Gadis berambut panjang bawah bahu yang dikucir satu, duduk di bagian pojok belakang dengan mendekap erat tas ransel miliknya. Berbeda dengan para gadis lainnya yang berada dalam satu tempat yang sama dengannya. Sebuah kapal penumpang yang mengangkut sedikitnya sekitar seratus orang perempuan. Human trafficing yang merupakan bisnis kawanan gengster bernama Mobogengs akan mengirim para perempuan yang kebanyakan adalah para gadis belia untuk dijual di luar negara. Mungkin dari sekian banyaknya gadis yang ada, hanya satu orang yang sama sekali tidak berminat akan perjalanan ini karena dia tahu ke mana tujuan kapal akan bersandar. Tempat penampungan sementara para manusia yang akan di kirim ke negeri tetangga.
Dialah Evelyn Dion. Gadis muda berusia dua puluh tahun yang biasa dipanggil dengan sebutan Eve. Anggap saja jika gadis itu terlihat lebih dewasa daripada usia yang sebenarnya, karena faktor keadaan yang mendesak Eve untuk selalu berpikir jauh ke depan. Berbeda dengan gadis sebayanya yang hanya berpikir akan kesenangan semata dan kehidupan sesaat saja.
Mata indah dengan bulu lentik itu tetap melirik ke kiri dan ke kanan. Mengawasi keadaan di sekitarnya. Jika semua gadis yang kini berada di sekelilingnya menikmati perjalanan dengan tidur, makan bahkan sing bercanda dengan sesama, tapi tidak dengan Eve. Gadis itu selalu saja waspada akan kondisi di sekelilingnya.
Mata batinnya sejak tadi tak bisa tinggal diam. Merasakan getaran juga sensasi aneh akan apa yang terjadi selanjutnya pada rombongan yang sedang membawanya ini. Dia merasa akan ada kejadian besar menanti akan terjadi. Dan ia yakin sekali jika perjalanan yang sedang dilakukan ini tidak akan menemukan jalan yang mulus. Di mana-mana namanya penjualan manusia secara ilegal pasti ditentang dan tidak diperbolehlan. Tapi, semua tergantung dari kepandaian dan kelicikan orang-orang yang memiliki bisnis serupa.
Eve ingat betul beberapa waktu silam ketika Paman dan bibinya memaksa dan menyeretnya mendatangi sebuah agen atau biro perjalanan tenaga kerja. Eve menolak mentah-mentah keinginan mereka berdua yang mau agar dia bekerja di luar negara. Eve dengan tekad bulat berusaha melawan dan menolak karena apapun yang akan terjadi pada hidup dan masa depannya, ia tak akan pergi jauh ke mana-mana. Tidak peduli jika setiap hari Paman dan Bibi akan menyiksanya. Menjadikan dia b***k dan menyuruhnya melakukan pekerjaan berat demi mendapatkan harta benda.
Ya, malang nian nasib Eve. Cengkeraman tangan pada tas yang ia pegang semakin kuat demi mengingat keburukan sikap keluarga satu-satunya yang ia punya setelah kedua orangtuanya meninggal dunia. Bulir peluh mulai membasahi tubuhnya. Ia gemetar dengan mata memejam memutar memori akan semua apa yang telah Paman dan bibinya lakukan selama ini padanya.
"Hei, kamu tidak apa-apa?" Tepukan disertai dengan pertanyaan dari seorang gadis seusianya yang kini memilih duduk di samping Eve. Membuat Eve segera membuka mata. Menoleh sekejab dan menggelengkan kepala.
"Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir," jawab Eve cepat berusaha menutupi kebohongannya. Tentu saja Eve tidak sedang dalam kondisi baik jika ia mengetahui masa depannya sedang di pertaruhkan dalam perjalanan ini.
"Tapi badanmu berkeringat. Bagaimana mungkin di ruangan ber-AC kamu bisa mengeluarkan keringat sebanyak itu?"
Eve baru sadar ketika ia mengusap dahi dengan telapak tangan. Benar saja, buliran keringat kini membasahi punggung tangannya. Secepat yang ia bisa lakukan membuka tas dan mengeluarkan sehelai tisu yang selalu ia bawa ke mana-mana. Mengeringkan wajah dengan tisu tersebut sampai kering.
"Jika kau sedang sakit lebih baik bicaralah. Jangan sampai terjadi hal yang tidak baik padamu nantinya."
Eve tersenyum. Rupanya masih ada orang baik yang mau memperhatikannya. Tentu saja Eve merasa terharu. Semenjak kedua orang tuanya tiada, seolah tak ada ahi orang yang sayang dan perhatian kepadanya. "Terima kasih karena kau mau perduli padaku."
"Sama-sama. Sekarang kita hidup bersama di sini. Jadi harus saling peduli. Karena nanti begitu kita sudah sampai di tujuan, maka kita akan berpisah dan tak tahu kapan bisa dipertemukan kembali."
Eve lagi-lagi mengulas senyuman. Namun, seketika senyumnya pudar kala tangan gadis di sebelahnya menyentuh punggung tangannya. Tak ada maksud lain dari apa yang gadis itu lakukan. Hanya ingin saling menguatkan karena mereka sama sama meninggalkan keluarga demi sebuah harapan agar mendapatkan hidup yang lebih layak lagi.
Rupanya, tindakan tidak disengaja gadis itu membuat kepala Eve terasa sakit seketika. Mulut Eve meringis menahan nyeri, untuk sesaat dengan mata memejam melihat akan sekelebat bayangan di dalam memori otaknya. Bagaimana mungkin Eve bisa melihat jika gadis itu menangis meraung di sisi seorang perempuan paruh baya yang tengah dipukuli oleh seorang lelaki.
"Berikan aku duit, baru aku akan pergi dari tempat ini!" ucapan lelaki berkumis yang jelas terdengar di telinga Eve.
"Hei, kau kenapa lagi?"
Eve terkesiap setelah gadis di sebelahnya mengguncang tubuhnya. Ya, sejak beberapa saat lalu Eve memang terbengong dengan mata melotot membuat gadis itu ketakutan hingga refleks menggoyang-goyang lengan Eve cukup kencang.
Eve yang berusaha menormalkan ekspresinya, menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu menoleh pada gadis itu dengan tatapan penuh tanya. Eve tak mungkin bisa menyembunyikan semua tanya yang ada dalam benak.
"Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"
"Apa itu?"
"Apa yang menjadi alasanmu berada di sini?"
"Maksudmu?" Gadis itu merasa kebingungan akan tanya yang Eve lontarkan.
"Maksudku, apa yang membuatmu memutuskan untuk ikut pada rombongan ini?"
Wajah gadis itu mendadak muram. Ia menunduk. Membuat Eve tidak enak hati. Mengulurkan tangan seraya berkata, "Namaku Evelyn Dion. Kamu bisa memanggilku dengan sebutan Eve. Maaf jika pertanyaanku membuatmu sedih. Hanya saja yang aku tahu semua gadis yang ada di dalam kapal ini pasti memiliki tujuan masing-masing sehingga mau-mau saja dibodohi dan diiming-imingi gaji tinggi dengan bekerja di luar negeri. "
Gadis itu mendongak menatap Eve sembari meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Hust! Jangan keras-keras ngomongnya. Nanti mereka dengar. "
"Memangnya kenapa jika mereka dengar? Apa yang aku katakan ini memang benar, kan?"
"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan jika aoa yang kau katakan ini benar dan mereka memang hanya memanfaatkan kita demi kepentingan mereka sendiri."
"Di mana-mana yang namanya perjalanan ke luar negeri jika tidak memiliki surat ijin resmi dinamakan ilegal. Dan kita yang berada di sini aku yakin sekali tak membawa juga tak melengkapi diri dengan surat ijin memasuki kawasan negara lain. Sama halnya penyelundupan barang. Kita ini bisa dikatakan penyelundupan manusia ilegal."
Gadis itu membekap mulut Eve spontan. Eve menggelengkan kepala bersusah melepas bekapan tangan gadis di sebelahnya.
"Kau ini. Sudah aku katakan jangan bicara keras-keras, nanti mereka mendengar. Kau tau kan jika telinga mereka sangat tajam. Jika mereka marah, bisa-bisa kita di lempar ke dalam lautan. Apa kau mau hal itu terjadi pada kita?"
Eve menggeleng lalu mengikuti arah pandang gasis itu. Beberapa lelaki berbadan tinggi besar menyebar di dalam kapal ini. Mereka semua tampak menyeramkan sehingga Eve merasa takut sendiri jika harus berurusan atau berhadapan dengan mereka. Eve hanyalah gadis biasa yang tentu kalah telak jika berhadapan dengan para pria. Namun, jika mengenai kecerdikan jangan diragukan lagi. Eve adalah jagonya. Ditambah kemampuan yang ia miliki untuk melihat dimensi lain seperti masa lalu, juga masa depan serta apa saja yang akan terjadi nanti, membuat kepercayaan diri Eve begitu tinggi. Termasuk salah satunya adalah dengan keberadaannya di dalam kapal ini yang jelas tidak ia harapkan sama sekali. Atas paksaan paman dan bibinya ia diseret untuk dijual ilegal pada para mafia.
Namun, Eve yakin akan ada orang yang menolongnya nanti. Oleh sebab itulah ia tidak seberapa panik akan nasibnya ke depan seperti apa jadinya. Karena feelingnya tidak pernah salah dan selalu tepat. Meyakini satu hal yang pasti nanti akan terjadi.
Kembali pada gadis di sampingnya ini. Bekapan tangan telah terlepas membuat napas Eve tersengal.
"Kau harus janji jangan pernah bicara sembarangan lagi." pinta gadis itu pada Eve.
"Iya aku janji. Tapi katakan padaku kenapa kamu harus mengorbankan dirimu demi pria lacknat yang terus merongrongmu demi uang. Sampai kau nekat dan mengorbankan masa mudamu dengan niat bekerja di negara luar. Padahal aku yakin sekali jika sebenarnya kau ragu dan enggan untuk lergi. Aku pun berpikir demikian. Belum tahu apa yang nanti akan kita kerjakan setelah mereka membuang kita ke negara luar."
Sampai Eve selesai bicara, gadis di sampingnya ini hanya diam membisu membuat Eve terheran.
"Kenapa kau diam?" Eve yang penasaran pun bertanya karena rupanya gadis itu tak menanggapi ocehan yang keluar dari mulutnya.
"Bagaimana kamu bisa tahu jika aku nekat pergi karena pria breng*sek itu?"
Eve mengatupkan mulut seketika. Sial! Ia kecepolosan. Seharusnya ia tidak boleh terlalu frontal menjelaskan apa yang dia bisa lihat akan hidup seseorang. Jika begini ia harus menjawab apa? Tak mungkin jika Eve mengatakan hal yang sebenarnya bahwa ia memang memiliki kebihan sebuah indra ke enam yang mampu menerawang kisah silam hidup seseorang. Eve tak boleh asal bicara terlebih pada orang yang baru ia kenal.
####
Yang masih meraba-raba alur cerita ini, semoga tidak kebingungan. Sedikit beda dari cerita saya yang lainnya.