PART 3

1659 Words
^^Febiola POV^^   Aku membuka mataku perlahan. Aku mengernyit saat melihat cahaya matahari masuk melalui celah-celah tirai jendela kamarku. Tunggu, kenapa aku di sini? Aku mengingat-ingat kembali kejadian kemarin, terakhir yang kuingat adalah saat aku tidur di mobil Adit. Tunggu. “Adit!” pekikku teringat kejadian semalam. Aku berlari mencari bundaku. “Bun! Bunda!” “Di dapur, Feb!” teriak bunda dari arah dapur. “Bunda, semalam Febi diantar siapa?” tanyaku cepat. “Kenapa, sih? Kamu diantar Nathan, pacar kamu yang ganteng itu.” “Bun, Feb-Febi ...” “Kenapa sih, Feb? Kalau memang Febi punya pacar yaudah nggak papa. Tapi hati-hati, ya. Febi harus bisa jaga diri. Bunda bisa lihat kalau Nathan sayang sama Febi. Bunda percaya dia bisa jaga kamu.” “Nathan nggak bilang apa-apa, Bun?” “Kenapa sih kamu ini. Udah sana mandi, nggak sekolah? Kalau masih sakit nggak usah sekolah, istirahat saja di rumah.” “Ih, Bunda. Nathan bilang apa ke Bunda?” “Apa, ya? Nathan sama Bunda nggak ngobrol banyak soalnya udah malam. Ah ... itu, itu, dia cium kening kamu di depan bunda. Terus dia juga bilang salam buat princess Febi. Aduh, Feb. Nathan itu romantis banget orangnya,” tutur Bunda. “Gitu ya? Yaudah Febi mandi dulu, Bun.” Aku langsung ke kamar untuk membersihkan badanku. Aku malu banget. Kak Adit main cium-cium aja di depan bunda. Princess apa coba? Sudahlah, mending mandi terus siap-siap. Aku sampai di sekolah naik bus seperti biasanya. Aku berjalan menyusuri koridor, aku mulai menundukkan kepalaku seperti biasanya. Entahlah, aku takut bertatap muka dengan mereka semua. Aku takut mereka mem-bully-ku lagi. Jadi, aku akan berlalu seperti biasa tanpa menatap satupun orang yang aku lalui. Suasana ini tidak nyaman banget, aku berjalan cepat sambil menunduk menuju kelasku sampai aku merasakan jika tubuhku menabrak tubuh seseorang. “Ma-maaf. Ngga-nggak sengaja,” ucapku tetap menunduk karena takut. “Bi?” Tunggu. Suara ini, aku langsung mengangkat kepalaku. “A-Adit?” Adit mengulurkan tangannya merapikan rambutku yang sedikit berantakan. “Kok udah masuk, sih? Seharusnya Febi istirahat di rumah.” “Fe-Febi udah nggak papa kok.” “Terus ngapain jalan cepat banget? Kalau jatuh gimana, Sayang?” ucapnya lembut. “Emm ... Febi buru-buru mau ke kelas. Lupa nggak ngerjain tugas,” jawabku sekenanya yang membuat Adit tertawa pelan dan merangkul bahuku. “Adit anterin, ya.” “Nggak usah. Febi bisa sendiri kok.” “Udah Adit anterin aja, yuk.” Aku menghela napas pasrah, Adit nggak mau melepaskan rangkulannya pada bahuku. Semua orang yang aku lewati langsung menatap kami. Aku benci keramaian. “Adit, jangan gini. Malu dilihatin orang,” rengekku berusaha melepaskan tangannya, tapi tangannya tak bergerak sedikit pun. Dia malah menatap ke sekeliling dengan tatapan tajam. “APA LO LIHAT-LIHAT?!” Semuanya langsung menunduk. “Adit jangan gini,” ucapku tetap mencoba melepaskan tangannya. “Apa sih, Bi. Jangan lihat-lihat ke samping. Cuek saja, kan ada aku. Oke, Sayang?” Aku tersenyum kecil dan mengangguk-anggukkan kepalaku. “Gemesin banget pacar aku.” Adit mengacak pelan rambutku dan kembali merangkulku sampai kelas. Sesampainya di kelas, Adit melepas rangkulannya lalu beralih mengelus rambutku. Dan juga membetulkan letak kacamataku. “Belajar yang benar ya, Bi. Nanti istirahat jangan ke mana-mana. Adit jemput.” “Febi bawa bekal. Mau makan di taman belakang saja.” “Bawa aja bekalnya, Sayang. Kita makan di kantin. Nggak ada penolakan.” “Yaudah iya,” ucapku pasrah. “Begitu, dong. Nurut. Kan makin sayang kalau nurut gitu. Udah ya Adit ke kelas dulu. I love you.” Adit mengecup keningku dan berlalu. “Febi pacarnya Kak Nathan? Sumpah?” “Beruntung banget si cupu anjir.” “Cantikan gue juga. Pakai dukun mana tuh anak.” Kurang lebih begitu yang kudengar. Tapi seperti biasa, aku tidak merespon mereka dan berlalu ke bangkuku. Sampai ada kaki yang menghalangiku dan membuatku terjatuh. Keningku berdarah. “Ups, sorry. Sengaja,” ucap Reisa sambil cengengesan. Aku mencoba untuk berdiri dan tidak menghiraukannya. Aku ingin ke UKS, keningku perih sekali. Ada suara yang menghentikan langkahku. “Nggak usah sok kecantikan. Mentang-mentang pacarnya Kak Nathan, palingan juga lo yang caper ke Kak Nathan. Lo jual diri, kan?” Aku tak menghiraukannya dan terus berjalan. “Eh, cupu! Tuli lo! Denger nggak lo! Dasar ganjen!” Aku tidak peduli lagi. Mereka tak tahu kebenaran yang ada, tapi mereka berani berasumsi. Aku masuk ke UKS, ada petugas UKS laki-laki di sana. Dari seragamnya mungkin kakak kelas. Dia tersenyum kepadaku. “Kenapa itu keningnya?” “Tadi kesandung, Kak” “Yaudah sini, kakak obatin. Nama aku Wisnu.” Kak Wisnu menuntunku untuk duduk di tepi ranjang. “Aku Febi.” “Aku sudah tahu. Pacarnya Natha, kan?” jawabnya sambil tersenyum kecut. Senyumnya, aneh. “Kok kakak tahu?” tanyaku bingung. “Udah nyebar kali beritanya. Satu sekolah juga tahu. Nathan menghajar Rara habis-habisan yang nge-bully kamu di kantin waktu itu.” Apa dia bilang? Menghajar? Yang benar saja! “Menghajar? Ta-tapi Kak Rara perempuan. Ke-kenapa?” “Nathan nggak pernah pandang bulu sama targetnya. Mau cewek, cowok ataupun guru sekalipun. Semua yang berani gangguin dia, harus berani terima akibatnya.” “Tapi kan Kak Rara nggak gangguin Nathan. Apa Kak Rara nge-bully Nathan juga?” Kak Wisnu tertawa keras. Loh, kenapa? Aku salah ngomong? “Kamu ini gimana sih? Siapa yang berani nge-bully Nathan? Dia anak pemilik sekolah ini. Dan Rara nggak gangguin Nathan. Tapi dia nge-bully kamu, kamu pacarnya Nathan. Lah berarti Rara juga gangguin Nathan.” Adit anak pemilik sekolah? Aku baru tahu itu. Aku pernah dengar anak pemilik yayasan sekolah di sini, tapi aku nggak tahu kalo itu Adit. Tiba-tiba aku mengingat sesuatu, Adit pernah bilang, “Emang Rara siapa berani bully aku? ‘Koneksi’ aku lebih besar dari pada Rara, sayang. Bisa saja aku keluarin Rara karena dia udah macam-macam sama punya aku.” Aku ingat sekarang. ‘Koneksi’ lebih besar. Jadi itu maksudnya, anak pemilik sekolah. “Luka kamu nggak parah. Jangan lupa rajin-rajin dibersihkan lukanya, biar cepat kering. Terus biar nggak infeksi.” Aku nggak sadar. Ribet dengan pikiranku sendiri, yang kutahu tiba-tiba ngobatinnya sudah selesai. “Makasih, Kak.” “Oke, sama-sama,” jawabnya sambil mengacak pelan rambut Febi. BRAK! Pintu terbuka keras. Tunggu, itu Adit. Adit sedang menatap tajam ke arah Wisnu. Kenapa? Ingatanku melayang pada percakapan beberapa menit yang lalu, “Nathan nggak pernah pandang bulu sama targetnya. Mau cewek, cowok ataupun guru sekalipun. Semua yang berani gangguin dia, harus berani terima akibatnya.” GAWAT! Adit berjalan cepat dan mencengkeram kerah seragam Kak Wisnu. Rahangnya mengeras. “Ngapain lo pegang-pegang cewek gue? NGAPAIN HAH!” “Gue cuma ngobatin cewek lo! Lepasin gue!” jawab Kak Wisnu memberontak. “LO PIKIR GUE BUTA! YANG SAKIT KENING, NGAPAIN LO PEGANG-PEGANG RAMBUT b*****t!” Aku harus menghentikan ini. Tapi bagaimana caranya? Tampar? Jangan, nanti semakin marah. Nangis? Jangan juga. Cium? Jangan, ah. Malu! Peluk? Iya. Aku langsung memeluk pinggang Adit dari belakang. “Udah. Adit jangan marah-marah lagi. Kepala Febi semakin sakit.” Adit melepas cengkeramannya pada Kak Wisnu dan berbalik ke arahku membuat pelukanku terlepas. Rahang Adit sudah mengendur, matanya menulusuri wajahku, meneliti keningku yang diplester, lalu mengusap rambutku pelan. “Maaf, sayang. Mana yang sakit, hmm?” “Yang ini,” ucapku menunjuk keningku yang diplester. Adit mengusapnya sebentar, lalu mengecupnya. “Kok bisa luka kayak gini sih, Bi?” “Ta-tadi Febi jatuh terpeleset terus kena meja,” ucapku bohong. “Bohong tuh, Nath!” Aku langsung melihat ke arah suara itu. Tiga orang cowok, mereka temannya Adit, aku kenal mereka saat di rumah sakit kemarin. “Keluar, lo!” ucap Adit tajam sambil melirik Kak Wisnu. Kak Wisnu yang mengerti pun keluar dengan sukarela. “Maksud lo apa, Vin?” tanya Nathan tajam. “Jelasin, Bay!” jawab Kevin ke Bayu. “Kok gue, sih? Do, jelasin!” Bayu melemparkan jawabannya ke Aldo. “CEPAT JELASIN b*****t!” Adit emosi. Kevin menghela napas dan mulai menjelaskan. “Febi emang jatoh. Bukan karena terpeleset, tapi dikerjain orang.” Mataku membulat. Kenapa mereka bisa tahu? Adit melirikku, sepertinya Adit curiga dengan ekspresiku. “Kamu bohong, Bi?” tanya Adit lembut, namun tatapannya tajam. “Ng-nggak kok. Fe-Febi tadi ...” “Nggak usah bohong, deh. Kita punya mata-mata di kelas pacar lo, Nath. Makanya kita bisa tahu, terus ngasih tahu elo.” “Sayang?” tanya Adit tetap lembut, namun tatapannya tajam banget. “Febi tadi, emm ... tadi ....” Melihat responku, Adit beralih bertanya pada Kevin tanpa mengalihkan tatapannya dariku. “Siapa orangnya, Vin?” “Reisa, teman sekelasnya Febi, Nath. Gampang nyarinya.” Kevin terkekeh melihat ekspresi kalutku. “Nggak cuma ngerjain, Nath. Dia juga bilang kalo Febi itu ganjen ke elo, terus jual diri. Parah nggak, tuh? Mulutnya pedas abis, Nath!” Aku makin kelabakan melihat ekspresi suram Adit. Kok mereka bisa tahu sih? Siapa mata-mata itu? “Nanti Febi istirahat sama Aldo ya, Sayang. Adit ada perlu.” “Pe-perlu apa?” Adit mengusap pelan rambutku. “Mau rapat sama Reisa. Cuma bentar kok, Sayang. Febi makan sama Aldo, jangan makan sendiri. Nanti Adit nyusul, ya.” “Ta-tadi Reisa nggak sengaja kok. Dia sudah minta maaf. Jangan macam-macam ke Reisa. Ya, ya, ya?” Mata Adit memicing tajam menatapku. Tangannya mengangkat daguku. “Sudah ya bohongnya. Aku nggak suka kamu bohong, Sayang. Jangan pernah bohong lagi ke aku. Dan masalah Reisa, aku nggak bakalan macam-macam ke dia. Cuma semacam saja kok, aku macam-macamnya ke kamu saja nanti,” ujarnya menyeringai dan mengecup bibirku lembut sebagai penutupnya. “Sekarang Febi istirahat di sini saja. Aldo yang nemenin. Do, kalo ada apa-apa kabarin gue. Gue cuma bentar, jagain cewek gue.” Setelah mengucapkan kalimat tak terbantahkan untuk Aldo, Adit berlalu dengan Kevin dan Bayu yang membuntutinya di belakang. Aku menghembuskan napasku pelan, Tuhan ... kenapa tadi harus bohong? Seharusnya aku tahu kalau Adit pasti bakalan tahu akhirnya. Kalau gini 'kan susah. Udah Reisa tetap kena, aku juga kena.    TBC    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD