Bab 4. Kematian Janggal Keluarga Ezra

1980 Words
Sadar kalau Ezra tidak mungkin bisa digertak, akhirnya Hanum dan papanya pun pilih undur diri. Bukan! Lebih tepatnya terpaksa pergi karena diusir. Padahal saat datang tadi mereka sudah begitu yakin, bakal berhasil membuat Ezra menuruti permintaan rujuk Hanum. Sayang, ternyata pria itu bukan lagi Ezra yang dulu tunduk apapun perintah Helmi Baskara. Bukan pula pria bodoh yang rela menafkahi Hanum sekeluarga, padahal mereka hanya menikah di atas kertas. Tidur pun pisah kamar dan tidak pernah akur dengan Hanum. Ezra yang sekarang jelas membuat Hanum tergiur. Bukan cuma karena ketampanannya yang makin matang, tapi juga sudah sangat mapan. Mereka tidak sengaja menemukan keberadaan Ezra dari salah seorang teman Hanum, yang kebetulan datang bikin tato di studio milik Ezra. Jadilah dia kemudian diam-diam mencari tahu semua hal soal mantan suaminya itu. Hanum sengaja menyusul ke Lombok. Kenapa? Karena tahu Ezra pasti sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Dia ingin menunjukkan identitasnya sebagai orang penting di hidup Ezra. Terlebih ada anaknya. Sayangnya semua malah jadi bumerang. Dia bukan cuma ditolak mentah-mentah, tapi juga dipermalukan oleh mantan suaminya itu di hadapan semua orang. Semua rencana dan angan-angannya untuk bisa ikut menikmati kekayaan Ezra pun terhempas. Terlebih keberadaan keluarga Wijaya yang seperti jadi benteng bagi Ezra, hingga tak takut diancam akan memberitahukan keberadaannya ke keluarga Baskara. “Datang juga mereka mencarimu, Zra!” ucap Bian, menantu laki-laki Herman Wijaya yang datang bersama Ibra Abraham boss pemilik resort. Kebetulan mereka berpapasan dengan Hanum dan papanya di teras. “Iya, Om.” Ezra meringis sungkan. Malu jadi bahan tontonan mereka. Bian dan Ibra duduk di sebelah papa Hera. Dulu mereka bertiga semasa mudanya kuliah bareng di Aussie. Sedangkan Xena mama Hera adalah anak angkat keluarga Abraham, sekaligus mantan tangan kanan Ibra mengurus night club miliknya. Jadi jangan heran kalau mama Hera dibilang mirip preman dengan tangan penuh tato, karena dia bukan wanita sembarangan. Masih untung tadi Hanum dan bapaknya tidak dilempar pisau jidatnya saat rusuh di situ. “Ezra …” panggil Herman Wijaya. “Iya, Opa .” “Masalahnya sudah mulai melebar. Aku yakin mereka pasti akan memberitahukan keberadaanmu ke Helmi Baskara. Sekarang apa rencanamu?” tanya kakek Hera. “Belum tahu, Opa. Mereka mendadak muncul dan bikin rusuh. Saya tahu sepicik apa mereka. Jadi mulai sekarang mau tidak mau, saya juga harus siap berhadapan lagi dengan keluarga Baskara,” jawab Ezra. “Yakin sanggup?! Kita sama-sama tahu, Helmi Baskara bukan orang yang bisa dianggap remeh.” sahut Ibra dengan tatapan lekatnya. “Iya, saya tentu saja tahu, Om!” angguk Ezra. Bian tampak gedek menatap pacar keponakannya. Entah Ezra tidak paham maksud Ibra bertanya seperti itu, atau memang sengaja bertahan dengan keras kepalanya. “Apa kamu harus seangkuh itu, sampai sekedar minta tolong ke kami juga tidak mau?! Kami bukan meremehkan kemampuanmu, tapi harusnya kamu juga memikirkan keselamatan Hera! Kalau dua orang tadi mengatakan semua soal kamu ke orang tua angkatmu, maka itu berarti perang dimulai! Yakin kamu bisa melindungi Hera?!” ujar Bian yang memang dikenal dengan mulut tajamnya. Ezra meremas lembut genggaman tangannya ke Hera. Merasa tersentil oleh ucapan Bian barusan. “Maaf, Om. Saya cuma tidak ingin merepotkan orang lain, apalagi jadi beban. Dengan cara apapun saya tidak akan biarkan mereka mengusik Hera," sahut Ezra biarpun dia juga tahu tidak akan segampang itu berhadapan dengan mereka. “Kapan kamu akan menikahi cucuku?” “Yah!” seru Jo, tapi Herman tampak serius menunggu jawaban Ezra yang gelagapan salah tingkah. “Kalian lihat sendiri mereka sekarang makin lengket. Tadi juga sudah dicium-cium di luar sana! Nanti lama-lama kebablasan seperti kamu sama Xena!” dengus Herman ganti mengulik masa lalu orang tua Hera, yang dulu juga hamil duluan. “Haish! Kenapa malah mengungkit lagi soal itu!” sungut Jo. Ibra dan Bian terkekeh ingat dulu Jo yang babak belur kena bogem Xena saat tahu dirinya hamil. Ezra nyengir. Malu ketahuan kakek Hera sudah curi-curi ciuman di pipi cucunya. Mereka hanya tidak tahu, kalau tadi sebenarnya dia sudah berniat melamar Hera. Cuma sayangnya justru berantakan gara-gara kedatangan Hanum. “Aku bukannya mau mendesakmu, Zra! Tapi, mulai sekarang keadaannya tidak akan lagi sama. Masuklah menjadi keluarga Wijaya, supaya aku juga bisa totalitas mengusahakan semua untukmu! Bukan cuma sekedar berlindung dari buruan keluarga angkatmu, tapi membalas mereka!” tegas Herman. Perasaan Ezra menghangat mendengar apa yang kakek Hera sampaikan. Dia bahkan hanya orang yang tidak jelas asal-usulnya. Ibarat hanya tawanan keluarga Baskara yang kabur dan sampai sekarang masih diburu. Namun, konglomerat terpandang seperti Herman Wijaya justru mengulurkan tangan mengajaknya berlindung di istananya. “Secepatnya saya akan menikahi Hera!” ucapnya lantang. Mereka terkekeh melihat Hera menoleh kaget. Jo dan Xena bahkan tertawa melihat anaknya ternyata bisa juga tersipu seperti itu. “Bagus! Atur secepatnya sebelum keadaan jadi kisruh. Awas saja kalau sebelum sah, cucuku sampai kamu apa-apakan!” ancam Herman yang tadi tidak sengaja melihat Ezra memangku dan mencium cucunya di gazebo. “Tidak akan, Opa!” Ezra cengengesan. Iya, makin hari dia merasa kesulitan untuk menahan diri tidak menyentuh lebih ke Hera. Padahal selama setahun ini mereka biasa saja meski sering kemana-mana bareng. Sekarang kalau ketemu, bawaannya dia ingin terus menggandeng, memeluk, juga mencium Hera gemas. “Sebelumnya saya minta maaf, jika kemunculan orang-orang dari masa lalu saya sudah menimbulkan masalah. Saya juga paham, tidak mungkin bisa menghadapi mereka sendirian. Tiba saatnya nanti kalau saya benar-benar harus berhadapan dengan Helmi Baskara, mohon bantuan Opa dan om sekalian. Setidaknya jangan sampai Hera terluka,” ucapnya. “Nah, kalau begini kan enak! Ibarat kamu sudah buka pintu dan mempersilahkan kami masuk!” angguk Ibra. “Kamu masih ingat orang tua kandungmu?” tanya Xena ke Ezra. “Masih,” jawabnya. “Apa yang terjadi sebelum kejadian mereka ditemukan mati bunuh diri!” tanya Xena lagi. “Tidak ada. Semua normal. Cuma dengar mama sempat marah, minta papa berhenti menantang bahaya. Hanya itu yang saya ingat. Keesokan paginya mereka sudah ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa,” jawab Ezra yang ketika itu berusia sepuluh tahun. Mereka saling lempar pandang tanpa mengatakan apapun. Tak lama setelah kematian orang tua dan kedua adiknya, Ezra yang jadi sebatang kara pun kemudian diangkat anak oleh Helmi Baskara. Kenapa bisa begitu? Karena papa kandung Ezra merupakan salah satu anak buah kepercayaannya. Itu sebagian info yang berhasil mereka dapat soal latar belakang Ezra, dan masih terus coba mereka gali lagi sampai sekarang. Yang jelas Ibra dan keluarga Wijaya tidak percaya begitu saja perihal kematian keluarga Ezra. Banyak kejanggalan. Terlebih polisi ketika itu seperti terkesan buru-buru memutuskan menutup kasus ini dengan vonis bunuh diri. “Boleh tanya?” lontar Hera ketika mereka pergi dari villa untuk kembali ke pantai. “Boleh, kan aku sudah bilang akan menceritakan semua ke kamu,” jawab Ezra masing menggandeng tangan kesayangannya. “Om waktu kejadian itu ada dimana? Kok bisa selamat? Sedang yang lain meninggal?” tanya Hera mengernyit merasa ada yang janggal. “Di rumah, tapi tidak tahu kenapa ketika itu aku terbangun di gudang belakang.” Hera menghentikan langkahnya, hingga Ezra pun melakukan hal yang sama. Saling berhadapan, gadis imut itu menatapnya serius. “Om merasa janggal nggak sih? Atau jangan-jangan ini seperti kasus kakaknya Bang Deva. Dibunuh dengan cara seolah bunuh diri, lalu penyelidikan kasusnya dimanipulatif. Kalau dua adik Om tidak selamat, kenapa Om bisa tetap hidup dan berpindah tidur di gudang? Dari sini saja sudah kelihatan ada yang tidak beres!” ucap Hera yang tumben otaknya bisa diajak mikir. Karena biasanya dia tipe gadis yang ogah pusing mikir hal yang ruwet-ruwet. “Iya, aku juga tahu ada yang tidak beres. Sejauh ini aku masih terus mencoba menyelidikinya lagi. Tapi, tidak segampang itu, Ra. Setiap benang yang aku coba telusuri selalu berakhir tanpa hasil. Kalau kasusnya seperti Alana yang dibunuh dan diklaim bunuh diri, maka serapi apapun mereka menyembunyikan bangkai busuknya pasti akan aku kejar,” tanggap Deva. “Kenapa tidak minta bantuan kakek atau Om Ibra? Om kan tahu mereka punya banyak relasi orang-orang penting. Terlebih Om Ibra. Dia kalau sudah turun tangan nyeremin!” “Aku cuma tidak mau merepotkan orang lain, tapi akan aku pertimbangkan,” angguk Ezra kembali melangkah menggandeng Hera. “Aku mau main air,” ucap Hera yang tadi belum sempat keturutan bermain ombak. “Sudah hampir senja, Beb. Anginnya kencang. Main air nanti masuk angin!” tegur Ezra. “Kalau gitu aku nyusul Jingga dan yang lain di tempat skyboard. Seru juga main disana!” Ezra langsung menoleh tidak suka, tapi juga tidak seenaknya melarang. Pasti ada Langit di sana. Ezra tak ingin mereka dekat-dekat. Di kata kolokan ataupun posesif juga tidak apa. Yang jelas dia cemburu melihat keduanya berdekatan, bahkan meski tidak saling mengobrol sekalipun. Separah itu penyakit bucinnya ke Hera. “Nanti aku temani main airnya, tapi sebentar saja, ya?” Akhirnya dia pun mengalah. “Hm,” angguk Hera girang. Tiba-tiba Ezra menarik Hera ke balik mobil jemputan resort yang terparkir tak jauh dari tempat mereka. Sempat kaget, tapi kemudian dia paham setelah mendengar debat Hanum dan bapaknya yang ternyata masih di area resort. “Bodoh! Tidak punya otak! Dulu aku sudah bilang, jangan berhubungan lagi dengan si b******n Niko! Dia sudah mencampakkan kamu yang hamil anaknya. Kenapa masih juga kamu kejar? Bahkan, sampai ketahuan Ezra. Dasar t***l, kamu! Sekarang lihat, dia juga tidak sudi rujuk!” bentak Andika kasar melotot ke anaknya. “Papa lupa, dia menikahiku karena terpaksa! Setahun tinggal seatap, Papa juga lihat sendiri sedingin apa perlakuannya ke aku!” sahut Hanum tidak terima disalahkan. “Ya wajar kalau awalnya begitu. Papa kalau jadi dia juga akan melakukan hal yang sama. Memangnya siapa yang bakal terima dilempar tanggung jawab menikahi perempuan yang hamil anak pria lain. Kalau saja kamu bisa bersikap baik dan tidak berhubungan lagi dengan Niko, Ezra juga pasti luluh. Dasar tidak berguna!” maki Andika, bahkan seperti tidak peduli akan keberadaan orang yang berlalu lalang disana. “Papa bilang apa? Aku tidak berguna? Memangnya lari kemana uang yang aku dapat dari Niko selama ini, ha?! Papa juga yang ikut habiskan buat foya-foya dan main perempuan. Aku sudah kayak sapi perah. Dasar benalu!” teriak Hanum balas menghardik papanya. “Anak keparatt!” Satu tamparan keras menghantam pipi Hanum. Andika mendelik dengan tangan gemetar setelah memberi pelajaran mulut kurang ajar anaknya. Tangis Lala terdengar nyaring. Bocah itu tampak ketakutan melihat mama dan kakeknya saling teriak, lalu berakhir dengan tamparan. Hera gedek. Mereka benar-benar menjijikkan. Sementara Ezra yang sudah hafal kelakuan mereka, justru fokus menatap wajah lucu Hera saat sedang greget. Cantik, biarpun kadang tingkah liarnya di luar sana sering bikin dia pusing. “Kasihan Lala, Om,” gumamnya. “Iya, kasihan. Tapi, kalau kamu mengulurkan tangan justru akan dimanfaatkan oleh mereka!” sahut Ezra. Geram, Hanum pun menyambar tangan anaknya dan membawanya pergi dari sana. Sementara Andika mengekor di belakangnya. Sungguh, Hera merasa iba ke Lala yang tiap hari pasti disuguhi tontonan seperti tadi itu. “Beb …” panggil Ezra berbisik di dekat telinga Hera. Begitu gadis itu menoleh, Ezra mencuri ciuman di ujung bibir mungilnya. Mata Hera mengerjap, panas merambat di wajahnya. Apalagi muka om yang nyaris tak menyisakan jarak dengannya. “Jangan aneh-aneh! Nanti ketahuan lagi kayak tadi,” ucapnya lalu berbalik, tapi Ezra lebih dulu merengkuh pinggangnya. Hera terperangah didorong memepet mobil di belakangnya. “Tadi bukannya kamu sudah mengakuiku calon suami! Cium sedikit, memangnya tidak boleh?” gumam Ezra dengan bibir mereka yang nyaris bersentuhan. Hera bahkan bisa merasakan hembusan nafas omnya. “Nggak,” jawabnya lirih. “Kalau gini ….” Lalu, Ezra mengecup bibir Hera. Mungkin hanya sedetik, tapi seketika membuat Hera tersengal sesak. Tangannya tanpa sadar mencengkram kemeja Ezra. Sumpah! Jantungnya berdegup menggila. Sedang pria sinting itu tersenyum mengusap bibir Hera. “Manis!” “Haish!” Hera mendorongnya kasar sampai Ezra terhuyung, lalu ngeloyor pergi dengan muka merona malu. Ezra tergelak menyusul gadis itu, lalu meraih tangannya. Nanti dia akan melamarnya! Seperti yang kakek Hera bilang tadi, Ezra sendiri juga takut lama-lama bakal kebablasan. Sesulit itu menahan diri untuk tidak menyentuhnya saat mereka berdekatan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD