ezra yang bisa jadi control remote bagi dia. Aku belum tentu mampu melakukan itu!” ucap Langit.
"Terima kasih sudah berlapang dadaa menerima hubungan kami. Jangan khawatir, aku akan menjaga dan membahagiakan Hera. Pasti setelah ini kamu pun akan bertemu seseorang yang istimewa dan mampu membuatmu jatuh cinta lagi. Kamu hebat bisa melawan rasa sakitmu dan meluruskan semua masalah ini. Om Ibra tidak pernah gagal mendidik anak-anaknya!” Ezra akhirnya benar-benar bisa bernafas lega.
“Prewedding nya jadi, kan?” tanya Langit.
“Nanti aku tanya Hera dulu, ya? Itu orangnya sudah datang!” Ezra mengedikkan dagu ke arah calon istrinya yang datang berangkulan dengan Jingga, sambil menggandeng Sakti.
Hal yang patut mereka acungkan jempol, karena meski tersakiti oleh Langit, tapi Hera tetap lengket dengan Jingga yang notabenenya adalah saudara kembarnya Langit. Begitupun Jingga yang mampu berdiri di tengah. Tidak berusaha membela saudaranya, karena tahu Langit yang salah.
“Bang Ezra, Sakti juga mau main itu!” seru bocah ganteng adik laki-laki Hera itu berlari mendekat, lalu menggelendot di samping Ezra.
“Memangnya Sakti nggak takut?" tanya. Ezra tersenyum merangkul calon iparnya.
“Nggak, kan digendong Bang Ezra kayak Kak Hera tadi.”
“Ok! Setelah ini kita main itu!” angguk Ezra.
Kalau Hera menurun sifat badas mama dan kakeknya, maka Sakti ini adalah tipe anak emak yang plek ketiplek kayak papanya. Begitu mendekat Hera yang sempat bertukar pandang dengan Langit hanya diam menyusul duduk di kursi sebelah Ezra. Sedang Jingga di samping saudara kembarnya.
“Alfa,” anggil Ezra.
“Ya,” Hera menoleh. Tampak gusar, karena khawatir keduanya habis bersitegang.
“Langit ingin kita melanjutkan rencana preweddingnya. Menurutmu sendiri gimana?”
Hera ganti menoleh ke Langit. Bingung harus menjawab apa. Jadi dia beralih ke bestienya.
“Lanjutkan! Kalian batalkan justru bikin mama tidak enak hati ke keluargamu. Prewedding para keponakannya kan mama sendiri yang handle. Masa giliran kamu malah kacau begini?!” ujar Jingga.
“Tapi, ….”
“Aku tidak apa-apa, Ra! Justru kalau kalian begini malah membuatku merasa brengsekk,” sahut pria ganteng kayak Ibra dan kalem mirip Freya itu.
“Langit ….”
“Sekali lagi aku minta maaf atas apa yang aku lakukan padamu dulu. Sengaja atau tidak, aku telah menyakitimu. Selamat untuk rencana pernikahan kalian!” ucapnya tersenyum mengulurkan tangan ke Hera.
“Terima kasih. Doa terbaikku buatmu, Langit! Semoga lancar kuliahnya dan sukses ke depannya. Semoga juga secepatnya bisa bertemu gadis yang jauh lebih pantas, cantik, dan sepadan.” Hera tersenyum menyambut uluran tangan Langit.
“Hm,” angguk Langit.
Selesai, akhirnya permasalahan mereka berakhir damai. Meski mereka sama-sama tahu Langit masih butuh waktu entah sampai kapan, untuk bisa move on dan sembuh dari sakitnya.
“Om, aku mau keluar sama mereka. Pulangnya nanti agak sorean. Boleh, ya?” ucap Hera nyengir minta izin calon suaminya.
“Mau kemana?” tanya Ezra mengusap peluh di dahi Hera.
“Ke villa temanku, Bang. Yang kemarin ketemu kami di sini itu! Dia ulang tahun hari ini,” jawab Jingga.
“Ok. Hati-hati!”
Mereka bertiga beranjak bangun berangkat ke villa temannya. Namun, saat Langit dan Jingga sudah di depan, Hera justru berbalik berlari ke arah Ezra.
“Ada yang ketinggalan, Om!” serunya.
“Apa?” Ezra celingukan melihat ke kursi dan atas meja. Hingga kemudian dia melongo kaget begitu Hera mencium pipinya, lalu buru-buru kabur.
“Hati-hati, Beb!” serunya.
“Iya!” teriak gadis kesayangannya itu nyengir, lalu berlari menyusul Langit dan Jingga.
Lega, itu yang Ezra rasakan sekarang. Dia menuntun Sakti kembali ke tempat dimana teman-temannya masih nongkrong di sana. Benar saja, begitu duduk dia langsung dicecar pertanyaan.
“Bukan janjian mau sikut-sikutan, kan?” gurau Daren cengengesan.
“Ngawur!” sahut Ezra kemudian menceritakan pembicaraan mereka tadi.
“Good job! Syukurlah kalau kalian bertiga bisa sama-sama berpikir jernih,” sahut Liam.
“Memangnya kapan aku berpikiran butek?! Sejak awal aku juga selalu diam. Bahkan, saat Hera dirawat setelah kecelakaan dulu, aku juga mengalah selalu menyingkir kalau Langit datang,” sungut Ezra sambil memakaikan rompi pelampung untuk calon iparnya.
Bocah itu selalu lengket ke Ezra. Padahal dia memanggil Cello, Liam, Daren, Vian dan Deva dengan panggilan om. Tapi, kalau ke Ezra dia panggil bang.
“Cih, kemarin waktu oneng disamperin di belakang bukannya kamu sudah mau ngreog!” cibir Cello.
“Karena seharian aku sudah dibuat jengkel kena ganggu terus. Kalian tahu nggak, kemarin di pantai aku sudah berniat melamar Hera. Tidak tahunya malah Hanum dan bapaknya datang ngerusuh. Mana anaknya panggil aku papa lagi. Jantungku sudah mau copot, takut Hera salah paham. Eh, malamnya sudah menyiapkan lamaran dengan kembang api hampir gagal lagi. Gimana aku tidak emosi, coba?!” ujar Ezra.
Dia tersenyum mengacak rambut Sakti setelah selesai memakaikan rompi pelampungnya. Anaknya penakut dan cengeng. Berbanding terbalik dengan Hera yang pecicilan.
“Yuk! Kita naik sky board! Nggak boleh nangis! Bang Ezra mainnya di tempat yang tidak terlalu tinggi, biar Sakti nggak takut. Ya?” bujuknya.
“Iya.”
Baru saja dia mau beranjak ponselnya yang ditaruh diatas meja berdering pelan. Ezra membuka pesan masuk dari nomor asing itu.
“Dasar pengkhianat! Kamu datang sendiri ke hadapanku, atau aku hancurkan tempatmu?!”