Bab 6. Ha? Duda?

1026 Words
Andra tersenyum tipis melihat banyaknya dm yang masuk ke nomor kontaknya. “Kenapa lo senyum-senyum, Dra?” tanya Inka heran melihat Andra mengamati layar ponsel sambil tersenyum. Setahunya Andra tidak begitu aktif di media sosial. Andra meletakkan ponselnya di atas meja café, lalu menyalakan rokoknya. “Biasa, mahasiswi-mahasiswi iseng, ada yang nanyain kapan bisa ketemu … bimbingan skripsi, ada juga bimbingan kuliah.” Inka tertawa ringan, “Sudah gue tebak. Asal lo tau, isu lo cere udah sering dibahas di forum mahasiswa. Mereka bersyukur lo cere.” Andra menggeleng tertawa, dia tetap tidak merasa dirinya seleb yang kabarnya selalu ditunggu-tunggu. Tapi dalam hati dia sedikit menyesalkan isu perceraiannya jadi bahan gossip di kampus. Namun, tetap ada hikmah di balik penderitaannya tersebut, orang-orang yang semakin ramah menyapanya. Dia menyadari bahwa di setiap dia melangkah, ada saja yang berbisik-bisik setelahnya. Tapi Andra tidak terlalu memikirkannya. Andra mengusap-usap wajahnya. “Ntar, nggak lama lagi gue jadi inceran gossip. Hari ini aja udah satu orang nanyain gue pacaran nggak sama lo.” “Serius?” “Ya.” “Astaga. Siapa?" "Paling juga mahasiswi iseng." Andra menggelengkan kepalanya. Inka adalah sahabat sejatinya dan memilih tidak menikah karena lebih senang hidup sendiri. Bagaimana bisa orang berpendapat dirinya dan Inka adalah pasangan? “Banyak yang dm lo?” tanya Inka yang melihat Andra yang larut dengan rokoknya. Andra berdehem sejenak, lalu menjawab, “Belasan.” “Haha. Cepat cari ceweklah. Biar pada mingkem.” Baru saja Inka menyinggung tentang perempuan, ada sebuah notif di ponselnya yang menyita perhatian Andra, pesan-pesan dari Icha, mahasiswi bimbingannya. Andra mengambil lagi ponselnya dan membawa pesan dari Icha. Pak Dirandra, Saya Marischa. Mahasiswi bimbingan Bapak. Saya sudah memperbaiki proposal saya dan memasukkan poin-poin yang Bapak sarankan. Maaf, Pak. Baru kirim sekarang, karena baru saja saya menyelesaikannya. Terima kasih, Marischa or Icha Andra tertegun membaca pesan dari Marischa, dari kata-kata yang dipilih, menurutnya Icha adalah gadis yang sopan. Dia tersenyum dalam hati mengingat dirinya yang memergoki gadis itu yang sedang menyenangkan dirinya sendiri di perpustakaan. “Penting?” tanya Inka mengamati Andra serius membaca pesan di layar ponselnya. “Ya, mahasiswi mengirim proposal penelitian yang sudah diperbaiki,” jawab Andra sambil membaca sekilas proposal yang dikirim Icha. Kira-kira tiga menit kemudian, dia pun membalas, Jumat minggu ini kita akan melaksanakan ujian proposal kamu. Dan dibalas Icha. Baik, Pak Dirandra. Terima kasih banyak atas bantuan Bapak. Andra kembali meletakkan ponsel di atas meja café setelah membaca balasan Icha. Ternyata Inka mengamati gerak gerik Andra dengan tatapan curiga. Andra jarang sekali mau membalas pesan di saat-saat santai, apalagi dari mahasiswa. Andra melanjutkan rokoknya. “Cewek?” todong Inka. Andra terkekeh, “Iya.” “Cakep?” “Ya.” “Lo naksir?” Andra menggeleng tertawa. Icha lumayan cantik, sopan juga. Tipe-tipe perempuan manja, hampir mirip Siska muda dulu, begitu pendapatnya. “Namanya Marischa, nicknamenya Icha.” Inka mengulum senyumnya, dan sepertinya dia mengenal nama yang disebut Andra. “Lo tau?” tanya Andra. “Ya, tau orangnya. Terkenal cantik dan kaya.” Inka menghisap rokoknya dalam-dalam. Matanya memicing ke arah Andra. “Tumben lo jawab cepet,” deliknya curiga. “Ya, ngurangin kerjaan guelah. Lagi pula dia cukup cepat memperbaiki proposalnya,” ujar Andra, sedikit berkilah. Inka mengamati perubahan wajah Andra saat menyinggung Icha. Dia menggeleng tersenyum membayangkan Andra dan Icha berpasangan. “Ada Siska kedua nih.” “Nggaklah. Ini kebetulan aja gue lagi mood jawab. Anaknya rajin dan sopan.” Inka mengangguk-anggukkan kepalanya. “Dia itu eksnya Geovanni, yang dulu pernah nabrak motor lu.” Andra mengernyitkan dahinya. Dia sepertinya hampir lupa dengan kejadian yang disebut Inka. “Ah, pasti lo udah lupa. Dulu banget, sebelum lo jabat jadi sekjur. Dua tiga tahun lalulah, lo masih dosen biasa, ngajar di Humaniora.” Inka memainkan rokoknya dengan dua jarinya, “Geo ini anak Humaniora.” “Oh, iya gue ingat. Jadi Icha mantannya Geo?” “Iya, putus. Padahal udah bertahun-tahun pacaran.” Andra jadi mengingat kejadian motornya yang ditabrak dari samping oleh mobil sport Geo. Awalnya Geo meminta ganti rugi karena mobil mahalnya lecet. Tapi karena kejadian itu posisi awal mobil Geo adalah di belakang Andra, jelas Geo yang salah. Hampir saja Andra memperkarakannya ke polisi, tapi Geo menyelesaikannya dengan uang, dan mengganti motor kerusakan motor Andra, dan Andra tidak berhak mengganti apapun. Kejadian ini sudah lama dan Andra sudah melupakannya. Dia tidak akan ingat jika Inka tidak menyinggungnya. Andra terkekeh pelan, mengingat kejadian yang tidak dia duga di perpustakaan, awal jumpa dengan Icha. Dengan cepat dia menebak mungkin Icha sedang mengenang masa-masa pacaran. *** Icha masih heran dengan Tesa yang semakin hari semakin grasak grusuk ingin cepat-cepat ketemu Pak Andra bersamanya. Tapi tetap saja dia mengiyakan keinginan Tesa yang satu ini. Tesa pernah pacaran dua tahun lalu, tapi putus karena pacarnya pindah kuliah ke Bangkok dan sudah menikah. Setelah itu, Tesa tidak pernah pacaran dan fokus kuliah dan bermain dengannya. Tesa kok terkesan ngebet sama Pak Andra ya? Aneh banget anak itu. “Heh!” Icha yang sedang khusyuk mengetik melonjak kaget, Tesa mengejutkannya. Tesa duduk di depan Icha. Dia senyum-senyum memandang Icha. “Jadi ujian lo kapan?” Tesa membuka ransel dan mengeluarkan laptopnya. “Lusa. Ini gue lagi bikin PP.” Tesa manggut-manggut. “Napa lo ngebet banget mau ikut ketemu Pak Andra?” “Karena beliau cakep.” Icha menggeleng tersenyum dengan sepasang mata yang tertuju ke layar laptop. Mendengar pujian Tesa, wajah Andra jadi terlintas di benaknya. Andra memang cakep, dan pembawaannya santai tapi serius. Icha jadi ikut mengaguminya. “Lo apa nggak terpana gitu?” tanya Tesa. “Haha.” “Dia lebih cakep dari Geo loh.” “Iya, emang. Tapi gue harus serius dengan proposal gue. Lo apa-apaan sih? Lo yang kepingin ketemu Pak Andra, lo malah nanyain gue.” “Yah … siapa tau. Gue kan sohib lo. Gue nggak enaklah kalo gue demen ma Pak Andra, eh, nggak taunya lo juga suka ma dia.” Icha menggeleng lagi. Tapi dia dengan cepat menyadari sesuatu. “Pak Andra belum menikah ya? Atau jangan-jangan dia sudah punya pacar.” “Kalopun sudah punya pacar nggak masalah. Tapi yang penting tuh dia duda.” “Ha? Duda?” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD