Kenangan Masa Lalu Al

1112 Words
Eve mengerjabkan mata, samar terlihat wajah cemas seorang wanita tua yang baru ditemuinya dan dengan baik hati menampungnya. "Kamu sudah sadar, Nak? Ayo minumlah," ucap wanita itu sembari tangan menyodorkan air putih dalam gelas. Eve mencoba bangun dari berbaringnya dan menyandarkan punggung. Menerima gelas tersebut dan meminum air putih sampai separoh isinya. "Terima kasih, Nek." Setelah dirasa Eve sudah lega, nenek mencoba bertanya. Karena jujur wanita itu sempat khawatir tadi ketika mendapati Eve yang tiba-tiba pingsan. Bersama suaminya, mereka mencoba membawa Eve untuk berbaring di atas sofa. Melakukan berbagai macam cara agar Eve segera sadar dari pingsannya. "Apa yang terjadi padamu, Nak?" Eve mana mungkin bisa jujur akan apa yang tadi dia lihat dari mata batinnya meski semua terlihat sangat nyata. "Maafkan aku, Nek. Aku tidak apa-apa. Mungkin hanya kelelahan saja. Maaf karena telah membuat repot kalian." "Jangan berbicara begitu. Tadi, kakek dan nenek sangat mengkhawatirkanmu. Takut terjadi sesuatu padamu." Tak lama muncul kakek dengan membawa sebuah nampan di tangan. Meletakkannya di atas meja. "Kamu sudah bangun? Ayo makanlah dulu. Kakek rasa kamu membutuhkan asupan makanan agar energimu kembali pulih." Mata Eve berkaca-kaca mendapati kebaikan kakek dan nenek yang baru juga dia kenal. Nenek mencoba membantu Eve. Mengambil piring nasi dan menyuapi gadis itu. Karena air mata tak mampu Eve bendung dan lolos begitu saja membasahi pipi. "Jangan menangis lagi. Ayo buka mulutmu." Dengan punggung tangan Eve menyeka air matanya. Lalu membuka mulut menerina suapan demi suapan yang nenek berikan sampai makanan di piring habis. Setelahnya Eve kembali menghabiskan air minumnya. "Terima kasih banyak karena nenek telah menerimaku dengan sangat baik. Jujur, Nek. Aku begitu merindukan momen seperti ini." Kakek juga nenek yang duduk bersama Eve ikut trenyuh akan apa yang Eve ceritakan. Lalu, gadis itu melanjutkan. "Selama ini Paman dan Bibi selalu memperlakukanku dengan sangat buruk. Jangankan kasih sayang. Bersikap baik pun enggan sekali mereka lakukan. Bahkan karena mereka tak lagi mau melihat keberadaanku dan tak mau lagi repot-repot menampungku, mereka memilih menjualku. Beruntung sekali sebuah pertolongan datang. Anggota militer menyelamatkan kami semua." "Kau yang sabar, Nak. Beruntung sekali karena pertolongan Tuhan hingga kau bisa selamat dari mereka." Nenek mengusap punggung Eve mencoba memberikan ketenangan pada gadis itu. Eve mengangguk. "Oleh sebab itulah aku sangat beruntung bisa bertemu dengan kakek dan nenek." "Memang lebih baik jika kau berada bersama kami di sini ... Kakek jamin kau akan aman. Mereka tidak pernah mengganggu atau mengusik keberadaan kami di sini. Lagipula para kawanan gangster itu jarang sekali berkeliaran di sekitar sini. Mereka lebih senang merusuh di pusat kota. Oleh sebab itulah kenapa kami memintamu untuk tinggal di sini bersama kami. Kami akan menganggapmu seperti cucu kami sendiri." Eve rasa memang sebaiknya ia menetap di sini. Membantu kakek dan nenek juga menemani mereka tak ada salahnya juga. Selain itu, Eve akan mendapat tempat tinggal yang dia rasa cukup aman untuk keberadaannya di kota Graha. *** Sebenarnya Al tidak ingin terus berkeliaran di pusat kota. Hanya saja rasa penasaran akan apa yang selalu terjadi membuat Al melakukan patroli. Kali ini tidak sendiri. Melainkan ada Bray yang menemani. Melalui dari satu tempat ke tempat lain yang biasanya rawan terjadi konflik dan kerusuhan. Sengaja Al melakukannya untuk memancing para perusuh negara. "Bray ... Aku dengar akan ada penyelundupan barang ilegal dari luar negeri. Aku ingin sekali menyelidikinya." Aldrick berkata pada sahabat sekaligus rekan kerjanya di militer. "Kurasa di gudang Mobogengs yang berada di pelabuhan itu banyak sekali barang-barang hasil selundupan. Kenapa kita tidak mengobrak abriknya saja." Bray mengusulkan. Pria itu berpikirnya sangat keras, beda dengan Al yang masih memikirkan sebab dan akibat. "Mana bisa semudah itu, Bray. Kau tahu sendiri betapa ketat penjagaan dan pengawasannya. Lagipula kita sebagai anggota militer tidak bisa seenaknya memasuki kawasan mereka tanpa surat tugas dari pusat. Itu kesalahan. Mengobrak-abrik tempat orang tanpa alasan." "Lantas ... apa yang harus kita lakukan?" "Menyelidiki terlebih dahulu akan semua aktifitas yang mereka lakukan. Setelah semua informasinya lengkap baru akan kita laporkan." "Lagipula kenapa aparat negara di kota ini tak pernah bertindak tegas." "Mereka kalah dengan Mobogengs. terlebih jika uang sudah berbicara maka mereka bisa apa?" "Sangat tidak masuk akal." "Tapi nyata terjadi di kota ini." Tak lagi ada yang mereka bicarakan. Mobil milik militer yang mereka kendarai memecah sepinya jalanan kota Graha. Karena mobil ini membawa identitas mereka maka tak ada yang banyak Al lakukan. Hanya ingin melakukan patroli wilayah sampai matanya yang tengah fokus pada sebuah rumah yang sedang mereka lewati. "Bray ... hentikan mobilnya?" pinta Al pada rekannya yang berada di balik kemudi. Menurut saja akan apa yang Al inginkan. Mobil berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar yang sudah usang. Rumah yang tampak tidak terawat hampir mirip dengan rumah-rumah lainnya di sekitar. Terlihat jika kawasan ini memang telah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Sengaja Al membawa jalur patrolinya melewati daerah ini karena ada kerinduan yang mendalam pada hunian di mana ia dulu dibesarkan. "Al! Apa yang sedang kau perhatikan itu? Memangnya ini rumah siapa?" Bray yang tak tahu apa-apa juga penasaran pada akhirnya bertanya setelah sekian menit berlalu yang ia temui hanya diamnya Al saja. Helaan napas berat keluar dari sela bibir Al. "Kau tahu Bray jika dulu ketika aku masih kecil sampai aku remaja ... Rumah ini adalah tempat di mana aku dibesarkan. Hidup berbahagia dengan keluargaku. Ada Papa, Mama juga adik perempuanku." "Apa?" Bray terkejut. Masih tidak menyangka jika ternyata Al adalah mantan penduduk kota Graha. "Jadi kau ...." Bray tak melanjutkan karena Al menganggukkan kepala. "Ya. Kota Graha tidak asing olehku karena aku lahir dan dibesarkan di sini. Di rumah ini tepatnya." "Bagaimana ceritanya hingga kau bisa menjadi seorang tentara? Lantas ... Di mana sekarang anggota keluargamu?" Selama ini yang Bray tahu adalah Al tidak mempunyai keluarga. Hidup sebatang kara di markas militer. Lain halnya dengan para anggota tentara yang lain seperti dirinya misal. Yang masih sering mengambil jatah cuti untuk keluar markas dan mengunjungi keluarga masing-masing. Sementara Al ... Pria itu sejak Bray mengenalnya tidak pernah yang namanya membicarakan mengenai keluarga. Juga tidak pernah mengambil cuti untuk pulang dan mengunjungi keluarga hingga yang Bray simpulkan bahwa Al tak punya siapa-siapa lagi. Namun, rupanya perkiraan Bray selama ini salah. Dan hari ini Bray baru saja mengetahui sebuah fakta akan diri seorang Aldrick Harico. "Ceritanya panjang Bray. Aku tidak mungkin memberitahumu sekarang. Lebih baik sekarang kita jalan lagi. Ayo!" Bray menurut. Tampak olehnya wajah sendu yang menorehkan sebuah kesedihan. Bray tak berani banyak bertanya. Membiarkan Al dalam diamnya entah sedang memikirkan apa. Sementara itu, hanya karena melihat kembali bekas rumahnya yang dulu, begitu saja mengingatkan Al akan anggota keluarga yang telah lama meninggalkannya. Al jadi merindukan mereka. Ada baiknya selagi Al masih bertugas di kota ini, ia akan menyempatkan diri untuk mengunjungi makam keluarganya. Demi menuntaskan rasa rindu yang sangat menyesakkan dadaa.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD