Lenguhan serta desahan yang menggema terdengar di dalam sebuah kamar sempit berukuran empat kali lima meter. Kedua orang berlainan jenis yang sedang bergumul di atas ranjang queen size tengah sibuk dengan dunia yang mereka ciptakan sendiri. Peluh membanjiri tubuh tanpa sehelai benang yang membalut badan. Seorang wanita muda yang berada dibawah tindihan pria berbadan kekar hanya pasrah menerima hujaman demi hujaman dengan mata yang terpejam. Bibirnya sedikit terbuka dengan napas tersengal. Membuat dadaa yang membusung menjadi obyek sasaran selanjutnya si pria untuk melanjutkan remasan pada dua gundukan kenyal yang berada tepat di depan matanya.
"Ouch ... Kau sangat nikmat bebi," ucap dengan suara serak akan kobaran gairah terlontar dari mulut seorang pria muda.
Pria dengan rahang tegas dan tubuh berotot yang menyembul dari setiap jengkal anggota tubuhnya. Dengan penuh semangat pria itu msih mencari kepuasan, bibirnya tak tinggal diam. Mencecap apapun yang bisa membuatnya nikmat. Tak mempedulikan erangan serta teriakan wanita yang berada di bawah kungkungan tubuhnya.
Jangan mengira jika mereka berdua adalah pasangan suami istri. Bukan. Tidak mungkin seorang Fredo Angelo mau mengikrarkan diri untuk memiliki seorang pasangan hidup. Tidak. Ia tidak pernah mau terikat dengan sebuah hubungan yang akan mengekang hidupnya. Pria yang memiliki ambisi ingin menguasai dunia dengan menjadi seorang wali kota.
Ya, benar sekali. Fredo Angelo, pria berusia tiga puluh dua tahun itu merupakan seorang wali kota. Seorang pemimpin yang seyogyanya wajib menjadi panutan para penduduk kota yang berada di bawah pimpinan dan kekuasaannya. Namun, semua itu hanya wacana. Realitanya, Fredo telah lupa diri akan apa yang seharusnya ia lakukan sebagai seorang pemimpin.
Drrt ... drrttt
Ponsel di atas nakas bergetar. Sengaja Fredo menyeting ponselnya dengan mode silent karena ia tak ingin siapa pun mengganggu aktifitas dan kesenangannya. Bercinta adalah salah satu cara Fredo bersenang-senang menikmati hidupnya. Banyak wanita bayaran yang mau dia lempari uang hanya untuk sekedar memuaskan nafsunya. Sebagai serang pria normal, Fredo memang membutuhkan tempat untuk melampiaskan hasrat yang harus ia tuntaskan.
Lagi-lagi ponsel itu bergetar yang tak bisa lagi Fredo abaikan. "s**t!!" umpatnya. Siapa yang berani mengganggu kesenangannya di saat situasi genting seperti ini. Ia belum mencapai pelepasannya dan siapa pun yang telah mengganggunya kali ini harus bertanggung jawab jika sampai membuatnya pusing kepala.
Menghentikan aktifitas serta gerakan pinggulnya, tangan kekar milik Fredo menyambar ponsel di atas nakas. Umpatan yang sejak tadi ia loloskan dari sela bibirnya harus ia telan kembali.
Morgan Zena. Nama yang tertulis di layar ponselnya. Ia meneguk ludah susah payah sembari mencoba menormalkan detak jantung yang memburu. Pelepasan yang tertunda membuatnya harus menelan kekecewaan. Mencabut batang miliknya yang tadi terbenam di dalam lubang kenikmatan milik seorang wanita yang kini membuka mata dengan pandangan penuh tanya. "Kenapa kau berhenti?" tanya yang Fredo sangat tidak menyukainya. Tak ada niat Fredo untuk menghentikan aktifitas panasnya. Namun, nama Morgan Zena lah yang dengan terpaksa harus menekan hasrat yang sudah berada di puncak.
"Nanti kita lanjutkan," jawab Fredo membuat si wanita terlihat begitu kecewa. Betapa tidak, jika puncak kenikmatan yang sebentar lagi didapat harus tertelan mentah-mentah. Tinggal selangkah lagi mereka sanggup merasakan surga duniawi.
Naas, rupanya seorang Zena lebih penting dari segalanya bagi Fredo. Bahkan pria itu kini memilih memakai boxer yang teronggok di atas lantai. Menempelkan ponsel di telinga dengan diapit oleh pundak kokoh miliknya karena kedua tangan sibuk memasang boxer di kedua kakinya.
"Kau di mana, Fred!" cercaan dari suara yang terdengar di telinga sangat memekakkan. Sampai Fredo meringis karena merasa telinganya berdengung akibat suara melengking milik Zena.
"Cih! Kau ini kenapa suka sekali mengganggu kesenanganku. Tak bisakah barang sedetik saja kau melupakanku," sembur Fredo masih mencoba mengatur napas yang terengah. Nafsu yang memburu dan tak dapat terpuaskan adalah sesuatu yang sangat memalukan. Terkutuklah kau Zena karena menjadi pelaku utama penyebab kepalanya kini berdenyut. Tak hanya kepala atasnya, tapi juga kepala bawahnya. Bahkan senjatanya yang masih berdiri tegak menantang, menyembul dari balik boxer yang ia kenakan.
"Jangan mimpi kau, Fred! Selama hidupku aku akan terus membayangi setiap lamgkahmu. Sekarang cepat kau datang. Aku menunggu kedatanganmu di camp."
"Sial! Tak bisakah kau menungguku barang sekejab saja?"
"Menunggumu untuk apa? Menyemburkan lahar panas yang sudah di ujung kejantanan?" ledek Zena membuat pipi Fredo memerah menahan malu. Andai saat ini mereka sedang berhadapan sudah dapat Fredo pastikan jika ia akan memilih menyembunyikan wajahnya menyerah ketimbang harus menjadi bahan tertawaan Zena.
Begitulah wanita itu. Andai dia bisa merasakan bagaimana nikmatnya bercinta, pastilah Fred akan dengan senang hati menyodorkan dirinya. Namun, sayangnya Zena tak pernah peduli atau lebih tepatnya melupakan kodrat sebagai seorang wanita. Yang ada dalam pikiran wanita itu hanya bagaimana caranya ia bisa menjadi ketua geng mafia yabg berada di bawah kekuasaannya.
"Baiklah. Aku datang sekarang. Kau tunggu saja."
"Bagus."
Panggilan telepon di akhiri begitu saja oleh wanita itu. Fredo mengumpat untuk kesekian kalinya. Menatap sayu pada wanitanya. "Aku harus pergi sekarang."
"Apa?" Tanya wanita itu tak percaya. Bagaimana mungkin Fredo tega meninggalkannya padahal misi mereka belum usai.
"Maafkan aku."
Pria itu mengambil celana panjang yang terhempas di atas sofa. Meraih dompet dan membukanya. Mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah lalu dia lempar pada wanita yang masih berada di atas ranjang dengan selimut menutup tubuh polosnya. "Aku pergi."
Gegas Fredo keluar kamar, menyambar kemeja dan memakainya cepat. Ia tak ingin Zena menunggu terlalu lama. Wanita singa itu akan sangat menyeramkan jika marah. Membuat bulu kuduk Fredo berdiri seketika acapkali kata kasar ia dengar dari mulut wanita yang selalu ia panggil dengan sebutan Zena.
***
Datang ke kota Graha tidak dengan tangan kosong. Berbagai macam persenjataan memang Al bawa. Dan sekarang pria itu tengah berdua bersama Bray, membereskan juga mengecek satu per satu apa saja yang ikut terbawa olehnya. Jangan sampai ada yang tertinggal dan juga disalah gunakan oleh para anggotanya. Menjadi pemimpin dalam sebuah misi bukanlah hal yang gampang. Semua sangat sulit Al lakukan. Namun, berbekal keyakinan diri juga semangat tinggi, jadilah Al begitu kuat dan mampu dipercaya oleh atasannya.
"Bagaimana Bray? Semua sudah lengkap?" tanya Al pada salah satu rekan kerjanya itu.
"Lengkap. Tak ada yang kurang satu pun."
"Bagus. Terima kasih Bray."
Pria bernama Bray beranjak berdiri dari posisi jongkoknya, setelahnya dia bersama Al saling berdiri bersisihan.
"Apa rencana awal yang harus kita lakukan, Al?"
Pria bernama Aldrick Harico melipat lengan di depan dadaa. Pandangan lurus ke depan ia pun berkata, "Mungkin aku akan menyelediki dulu siapa sebenarnya perusuh yang mampu memporak porandakan kota ini."
"Apa kau sudah ada info mengenai mereka?"
Al menganggukkan kepala. "Tadi bahkan aku sudah bertemu dengan anggota geng mereka."
"Benarkah? Lalu?"
"Sepertinya mereka tahu jika aku adalah warga baru di kota ini."
"Apakah mereka mengerti tentang siapa kau sebenarnya?"
Al menggeleng. "Tentu tidak. Kita tidak boleh gegabah dalam berhadapan dengan mereka. Harus mengatur strategi menumpas semua kejahatan yang telah mereka lakukan."
"Aku percaya padamu. Semua strategi itu pasti sudah kau rancang dengan penuh pertimbangan."
"Ya. Dan besok aku akan memberitahu semua pada kalian apa yang seharusnya kita lakukan. Jangan sampai kita gegabah bertindak jika tidak ingin kita kalah sebelum berperang."
"Siap!"
"Sebaiknya kau istirahat Bray. Hari kita masih panjang berada di kota ini."
Bray menepuk punggung Al, lalu melangkah meninggalkan pria itu. Di keheningan malam, Al berdiri di samping jendela besar barak utama yang menjadi tempat tinggalnya. Sebuah barak khusus tentara yang berada dalam kawasan militer. Di tempat inilah Al dan para prajuritnya di tampung. Tempat yang aman dari jangkauan para Gengster yang menyebut dirinya Mobogengs.
Jauh dari pandangan matanya hanya gelap malam yang mampu Al lihat. Tak ada keramaian ataupun hiruk pikuk kota metropolitan. Dalam pendengarannya yang sangat tajam, dapat Al tahu jika suara mesin motor yang meraung di malam seperti ini adalah ulah Mobogengs. Ini tak bisa dibiarkan. Jika kota Graha dikuasai oleh mereka, maka akan menjadi apa negara ini. Kerusuhan yang seharusnya ditumpas justru di dukung oleh pemerintah. Sangat mengerikan. Apapun yang terjadi Al tetap harus berusaha mewujudkan semua mimpinya. Dapat kembali tinggal di kota Graha suatu hari nanti.
Melangkah meninggalkan jendela, dan membaringkan diri di atas ranjang dengan kedua tangan sebagai tumpuan kepala. Tak lama, mata itu pun memejam. Berharap esok pagi datang menyapa dengan senyuman.
****
Wanita dengan jaket kulit melekat di tubuhnya yang ramping. Morgan Zena menatap nyalang satu per satu anggotanya yang baru saja bercerita bahwa telah dikalahkan oleh seorang pria yang mereka tak tahu siapa. Bagaimana bisa ada orang yang berani melawannya. Apakah pria itu tidak tahu siapa Mobogengs. Dan lebih parahnya lagi, kelima anak buahnya berhasil dikalahkan oleh pria tak dikenal.
Oleh sebab itulah Zena meminta Fredo untuk datang. Sebagai seorang walikota, mustahil jika Fredo tak tahu siapa nama salah satu warganya.
"Sial!" umpatan keras meluncur dari sela bibirnya. Tak ada yang terkejut karena semua anak buahnya sudah hapal dengan ketua mereka.
"Jam berapa ini. Kenapa Fredo belum datang juga. Bede*bah!" Kata kasar serta umpatan adalah makanan sehari-hari Zena.
"Jangan suka berteriak sembarangan begitu, Zena! Aku di sini. Untuk apa kau mencariku. Tak bisakah kau menahan diri untuk tidak menghubungiku di saat aku sedang berenang-senang. Susah sekali aku memberikanmu pengertian."
Yap. Fredo datang di saat yang tepat. Jika sedikit saja pria itu terlambat, maka amukan Zena akan berdengung seantero ruangan. Dan semua anak buahnya yang menjadi korban amukan singa betina macam Zena Morgan.
"Bermimpilah kau, Fred! Kapan pun aku membutuhkanmu, maka detik itu juga aku akan menyeretmu agar menghadapku."
Kekehan panjang dilemparkan oleh sang wali kota. Tubuh besar itu jatuh di atas salah satu sofa. Dengan dikelilingi beberapa anak buah Zena yang berdiri tegak saling waspada menjaga keamanan, tak satupun berani melibatkan diri akan pembicaraan keduanya. Berusaha menulikan telinga meskipun mereka mendengar dengan sangat jelas apa yang sedang Fredo dan Zena bincangkan.
"Ada masalah apa sampai wajahmu tampak menyeramkan begitu. Apakah ada masalah?"
"Ya. Jika tidak ada masalah mana mungkin aku repot-repot memintamu hadir di sini."
"Apa itu. Cepat katakan. Aku tak punya banyak waktu karena wanitaku telah menunggu."
"Sialan kau, Fred. Hanya wanita saja yang ada dalam kepalamu itu. Tak bisakah kau menyingkirkan dulu nafsu liarmu. Ini sangat urgent dibanding dengan urusan percintaanmu itu."
"Jangan berputar-putar dan membuatku pusing saja. Cepat katakan apa yang harus aku lakukan untukmu, Zen!"
Zena menegakkan punggung. Menatap tajam pada Fredo. "Apakah ada warga baru yang tinggal di kota ini?"
Kening Fredo mengernyit dalam berusaha berpikir dan mengingat. Sepertinya ia tidak pernah lagi menerima laporan akan adanya warga baru di kota Graha. Yang ada justru sebaliknya. Banyak warganya yang memilih pergi meninggalkan kota Graha. Dan hal itu sesuai dengan yang ia mau. Mempunyai Banyak warga akan sangat merepotkannya saja karena ia tak akan bebas bertindak sesuka hatinya. Juga jika ada banyak warga yang berada di dalam kekuasaannya maka tak ayal banyak pro dan kontra yang akan diterimanya. Itu sangat rumit dan Fredo akan pusing sendiri nantinya.
"Kurasa aku tak memiliki warga baru di sini." Fredo menjawab dengan mantap sesuai yang ia tahu.