“Ck … aku nggak mau, Geo. Aku nggak mau berhubungan dengan kamu lagi.”
“Temenan deh.”
“Iya, aku tetap kenal kamu, tapi untuk makan berduaan aku udah nggak mau.”
“Ya udah, ajak Tesa.”
“Nggak.”
Icha benar-benar mematikan ponselnya dan tidak mau mengangkat panggilan Geo. Namun, beberapa saat kemudian terdengar bunyi notif, dan ternyata sebuah pesan maaf dari Geo bahwa dia telah menyinggung Icha dan Andra. Icha tidak membalasnya.
“Bener-bener nyebelin ya? Dulu aja lo sampe ngemis-ngemis minta balikan, nggak dia tanggepin, dan nomor lo diblok ma dia berbulan-bulan, sampe lo nangis-nangis. Sekarang? Dia kayak nggak ada dosa ma lo. Gila, bener-bener gila tuh orang. Psikopat habis! Gue haramin tuh orang nyentuh lo, Cha. Apalagi niat kawin. Najis gue mah!” Tesa mengumpat kasar, geram dengan sikap sok Geo.
Icha dalam hati membenarkan, dan bertekad tidak mau tergoda kembali dengan Geo.
***
Siska berulah, dia mendatangi apartemen Andra dan mencak-mencak di sana. Baru saja pintu dibuka Andra dari dalam, dia sudah memarahi Andra sambil menunjuk-nunjuk wajah Andra yang sepertinya baru bangun tidur.
“Kamu ngasih anak makan nggak bener, Dra! Makan mi instan! Bulan depan Vanya nggak aku bolehin nginap di apartemen kamu!”
“Siska!”
Andra menarik lengan Siska agar masuk ke dalam apartemennya, supaya pertengkaran mereka tidak didengar tetangga sekitar. Maklum, apartemen Andra bukan apartemen mewah, suara meledak-ledak Siska bisa didengar tetangga sekitar.
Siska berteriak keras, dan Andra pasrah mendengar kata-kata kasarnya.
“Ya kamu boleh nggak terima, tapi jangan seperti ini, Siska. Malu, aku nggak enak sama tetangga.”
“Biarin! Biar mereka tau kalo kamu Papa yang nggak bener!”
“Siska, masuklah dulu, kita bisa bicara baik-baik.”
“Aku udah nggak mau bicara baik-baik, apalagi soal makanan Vanya! Gila kamu ya? Males turun ke bawah, anak dibiarin makan sampah!”
“Vanya yang menginginkannya.”
“Nggak begitu ceritanya, dia bilang kamu nggak mau ajak ke luar karena alasan makanan udah nggak segar. Otak kamu di mana? Dosen apa orang gila?”
Andra menghela napas panjang, menyesalkan Vanya yang bercerita seperti itu. Padahal dia sudah wanti-wanti Vanya untuk tidak menceritakan ke mamanya.
“Ok, bulan depan Vanya nggak di sini,” Andra terpaksa mengalah. Namun, dalam hati dia sangat sedih membayangkan dirinya tidak dikunjungi Vanya. Meskipun dia menyalahkan Vanya yang bercerita, namun, dia yakin pasti Vanya punya alasan menceritakan kepada mamanya tentang makanan yang dia makan selama menginap di apartemennya.
Siska mengamati sekilas apartemen kecil Andra, dan tersenyum sinis.
“Nggak tau diri, lihat apartemen kecil kamu, nggak ada pantes-pantes Vanya menginap sama kamu.”
Andra tidak mau membalas dan memilih diam. Dia sangat bersyukur telah bercerai dari perempuan yang mulutnya tajam seperti Siska. Ah, padahal Siska dulu tidak begini, dia adalah istri yang penurut dan berhati lembut. Tidak pernah berkata kasar dan dia sempat berhasil mendidik Siska. Tiga tahun terakhir, Siska berubah kasar sejak lebih sering mengunjungi kediaman mamanya di Menteng.
Siska memandang sinis wajah Andra sebelum berjalan cepat menjauh dari apartemen Andra.
***
Icha pergi ke café kampus sebelum menuju ke perpustakaan. Ada pemandangan yang tidak mengenakkan perasaannya pagi itu, dia melihat Andra tengah duduk santai merokok dengan seorang perempuan berambut pendek dan juga sedang merokok. Entah kenapa Icha jadi sedikit lemas melihat mereka akrab berbincang. Cemburu? Ih, Icha merasa tidak pantas merasa cemburu. Namun, dia tetap membeli kopi panas dengan menggunakan termosnya.
“Sama Croissant satu, Mbak,” ujar Icha ke kasir sambil merogoh dompetnya.
“Nggak usah, Kak. Udah dibayarin sama Pak Andra.”
“Ha?” Icha mendelik heran dan menoleh ke arah tempat duduk Andra di sudut café. Tampak Andra melambaikan tangan ke arahnya dan tersenyum dari kejauhan. Icha membalasnya dengan menunduk tersenyum.
“Makasih, Mbak,” Icha mengucapkan terima kasih ke kasir café.
Icha ragu-ragu apakah dia harus menghampiri Andra dan berucap terima kasih karena telah membayarkan jajannya. Tapi ketika dia memutuskan hendak menghampiri, Andra dan teman perempuannya sudah melangkah ke luar dari café, menuju motor masing-masing. Icha jadi tidak kuasa melangkah ke sana, karena tampaknya keduanya buru-buru pergi.
Icha memilih langsung pergi ke perpustakaan, dengan hati bertanya-tanya kenapa Andra membayarkan makanannya, padahal dia baru saja tiba di café.
Icha kini sudah berada di dalam perpustakaan. Ingin mengenang pertemuan pertamanya dengan Andra, dia memilih tempat di mana dia dipergok Andra karena telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh.
Bukannya membuka laptop ketika sudah duduk rapi, Icha malah mengetik pesan untuk Tesa.
“Halo.”
“Heh … itu Bu Inka, Icha. Kuper amat lo. Dia itu temen deket Pak Andra udah lama.”
Ternyata Icha mengungkapkan galaunya kepada Tesa karena telah melihat Andra tengah duduk dan asyik berbincang dengan seorang perempuan yang tidak dia kenal di café kampus.
“Lo cembukur? Haha … udah jatuh cinta lo rupanya ma dia.” Tesa terdengar senang menertawai Icha.
“Tapi, Tes. Gue tadi dibayarin ma Pak Andra lo. Padahal gue datang ke café setelah dia.”
“Nah lo! Buruan lo tanya tuh duda, kok bayarin lo.”
Icha menggeleng, dia tentu malu bertanya.
“Atau lo bawain dia apa kek, mi mi gitu. Alasan lo mau balas budi, terserah lo redaksinya gimana, trus lo tanya napa dia bayarin lo.”
Icha tertawa kecil, Tesa ada saja ide ingin mendekatkannya dengan Andra.
“Ya udah, Tes. Gue lanjut nulis ya.”
“Ok. Good luck and semangat ya, Cha.”
Barulah Icha membuka laptopnya dan mulai serius membaca beberapa artikel.
Kira-kira sepuluh menit, Icha kaget, ada yang menegurnya siang itu.
“Di sini, Marischa?”
Icha menoleh ke belakangnya, ternyata Andra yang baru saja tiba di ruangan itu.
“Eh, Pak Andra.”
Andra tersenyum ke arahnya, dan ikut duduk di dekatnya.
Icha seketika merasa jantungnya berdegup tidak karu-karuan, tidak menyangka orang yang selalu dia harapkan berada sangat dekat dengannya.
“Ngerjain bab berapa sekarang?” tanya Andra, matanya tertuju ke laptop Icha.
“Bab tiga, Pak, metode penelitian.”
Andra manggut-manggut. “Wah, cepat juga. Nanti jangan lupa kalo bab tiga selesai, kamu segera hubungi saya.”
“Iya, Pak.”
“Kamu suka di sini?” tanya Andra lagi, dengan senyum simpulnya.
Icha tertawa malu, dia tahu Andra menyinggung kejadian itu. Dia mengangguk kecil.
“Maaf, bukan menyinggung yang dulu itu. Saya juga suka tempat ini. Sepi dan jarang ada yang mau duduk di sini.”
Andra tampak siap-siap pergi. “Baik, Marischa. Maaf ganggu kamu.”
“Eh, Pak.” Icha langsung mencegah Andra pergi.
“Ya?”
“Tadi … kenapa Bapak bayarin Icha?” Icha langsung memberanikan diri bertanya.
“Oh … saya udah liat kamu parkir mobil dan mau ke café, saya bilang ke kasir sekalian bayarin kamu kalo kamu jajan di sana,” jawab Andra dengan senyum hangatnya.
“Makasih, Pak Andra.”
“Sama-sama. Saya ke kantor dulu, saya hanya ambil buku ini. Selamat belajar.”
Andra bangkit dari duduknya, tapi lagi-lagi Icha menahannya.
“Pak.”
“Ya?”
“Panggil Icha aja, Pak.”
Andra tertawa kecil mendengar permintaan Icha.
“Oke, Icha.”
Bersambung