Setelah menemui dosen pembimbingnya yang bernama Andra, Icha memutuskan pergi ke café dan membeli kopi panas latte yang dia masukkan ke dalam termos. Sambil membawa termos yang berisi kopi dan ransel di punggung, dia melangkah cepat menuju perpustakaan yang lokasinya tepat di depan café. Gadis itu terlihat berusaha menenangkan diri setelah mengetahui bahwa dosen pembimbingnya adalah pria yang memergokinya di perpustakaa, berharap Andra tidak mempersulit dirinya saat bimbingan.
Sesampai di perpustakaan, Icha memilih tempat duduk yang nyaman di spot yang berbeda dari sebelumnya, tapi tetap saja dia memilih tempat yang sepi yang jarang sekali dilalui orang-orang, sesekali petugas perpustakaan melewatinya atau penjaga perpustakaan.
Icha meletakkan laptopnya di atas meja dan membukanya. Dia menghela napas panjang, memikirkan hidupnya yang semakin rumit. Dia merasa tidak b*******h, ada perasaan malu yang meningkat, sehingga tidak semangat melakukan apapun.
Icha menatap kosong layar laptopnya, mengenang kesehariannya bersama Geo sebelum putus. Jika sebelumnya Geo dengan setia mengantarnya ke sana ke mari dengan mobil sport mewah, kini Icha harus menyetir sendiri dengan mobil jeep terbarunya. Meskipun keren dengan mobil mahal, hati Icha tidak bahagia. Icha merasa konyol dengan kelakuan tak pantasnya, lalu diketahui pula oleh seorang pria yang tidak lain adalah dosen pembimbingnya sendiri. Kembali terbayang wajah keduaorangtuanya yang pasti malu sekali seandainya perbuatannya jadi ajang gossip di kampus. Ah, semoga Pak Andra tidak menyebarkannya, batin Icha penuh harap.
“Halo?”
“Icha. Lo di perpus?”
“Kok tau?”
“Hehe … nebak. Eh, kok suara lo lemes gitu?”
“Iya, habis ketemu Pak Andra.”
“Ha? Ketemu Pak Andra?”
“Iya. Dia dosen pembimbing gue, Tesaaaa.”
“O My God! Jadi jadi … gimana pertemuan pertama lo dengan Pak Andra?”
Pertanyaan Tesa malah menggiring pikiran Icha ke kejadian minggu lalu. Tentu saja pertemuan pertamanya dengan Andra adalah di perpustakaan, di mana dia tengah menikmati menyentuh bagian bawah tubuhnya di perpustakaan, sampai hampir mencapai klimaks, tapi ditegur Andra, dan Icha malu sekali, dan malunya tidak hilang sampai sekarang.
Icha mengusir ingatan kejadian itu dari pikirannya. “Ya, nggak banyak ngomong sih. Proposal gue diterima dan dia bolehin gue mempersiapkan bab-bab selanjutnya, sebelum ujian.”
“Wedeeeeh, hebat banget langsung keterima proposal lo. Gue aja masih nunggu Bu Meis baca-baca. Gile banget … antrinya banyak, ada dua belas orang. Baik sih baik, tapi disiplin ternyata.”
Icha tersenyum tipis, dia bahkan bertemu dengan Andra kurang dari tiga menit. Andra memeriksa proposalnya sebentar, menandatangani, dan menyuruhnya menyicil bab. Itu saja, dan dia ke luar dari ruangan.
“Eh, kan lo belum ujian proposal, kok lo langsung disuruh nyicil bab selanjutnya?” tanya Tesa tiba-tiba.
Icha menghela napas panjang. Dia juga tidak tahu kenapa dia dipermudah oleh Andra. “Tauk, dia ngomongnya kegitu ma gue. Dia bilang tunggu jadwal ujian proposal, dan gue udah dibolehin nyicil bab.”
“Ya, gimana lo nyicil, ujian aja belom.”
Icha memonyongkan bibirnya dan terdiam beberapa saat. Dia baru menyadari bahwa sepertinya Andra memberinya jalan kemudahan.
“Wih, selamat ya, Icha. Semangaaaaat!”
Ah, akhirya Icha bisa juga tersenyum, karena Tesa yang menyamangatinya pagi itu. Suara Tesa dan kata-kata Tesa lumayan menurunkan tingkat galaunya.
Baru saja Icha bangkit dari duduknya, hendak mengambil salah satu buku di rak perpustakaan, bunyi notif ponselnya terdengar berkali-kali.
Icha mengambil ponsel dari saku ranselnya, ternyata ada pesan penting dari Andra.
Marischa. Ada beberapa hal yang harus kamu perbaiki dalam proposal kamu. Silakan kamu cek di file yang saya kirim barusan. Kamu perbaiki segera dan kirim kembali hasil perbaikan proposal kamu. Minggu depan kalo kamu siap, saya atur jadwal ujian kamu.
Dirandra PS
Icha tersenyum lebar membaca pesan dari dosen pembimbingnya. Entah kenapa dia merasa bulu di kuduknya merinding bahagia, membaca pesan dari Andra seolah Andra berbicara dengan lembut kepadanya. Icha masih ingat suara bass Andra yang menenangkan di saat dia bertemu Andra di ruang kerjanya. Meskipun hanya beberapa menit, Icha lumayan mengingat suara rendah dan kebapakan itu.
Perasaan galau Icha berubah menjadi semangat. Ternyata dugaannya tidak benar, bahwa Andra akan mempersulitnya, namun sebaliknya, Andra malah mempermudah juga mempercepat proses bimbingan.
Icha membalas dengan kata ‘siap, Pak’.
Pesan Andra jadi moodboster Icha hari ini.
Icha kembali duduk di depan lapotop, memperhatikan poin-poin yang harus dia perbaiki, yang ditulis Andra di proposalnya. Ada banyak coretan di layar laptopnya, tapi Icha tidak menyerah dan bertekad memperbaikinya saat itu juga. Sambil memperbaiki isi proposal, Icha juga berselancar di dunia maya mencari bahan-bahan dan materi yang mendukung proposal penelitiannya.
Icha benar-benar memanfaatkan momen perasaan bahagianya hari itu di perpustakaan. Dia dengan mudah mencari beragam buku dan dokumen di dalam perpustakaan untuk memperkuat isi penelitiannya.
Hampir empat jam Icha berada di dalam perpustakaan, dia menghentikan kegiatan mengetik saat perutnya meminta diisi.
***
Sementara itu Tesa sedang santai di dalam kamar kosnya. Dia memang membuka laptop dan iseng membaca jurnal dan artikel yang berkaitan dengan penelitiannya, sambil menunggu jawaban dari Bu Meiska.
“Pak Andra,” gumam Tesa tiba-tiba. Entah kenapa dia kembali mengingat hasil pembicaraannya dengan Icha di telepon sejam yang lalu. Dia agak heran mendengar suara lemah Icha setelah menemui dosen pembimbingnya, padahal anak itu dipermudah dan diperbolehkan pula untuk menyicil bab. Seharusnya Icha semangat atau gembira. Tapi, kenapa sahabatnya yang cantik itu terdengar lesu.
“Ah, pasti lagi galau mikirin Geo,” tebak Tesa bermonolog. Iseng, Tesa memantau media sosial Geo. Bibirnya miring ke atas, melihat kabar terbaru Geo, ada beberapa foto yang menunjukkan keakraban Geo dengan seseorang yang bernama Lily. Tesa dengan cepat menebak bahwa Lily adalah pacar baru Geo. Dan Lily merupakan mahasiswi baru. Dia cantik, tinggi, dan putih.
“Basi,” batin Tesa, memandang sinis gadis yang berdiri berdampingan dengan Geo. “Selera pasaran,” gumamnya lagi. “Cantikan Icha ke mana-mana.”
Keisengan Tesa belum usai, entah bagaimana terlintas di benaknya sosok Andra yang belum pernah dia temui atau dia kenal. Maklum, ada banyak dosen yang mengajar dan di setiap semester dan selalu berbeda-beda. Bahkan, satu mata kuliah diajarkan oleh dosen yang berbeda di setiap kelas. Nama Dirandra masih terdengar asing, dan nama itu mencuat saat sibuk menyusun laporan akhir.
Tesa lalu mencari tahu sosok yang ‘katanya’ kurang ramah dan tegas, dan dikenal mempersulit. Lagi-lagi Tesa merasa aneh, kok Icha dipermudah ya?
Deg.
“Wih, ini namanya Andra?”
Jantung Tesa berdebar-debar melihat wajah Andra di website profil kampus. Meski berukuran foto paspor, Tesa menilai bahwa Andra adalah sosok pria berperawakan tampan, kelahiran Magelang, kuliah S1 di Yogyakarta, S2 di Amerika Serikat dan S3 Di Inggris.
Bersambung