Sebuah Keluarga

1197 Words
Rainie berjalan mondar-mandir di depan kantor dengan perasaan cemas, karena sampai sekarang Anna belum juga sampai. "Kenapa lama benget sih? Gue jadi khawatir kalo Anna kenapa-kenapa di jalan." Sebuah mobil berhenti tepat di depan gedung perusahaan William Corp. Rainie yang sedang berada di depan sana, menatap heran ke arah mobil, sampai kedua pintu kendaraan beroda empat itu terbuka secara bersamaan. Dan alangkah terkejut nya Rainie, saat melihat Anna datang dengan dokter tampan yang tidak lain adalah Samuel. "Oh my God! Hot news!" Rainie mengabadikan momen dengan menangkap gambar mereka. Samuel menatap gedung perusahaan yang menjulang tinggi di depan matanya dengan Anna yang berdiri di sampingnya. "Di sini tempat saya kerja, Dok." Anna berucap. Samuel menoleh pada Anna. "Dan kamu menjadi CEO di perusahaan ini, benar?" Anna terbelalak kaget mendengarnya. "Kok, Dokter Sam bisa tahu kalo saya seorang CEO?" tanyanya, penasaran. Samuel terkekeh pelan. "Tentu saja, saya punya indera ke enam kalo kamu mau tahu." Anna memicingkan mata curiga pada lelaki tampan berkemeja biru itu. "Masa sih? Kok saya gak percaya ya?" "Bagus lah kalo kamu gak percaya, karena saya hanya mengarang," balas Samuel dengan santai. "Lawak banget sih, Dok," kekeh Anna. Rainie melangkah mendekati Samuel dan Anna sambil menampilkan senyum menggoda nya. "Ekhm..., Pantas aja kalo Ibu Anna yang terhormat sampai telat datang ke kantor. Rupanya sedang bersama Pak Dokter ganteng ini." Anna melotot tajam seraya melayangkan cubitan pada lengan Rainie. "Heh, jangan sembarang lo kalo ngomong." Rainie meringis sambil mengusap tangannya yang tadi terkena cubitan dari Anna. "Aww, jangan di cubit dong, Na." "Makanya jangan asal jeplak aja," sinis Anna. Rainie tersenyum lebar. Kemudian tatapannya teralihkan pada Samuel. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum genit pada pemuda itu. "Hai, Pak Dokter Gans. Kenalin, nama saya Rainie. Sahabat sekaligus sekretarisnya Ibu Anna yang terhormat." Samuel tersenyum tipis sambil mengangguk sopan. "Saya Samuel," balasnya memperkenalkan diri. Anna menyenggol lengan sahabatnya. "Jangan genit sama Dokter Sam, lo bukan tipe perempuan idaman nya," bisik Anna membuat Rainie mencebik kesal. Anna mendongakkan kepala menatap pada Samuel. "Dokter, terima kasih karena telah mengantar saya ke kantor. Maaf juga sudah merepotkan." Samuel mengangguk. "Sama-sama, Anna. Kalo gitu saya pamit harus pergi ke rumah sakit lagi." Samuel masuk ke dalam mobil. Dia membunyikan klakson terlebih dahulu sebelum benar-benar pergi melaju kan mobilnya. Anna memutar tubuh menjadi berhadapan dengan Rainie. "Ayo masuk ke dalam. Ada beberapa dokumen yang mesti di siapkan sebelum pergi meeting dengan Pak Rendy." Rainie mengangguk patuh. Kemudian mereka berjalan bersama menuju ruangan Anna. Setelah mereka berada di dalam lift, Rainie melontarkan pertanyaan yang sejak tadi dia pendam di kepala. "By the way, kenapa lo bisa datang ke kantor sama Dokter Sam? Bukannya kalian gak saling kenal?" "Tadi ada insiden kecil di jalan. Dokter Sam gak sengaja nabrak gue. Untungnya gak ada luka yang parah, jadi gue gak perlu di rawat di sana." "Ya ampun, gimana bisa? Emang nya lo gak di anter sama Pak Supir?" Rainie bertanya dengan perasaan khawatir. "Ceritanya panjang." "It's oke. Gue punya waktu yang banyak buat dengerin cerita panjang lo itu, Anna." Anna mendengus pelan. "Tapi gue yang gak punya waktu banyak buat ceritain itu sekarang." "Kenapa?" "Karena sekarang adalah waktunya untuk bekerja. Bukan saling bertukar cerita," jawab Anna. Rainie meringis pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. ••• Mulan tersenyum sambil berkacak pinggang melihat makan siang yang sudah tersaji di atas meja makan. "Semuanya sudah siap. Sekarang aku tinggal mengabari Sam." Mulan mencari kontak nomor Samuel di ponselnya dan segera menghubungi lelaki itu. "Halo, Ma." "Sam, apa kamu sedang sibuk?" "Enggak, Ma. Emang nya kenapa?" "Kamu pulang ke apartemen sekarang ya. Mama sudah menyiapkan makan siang di sini." "Baik, Ma. Aku ke apartemen sekarang." "Ah ya, sekalian ajak adik kamu dan istrinya untuk makan siang bersama. Mama belum bertemu dengan mereka." "Siap, Ma." Setelah itu, sambungan telepon terputus. Sembari menunggu kedatangan mereka, Mulan memilih untuk menonton acara di televisi terlebih dahulu. Mulan memiliki anak tiri yang sudah menikah. Meski begitu, dia tidak pernah membeda-bedakan anak tiri nya dengan Samuel atau pun Safira. Dia juga menyayangi menantu dari anak tiri nya. ••• Anna menolak ajakan dari Rainie untuk makan siang bersama, karena dia ingin segera pulang dan melihat kondisi Kinan. Dia tidak ingin, Edo kembali menyakiti wanita itu lagi. "Bunda!" Anna mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia tidak melihat keberadaan Kinan. Langkahnya menuju ke meja makan, namun tak juga menemukan kebenaran Kinan. "Bi Asih, Bunda mana?" tanyanya pada asisten rumah tangga. "Bibi gak tahu, Non. Bibi baru selesai menyiapkan makan siang." "Kalo Ayah?" "Tuan gak ada di rumah dari jam sepuluh, Non." Anna terdiam dengan perasaan khawatir. "Jangan-jangan sesuatu yang buruk terjadi sama Bunda," tebak nya. "Gak. Gue gak boleh berpikir buruk kayak ini." Lantas, Anna menaiki undakan tangga dan berjalan ke arah kamar orang tuanya. TOK! TOK! TOK! "Bun, apa Bunda ada di dalam?" Tidak ada sahutan yang terdengar. Anna kembali mengetuk pintu berwarna putih itu. TOK! TOK! TOK! Perasaan Anna menjadi tidak enak. Dia pun memutuskan membuka pintu kamar untuk memastikan ada atau tidaknya Kinan di dalam. "Bunda?" Anna mengedarkan pandangannya, lalu dia dibuat terkejut saat melihat Kinan tergeletak di atas lantai dalam keadaan tak sadarkan diri. "Ya ampun, Bunda!" Anna berjongkok di samping tubuh Kinan. Dia menepuk-nepuk pelan pipi wanita itu. "Bunda, bangun!" Wajah Kinan terlihat pucat. Anna berlari keluar dari dalam kamar untuk meminta bantuan. "Bi! Bibi! Tolongin, Bunda!" ••• Samuel tersenyum melihat beberapa menu makanan yang tersaji di depan matanya. "Aroma nya sangat menggugah selera," puji Samuel. Mulan terkekeh pelan. "Kamu bisa saja membuat Mama terbang." Samuel sampai di apartemen lebih dulu, karena memang jarak dari rumah sakit tidak terlalu jauh. "Makannya nanti ya, tunggu adik kamu dan istrinya sampai." Samuel mengangguk. "Selamat siang!" Samuel dan Mulan menoleh secara bersamaan ke sumber suara. Mulan langsung memeluk tubuh menantunya. "Ah, Mama sangat merindukan mu, Sayang." Livia tersenyum. "Aku juga sangat merindukan, Mama." "Apa Mama hanya merindukan istriku saja? Bagaimana dengan anakmu ini, Ma?" Mulan dan Livia tertawa pelan melihat lelaki berjas abu-abu yang sudah duduk di meja makan bersama Samuel. "Ternyata ada yang cemburu," goda Mulan. "Aku gak cemburu. Hanya memastikan kalo Mama masih ingat sama aku." Mulan tertawa menghampiri lelaki tersebut. "Tentu saja Mama merindukan mu juga," ucapnya lalu mereka saling berpelukan. "Aku juga, Ma." Pelukan mereka terlepas. Mulan menoleh ke arah Livia. "Ayo, Sayang. Duduk dan kita makan siang bersama." Livia mengangguk, kemudian duduk di samping suaminya. "Sam, apa kamu gak mau seperti mereka?" Mulan bertanya. Samuel menghela napas berat. "Ma, sudahlah. Sekarang ayo makan, aku harus segera kembali ke rumah sakit." "Apa mau aku carikan calon istri untuk kamu, Bang?" "Percuma. Abang kamu pasti akan menolaknya. Dia selalu mengatakan kalau dia bisa mencari calon istri sendiri. Tapi sampai sekarang, belum ada satu perempuan pun yang dia kenal kan sama Mama," sahut Mulan menjawab. "Mungkin memang belum waktunya, Bang Sam dipertemukan dengan pasangan hidupnya, Ma." Livia bersuara. Samuel mengangguk setuju dengan ucapan adik iparnya. "Ah ya, bagaimana dengan tender jalan tol itu? Apa kamu bisa memenangkannya, Daniel?" Mulan bertanya pada anak tiri nya. Daniel tersenyum, lalu menggelengkan kepala. "Enggak, Ma. Aku gak berhasil mendapatkan tender itu." Mulan menganggukkan kepala. "Gak apa-apa. Mungkin memang belum rezekinya," ucapnya. "Ya sudah, sekarang ayo makan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD