Kisruh hubungan Hera dan Langit sebenarnya sudah dimulai sejak setahun lalu. Tepatnya menjelang keberangkatan Langit dan Gala, kedua anak Ibra itu kuliah ke London. Andai saja Langit tidak salah ambil langkah, mungkin lain lagi ceritanya. Kisah cintanya dengan Hera juga akan terwujud, meski di awal harus terpisah jarak.
Iya, Hera memang tidak suka sekolah, tapi demi Langit bahkan dia sudah bertekad untuk mengejar ketinggalannya supaya bisa masuk di universitas yang sama di sana. Secinta itu dia ke Langit. Jadi wajar ketika setelah berjuang mati-matian justru dibalas luka, Hera pun pilih membunuh rasanya tanpa sisa. Terlebih ada Ezra yang mencintainya secara ugal-ugalan, ketika dia jatuh terpuruk dan kehilangan pegangan.
Ibra dan istrinya bergegas menuju resort setelah mendapat telepon dari Gala. Kondisi Langit tidak baik-baik saja. Apalagi setelah menyaksikan sendiri lamaran romantis Ezra ke Hera di villa barusan. Sejauh ini Ibra sendiri tidak pernah ikut campur masalah hati anak-anaknya. Dia selalu memberi kebebasan dalam hal apapun ke mereka, dengan catatan tahu batas.
“Tantrum juga dia akhirnya.” Ibra tersenyum menggeleng.
“Bang ….” Freya, istri Ibra yang telah memberinya lima anak itu merengut karena suaminya malah bercanda. Padahal dia sudah khawatir setengah mati mendengar anak sulung mereka mengamuk mengorat-arit kamarnya di hotel resort.
Merangkul pinggang istrinya masuk ke lift, Ibra tetap saja terlihat tenang. Dia sangat paham sifat dari anak-anaknya. Dibanding yang lain, Langit itu lebih lembut dan yang paling serius dalam hal akademik.
“Mungkin dulu waktu kita nikah Jo juga tantrum gini ya, Yang?” gurau Ibra lagi-lagi tersenyum ingat kisah cinta mereka dulu.
“Kenapa malah bahas itu lagi? Kalau dulu kan kita beneran nggak tahu Bang Jo suka ke aku,” sahut Freya.
“Memangnya kalau sejak awal tahu, kamu mau pacaran sama si anak emak?” Ibra melirik istrinya yang mulai greget menyikut perutnya.
“Ngawur!”
Tergelak Ibra merangkul leher istrinya, lalu mencium pipi Freya gemas. Dua puluh tahun lebih menikah, mereka dikaruniai dua pasang anak kembar dan si bontot Kenes yang jago bikin darah tinggi. Tidak ada kata jenuh bagi Ibra dalam menjalani pernikahannya. Justru dia makin cinta dan menikmati perannya sebagai suami, orang tua dan pimpinan utama LinZone.
“Apa mending besok aku bawa Langit balik dulu ke Jakarta saja ya, Bang? Kasihan kalau tetap di sini dan lihat kebahagian Hera sama Ezra. Mereka kan mau langsung bikin prewedding sekalian.” Freya tampak ragu.
“Tapi kan tadi kamu sudah menyanggupi untuk menghandle pre wedding mereka, Yang. Langit juga harus belajar menerima konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Ini baru urusan pribadi, dia sudah lembek. Terus kalau yang dia pegang LinZone, gimana? Berapa puluh ribu pegawai yang akan ikut menanggung akibatnya?” ucap Ibra kurang setuju dengan pemikiran istrinya.
“Aku cuma tidak tega,” gumam Freya buru-buru keluar begitu pintu lift terbuka di lantai atas.
Freya Lin dulu seorang foto model yang kemudian alih profesi sebagai fotografer. Anak konglomerat Jonathan Lin. Pemilik perusahaan farmasi terbesar, LinZone. Ibra sendiri sebelum menikahi Freya dan mengambil tumpu pimpinan atas perusahaan mertuanya, dia juga punya bisnis perhotelan. Abraham hotel dipegang oleh Dirga adiknya. Resort di Bali dan Lombok, juga dua nightclub elit Mirror yang berada di bawah tanggung jawab Jingga. Langit sendiri sedang dipersiapkan untuk menjadi pengganti Ibra nantinya memimpin LinZone.
“Jangan terlalu khawatir gitu, Yang! Anak kita hanya patah hati, bukan patah kaki!” Ibra kembali meraih tangan istrinya dan menggandengnya. Rasanya aneh saja kalau jalan sama istrinya, tapi tangan mereka tidak gandengan.
“Justru karena patah hati lebih sakit dari patah kaki, makanya aku khawatir! Langit biasanya paling kalem dan tidak pernah sampai tantrum gini. Bagaimana aku tidak khawatir coba?!” ucap Freya mempercepat langkahnya begitu melihat anak-anaknya yang lain berdiri di depan pintu kamar yang ditempati Langit.
Karena semua kerabat besar datang, jadi kamar di villa dipakai untuk para orang tua. Sementara anak-anak mereka menempati kamar hotel.
“Ma …,” panggil Gala, anak angkat mereka yang juga tunangan Jingga. Ada Sagara dan Biru juga yang mondar-mandir disana.
“Gimana Langit?” tanya Freya cemas.
“Masih ngamuk di dalam. Jingga minta kami menunggu di luar dulu sampai Langit agak tenang,” jawab Gala.
Menggunakan kartu master yang dipegangnya, Ibra pun dengan mudah membuka pintu kamar anaknya. Gala, Sagara dan Biru ikut melongok keadaan di dalam sana. Jantung Freya seperti diremas mendapati kondisi kamar anaknya yang hancur berantakan.
“Masuk!” ajak Ibra ke anak istrinya.
Jingga duduk di sofa mengawasi saudara kembarnya yang kelelahan menyandar di lantai. Ibra melangkah menghampiri anak sulungnya yang hanya diam dengan nafas masih terengah. Sementara Freya ke rak penyimpanan kotak obat. Gala, Sagara, dan Biru menyusul Jingga di sofa. Memberi waktu papanya untuk bicara dulu dengan Langit.
“Sudah puas mengamuknya?” tanya Ibra menyusul duduk di lantai di sebelah anak sulungnya itu. Dia menoleh dengan senyum tipis merangkul bahu Langit yang diam dengan muka muram.
“Gentle dong! Masa anak Papa lembek gini?! Kalah menang itu biasa. Patah hati juga setiap orang pasti ngalamin. Yang penting harus ingat, jangan jadi pecundang hanya karena tidak siap kalah! Hera sudah move on dan menemukan bahagianya. Jangan membuatnya merasa tidak enak hati dengan melihatmu seperti ini, karena awal masalah datang dari kamu!”
“Aku menyesal, Pa. Dulu kenapa setolol itu malah mendorongnya menjauh dengan cara menyakitinya. Harusnya aku bicara baik-baik. Harusnya aku merayunya untuk menyusulku di tahun berikutnya! Aku takut tidak kuat menjalani hubungan terpisah jarak. Tapi, ternyata kehilangan dia jauh lebih menakutkan.” ucap Langit mengusap wajahnya kasar.
“Sesalmu tidak akan merubah apapun. Kalau kamu benar-benar merasa bersalah ke Hera, maka berlapang hati lah menerima keputusan dia untuk menikah dengan Ezra! Itu satu-satunya cara yang biaa kamu lakukan untuk menebus kesalahanmu dulu!” Ibra mengusap kepala anaknya yang menunduk lunglai.
“Sakit melihat dia bahagia dengan pria lain,” gumam Langit.
Freya mendekat dan ikut duduk di sebelah anaknya dengan membawa kotak obat. Sagara beranjak ke kamar mandi mengambil handuk kecil basah, lalu memberikan ke mamanya.
“Bukan jodohmu, biar mau dikejar ke ujung dunia pun tidak bakal bisa bersatu, Bang! Seperti Hera yang dipertemukan dengan Ezra, suatu saat nanti kamu juga pasti bertemu gadis yang digariskan jadi jodohmu! Dunia Langit tidak sebatas seorang Hera,” ucap Freya membersihkan tangan anaknya yang ada bekas darah dengan menggunakan handuk basah.
“Sakit, Ma,” Langit mendesis. Sedikit menunduk Freya meniup luka bekas kena pecahan kaca di punggung tangan anaknya, lalu mulai mengobatinya.
Ganti Sagara yang datang membawa sebotol air putih dingin untuk abangnya. Gala dan Jingga juga ikut nimbrung duduk di lantai mengelilingi Langit yang meringis tangannya diobati mama mereka.
“Jangan hanya karena masalah ini, lantas nanti kamu menjauh dari Hera. Bersikaplah jantan layaknya laki-laki. Dulu Papa dan Om Jo juga pernah berantem sampai dia babak belur Papa tonjok. Gara-gara rebutan mamamu. Cuma bedanya, Om Jo tidak jujur dari awal kalau suka ke mama kalian. Dia malah koar-koar saat Papa sudah melamar mama kalian!” Ibra bercerita sambil menatap istrinya yang mengulum senyum.
“Habis itu kalian musuhan nggak, Pa?” tanya Sagara.
“Nggak,” geleng Ibra. “Meski setelahnya hubungan kami sempat canggung, tapi Papa dan Om Jo sama-sama tetap merangkul. Yang ingin Papa sampaikan ke kalian, jangan sampai karena urusan hati, lalu rusak hubungan pertemanan dan saudara. Seperti apa dulu Papa mati-matian berdiri di tengah antara Om Dirga dan Om Bian, saat mereka bersitegang soal Keyra, kalian pasti juga tahu sendiri. Karena sahabat, saudara dan keluarga sama pentingnya!”
“Jadi Langit, jangan karena patah hati lantas merusak hubungan pertemananmu dengan Hera maupun Ezra! Kehilangan Hera membuatmu sakit, Papa tahu itu. Kamu juga butuh waktu untuk move on. Silahkan ambil waktu sebanyak yang kamu perlukan, sampai benar-benar bisa berdamai dengan kekecewaanmu! Ya?” ujarnya menepuk bahu anaknya.
“Hm,” angguk Langit.
“Gitu dong!” Gala tersenyum mengangkat tangannya, lalu keduanya adu kepalan.
“Aku punya teman yang mirip Oneng. Nanti balik ke London, aku kenalkan!” ucap Gala.
Langit tidak menjawab, tapi malah melirik ke Jingga yang menyeringai. Seperti sadar sesuatu, Gala menoleh gelagapan.
“Cuma teman, Ayang! Sumpah! Tanya saja Langit! Aku tidak pernah keluar nongkrong bareng cewek!” jelasnya ke Jingga yang bahkan tidak mengatakan apapun.
“Kamu mau nongkrong atau kencan dengan siapapun itu urusanmu! Tapi, sekali saja aku tahu kamu bermain api di belakangku, kita selesai! Mau dibawa kemana hubungan kita, keputusan ada di kamu. Aku tidak menuntut apapun, selain setia. Kalau cuma satu itu saja kamu tidak sanggup, maaf, aku terlalu berharga untuk pria yang tidak bisa dipercaya!” tegas Jingga.
“Sumpah! Setahun ini aku cuma sibuk kuliah!”
Jingga tidak menanggapinya. Gala sejak jaman SMA memang selalu dikerubuti para wanita. Itu tak lepas karena muka ganteng dan sikap ramahnya yang kadang terlalu baik memperlakukan orang, hingga banyak wanita salah mengartikannya. Dulu Jingga tidak peduli, tapi beda urusannya ketika Gala mengajaknya bertunangan sebelum berangkat ke London. Satu poin penting yang dia selalu tekankan. Tidak ada kata maaf untuk perselingkuhan!
“Pa, beneran aku tidak pernah aneh-aneh di sana!” Panik, Gala menoleh ke papanya.
“Kalau begitu pegang terus janjimu! Kesalahan apapun Papa bisa bantu kamu selesaikan, tapi kalau sampai selingkuh silahkan selesaikan sendiri dengan calon istrimu!” tegas Ibra.
“Tuh, dengerin! Makanya jangan suka obral senyum!” timpal Biru terkekeh kena toyor abangnya.
Bel pintu berbunyi. Sagara bergegas bangun membukakan pintu. Ibra kembali merangkul anak sulungnya yang sekarang sudah bisa tersenyum saat dilempar handuk oleh kembarannya. Sementara tangannya yang satu menggenggam jemari istrinya.
“Lain kali jangan membuat khawatir seperti itu! Kalau kamu sakit, aku juga sakit!” ujar Jingga.
“Cih, tapi dari dulu kamu ogah membantuku membujuk Hera!” Langit merengut.
“Karena dia bagiku juga seperti saudara kembar! Aku tahu dan melihat sendiri sehancur apa dia karena kelakuanmu. Kalau kamu ingin tahu kenapa Hera bisa secinta itu ke Bang Ezra, padahal sebelumnya dia mati-matian mengejarmu. Karena Bang Ezra yang selalu ada di samping Hera selama ini. Menemani saat dia menangis, tanpa bertanya kenapa? Mendengar dia bercerita, tanpa menghakimi. Memberikan bahunya untuk bersandar, ketika Hera hilang pegangan!” terang Jingga dengan helaan nafas panjangnya menatap Langit iba.
“Aku adalah orang yang tadinya paling berharap kamu dan Hera bisa bersama, tapi sekarang tidak lagi. Hera memang butuh orang seperti Bang Ezra untuk mengontrol hidupnya. Buktinya sejak ada Bang Ezra, dia tidak seliar dulu sering kelayapan balapan. Maaf, Langit! Tapi, aku berharap kalian bisa bahagia dengan jalan kalian sendiri-sendiri. Seperti kata Papa, apapun alasannya kita pertahankan persahabatan! Ya?”
“Hm,” angguk Langit.
“Abang!” setu Kenes setelah berlari mendekat ke Langit dengan muka hampir mewek.
Langit akhirnya bisa tertawa begitu adik bontotnya itu menghambur memeluknya. Kenes yang biasa pecicilan dan judes, menangis melihat kamar berantakan dan tangan abangnya terluka.
“Jangan sakit, Abang! Siapa yang jahat, nanti biar Nes balas!” ucapnya.
“Haish! Sok-sokan! Memangnya kamu bisa berantem! Joget melulu hobimu kayak Juna!” olok Biru.
“Suruh Comel yang hajar! Nes cuma nungguin!” sahutnya sampai mereka tertawa ngakak.
Kakek nenek mereka datang menyusul. Adnan dan Dewi, orang tua Ibra. Juga Jonathan Lin dan Aida, orang tua Freya yang selama ini menemani Langit juga Gala tinggal di London.
“Cucu Oma patah hati beneran ini?” goda Dewi terkekeh.
“Akan hadir pelangi buat Langit nanti. Sama seperti Hera yang menemukan semestanya dalam diri Ezra! Kita tidak bisa belajar tanpa rasa sakit. Jadikan ini pelajaran buat kalian! Jangan pernah bermain-main dengan hati! Belajar menghargai hal sekecil apapun yang mungkin menurut kalian sepele, tapi berarti bagi orang lain. Paham?” lontar Jonathan Lin.
“Iya, Opa,” jawab mereka nyaris bersamaan.
Ibra berdiri dan menarik lembut istrinya. Begitupun mereka yang mengikuti papa mamanya beralih duduk di sofa. Kenes beralih duduk di pangkuan papanya. Menggelendot sambil mengusap-usap jambang tipis papanya.
“Langit …” panggil Freya.
“Iya, Ma.”
“Hera dan Ezra akan sekalian melakukan prewedding di sini. Mama dan Biru yang akan menghandlenya. Kalau kamu merasa belum siap dengan situasi seperti ini, nanti bisa balik dulu ke Jakarta. Gimana?”
“Biar kami temani nanti kalau kamu mau pulang duluan,” sahut Adnan, opa mereka.
“Nggak, aku akan disini dan pulang bareng kalian. Terlanjur sakit, ya sudah biar sakit sekalian! Lebih gampang move on nya!” kata Langit.
Kurang ajarnya saudara-saudaranya malah tertawa. Ibra menoleh ke istrinya yang tersenyum lega. Tidak mudah mengurus dan mendidik enam anak dengan karakternya masing-masing. Terutama Jingga yang mewarisi darah dingin papanya. Sedang Gala, Ibra dan Freya punya tanggung jawab lebih karena mereka mengadopsi dari sahabatnya yang meninggal.
Sahabat yang pernah membuat mereka menangis dan tenggelam dalam penyesalan seumur hidup, karena tidak bisa berbuat apa-apa saat melihat Raka mati tertembak di depan mata. Itulah kenapa Ibra kemudian mengadopsi Gala. Membesarkan seperti anak sendiri, bahkan akan jadi menantu.
“Papa mau ke Mirror, kalian mau ikut nggak?” tawar Ibra ke kelima anaknya.
“Nes ikut, Pa!” seru si bontot.
“Anak kecil nggak boleh kesana! Nes sama mama balik ke villa. Besok Papa temenin main skyboard lagi. Ya?” Gemas, Ibra mencium pipi anaknya yang suka bikin darah tinggi mereka kumat itu.
“Iya,” angguk Nes.
“Besok kalau ketemu Ezra dan Hera kasih ucapan selamat. Anaknya Ibra harus gentle! Ok?” Ibra tersenyum mengacak rambut putra sulungnya.
“Ok!” angguk Langit mantap.
Ibra menghela nafas lega. Berat tanggung jawabnya mendidik anak, terlebih dengan kesibukannya yang menyita waktu. Tapi, dengan kasih sayang, komunikasi dan memberi mereka kepercayaan, nyatanya sejauh ini dia sanggup mendidik mereka dengan baik.
Membawa Jingga ke jalan terjal untuk mewarisi kekuasaannya, sebenarnya juga pilihan yang sulit bagi Ibra. Apa boleh buat, memang hanya Jingga yang mampu. Biru sedang dia didik ke arah sana. Langit yang terlalu lembut, butuh pendamping dengan karakter keras seperti Biru untuk melanjutkan roda perusahaan.