THE NIGHT

1346 Words
   Malam ini, seperti malam-malam yang telah berlalu. Sepi. Sunyi. Sendiri.    Aku kini tengah duduk bersandar di atas ranjang tidurku, melamun seraya mendengar suara hujan deras di luar itu. Aku menarik sedikit selimut yang menutupi setengah tubuhku dan mencengkeramnya sesaat. Suara hujan itu semakin keras terdengar. Satu per satu rintikannya jatuh dan menghantam tanah, suara petir yang menggelegar pun sesekali terdengar menemani. Ting Tong... Ting Tong...    Aku beranjak berdiri dan menghampiri pintu, lalu membukanya. Oh s**t!    Aku hanya memasang wajah datar menyambutnya di sini. Tanpa sedikitpun kata-kata, aku langsung menutup pintu dan membiarkan dirinya hilang dari hadapanku. Tok... Tok... Tok...    "Key, tolong buka pintunya. Kakak bawa pizza keju kesukaan kamu," ujarnya lembut dari luar sana. Aku terdiam, bersandar di balik pintu ini. Tok... Tok... Tok...    "Keyrina? Buka pintunya, izinin kakak masuk dek. Kita bisa ngobrol sebentar," lanjutnya.    Entah dengan alasan apa, aku membuka pintu untuknya. Aku tak mengerti kekuatan apa yang membuat tanganku menekan knop pintu itu begitu saja. Kak Nathan tersenyum hangat, lalu ia memperlihatkan sekantung plastik besar berisi pizza keju yang ia bilang tadi. Aku mengizinkan dirinya masuk ke dalam apartemenku, karena sejujurnya, aku juga ingin dia di sini bersamaku, untuk waktu yang lama.    Kak Nathan melangkahkan kakinya masuk. Seluruh tubuhnya basah, baju, celana, dan rambutnya benar-benar basah kuyup, mungkin karena hujan di luar. Ia meletakkan pizza itu di atas meja, lalu ia berdiri kebingungan. Mungkin ia sungkan duduk di sofa karena takut sofa itu basah dan hal itu akan merepotkanku. Ya, mungkin itu yang dia pikirkan. Aku berjalan keluar apartemen dan tiba-tiba mendapati Leo tengah berdiri di ambang pintu apartemennya.    "Eh, tadi gua liat ada cowok di apartemen lo. Dia siapa? Orang jahat bukan? Gangguin lo nggak?" tanya Leo cemas.    Aku tersenyum kecil.    "Dia kakak gue."    "Serius?"    Aku mengangguk. "Le, gue boleh minta tolong ke lo nggak?"    "Apa?"    "Pinjem baju sama celana lo dong."    Leo mengernyit. "Buat?"    "Buat kakak gue, baju dia basah, gue kan nggak punya baju cowok, jadi gue pinjem ke lo boleh ya?"    Leo mengangguk-angguk. "Yaudah tunggu."    Lalu ia kembali masuk ke dalam apartemennya. Di saat yang sama, sang adik, Carla datang bersama boneka beruangnya. Ia berlari seraya tersenyum dengan gigi rapinya menghampiriku. Aku berlutut, menjajari posisinya.    "Kakak mau main lagi? Ayo kak, kita main belbi lagi," ujarnya menggemaskan.    Aku mencubit pipi tembamnya.    "Kakak nggak bisa main sekarang. Carla main sama kak Leo aja ya, atau sama Mama," balasku.    Carla mengerucutkan bibirnya.    "Kak Leo nggak mau main belbi cama Lala. Mama sama Papa uga masih kelja."    Aku tertawa kecil.    "Maaf, kakak nggak bisa main sama kamu hari ini. Mungkin besok ya."    Carla mengangguk pelan.    "Nih."    Aku mendongak ketika mendengar Leo berucap. Aku berdiri dan mengambil pakaian pinjamannya itu.    "Thanks," ujarku.    Leo tersenyum. "Iya."    Lalu, perlahan aku balik badan dan berjalan menuju apartemenku. Namun, langkahku terhenti, tepat ketika sebuah tangan tiba-tiba menarik dan menahan tanganku. Aku menoleh kepadanya lagi.    "Gua liat lo sama kakak lo ada masalah, kalo lo kenapa-napa telpon gua aja. Lo udah punya nomer gua kan?" ujarnya, lagi-lagi cemas.    Aku tersenyum. "Iya. Pasti."    Untuk beberapa saat. Kami diam dalam posisi ini. Entah kenapa tak ada satupun dari kami yang melawan untuk terlepas dari posisi kami sekarang.    "Le," ujarku lirih, terdengar seperti berbisik.    Leo terdiam.    "Diliatin adek lo. Nggak enak," ujarku lirih lagi.    Leo terlihat menoleh kearah Carla, dan dengan segera ia melepaskan genggamannya.    "Cieee kakak," ledek Carla.    "Apaan sih kamu," gerutu Leo.    Aku tertawa kecil. Lalu aku pergi dari hadapan mereka sesaat setelah mengatakan terima kasih. Clak!    Dia masih berdiri di sana. Seperti orang bodoh. Aku menatapnya datar, dan melemparkan baju pinjaman Leo padanya. Kak Nathan segera menangkap pakaian itu dan dengan canggung, ia pergi ke kamar mandi lalu kembali dengan pakaian Leo yang telah ia kenakan.    "Baju siapa dek?" tanyanya.    "Tetangga."    "Makasih ya."    "Hm."    Aku kembali pada posisiku tadi. Duduk bersandar dan berselimut di atas tempat tidur sembari mendengarkan suara hujan yang masih turun deras. Kak Nathan duduk di sisi ranjang dan menatap ke arah balkon, sama sepertiku. Terdengar suara helaan napas yang panjang darinya.    "Kamu dari dulu suka hujan, waktu kecil, kita sering main ujan-ujanan di halaman belakang sampe bikin Mama marah. Inget nggak?" tanyanya pelan.    "Nggak!"    "Atau, kamu inget nggak, dulu waktu kecil, kamu, kakak, sama kak Richard pernah ujan-ujanan karena nunggu Papa pulang. Mobil Papa rusak waktu itu, dia naik bis dan nggak bawa payung, jadi kita bareng-bareng pergi untuk jemput Papa sampe sore. Inget nggak?"    "Nggak!"    Hening sejenak.    "Kamu lupa banyak hal ya," ujarnya lirih lagi.    Aku terdiam. Sejujurnya, aku masih mengingat semua itu. Kenangan bermain hujan ataupun kenangan menjemput Papa, aku tak lupa sama sekali, aku bahkan ingat pakaian apa yang kukenakan hari itu, aku tak lupa sedikitpun. Hanya saja, aku 'berpura-pura'. Uhukk... uhukk...    Suara batuk kak Nathan itu berhasil memecah keheningan yang baru saja hadir. Aku langsung menatapnya meski sedikit sinis.    "Lo sakit?" tanyaku.    "Paling flu biasa. Karena kena ujan pasti," jawabnya. "Kakak mau bikin teh anget," lanjutnya, lalu ia berjalan menuju dapur.    Aku tak tinggal diam. Aku juga beranjak dari posisiku. Aku berjalan menuju dapur sama seperti dirinya. Aku menjajari posisinya yang kini berdiri di depan kompor. Aku pura-pura membantunya. Aku mendekatkan diriku, semakin dekat, dan terus semakin dekat hingga kini pergelangan tangan kami saling bersentuhan satu sama lain. Tangan itu terasa panas. Aku sungguh yakin jika kak Nathan sakit. Ini caraku untuk mengetahuinya sakit atau tidak, aku tak mungkin menyentuhnya begitu saja, jadi lebih baik aku diam-diam seperti ini. Aku menatap kak Nathan, wajahnya kini sungguh pucat.    "Lo istirahat aja, nanti teh nya gue yang bikinin," ujarku.    "Nggak usah, kakak bisa bikin sendiri."    "Terserah lo deh ya."    Aku segera pergi dari hadapannya, dan mengambil sebuah payung di sudut dapur, lalu lagi-lagi beranjak pergi.    "Kamu mau kemana dek?"    "Bukan urusan lo!" Clak!    Aku membanting pintu dan segera pergi keluar dari apartemenku. Aku turun hingga tiba di lantai satu dan segera pergi keluar area apartemen. Aku membuka payung milikku, memegangnya di atas kepalaku dan segera beranjak pergi dari posisiku.    Kalian pikir aku kemana?    Kalian pikir aku kabur? Menjauh dari si s****n yang ada di apartemenku itu? Atau apa?    Sungguh, jika kau berpikir seperti itu. Itu salah besar. Aku pergi ke apotek, aku sadar aku tak memiliki obat-obatan yang bisa membuat kak Nathan mungkin sedikit lebih baik, jadi aku memilih menerobos hujan dan pergi ke apotek yang lumayan jauh dari apartemenku. Namun, aku tak peduli. Jujur, kakiku pegal sekarang, tapi biarlah, malam nanti jika aku tidur sakitnya pasti akan hilang. Sesampainya aku di apotek, aku segera membeli obat-obatan yang aku butuhkan. Aku hanya menjelaskan keluhan sakit kak Nathan, dan apoteker itu langsung memberiku obat, aku hanya menerimanya karena kuyakin, ilmu kedokterannya setidaknya lebih baik dari diriku yang tak mengerti apapun tentang obat-obatan ini.    "Saya juga mau beli multivitamin deh mbak," pintaku pada perempuan di hadapanku.    "Tunggu ya."    Perempuan bergaya perawat itu melangkahkan kakinya untuk mencari multivitamin yang kuminta. Namun, langkahnya langsung terhenti ketika seorang bocah lelaki datang dan segera berpesan padanya.    "Saya mau beli obat oles buat luka ya mbak," ujar bocah lelaki itu.    Dan, kami pun menunggu pesanan kami dicari. Namun, aku tak mempedulikan itu, aku menatap bocah lelaki itu kini. Sungguh tak asing bagiku. Aku menyentuhnya, dan ia menoleh. Benar saja dugaanku.    "Vikar?"    Ia terkejut. "Kakak?"    Aku melihat dirinya kini. Semakin parah. Luka-luka di tangannya semakin banyak. Beberapa memar pun terlihat di wajahnya. Aku mengelus kepalanya pelan.    "Dipukul ayah lagi?"    Ia mengangguk pelan.    "Kamu kesini...    "Ini pesanannya."    Ucapanku terpotong tepat ketika sang apoteker itu datang dan memberikan pesanan kami.    "Obat olesnya biar saya juga yang bayar mbak," ujarku, lalu mengeluarkan uang dari dompetku.    "Nggak usah kak," elak Vikar.    Aku tak menggubrisnya.    "Mbak, boleh minta kertas sama minjem pulpen nggak?" tanyaku, dan ia mengangguk, lalu memberiku selembar kertas dan sebuah pulpen. Aku menulis sesuatu di atas kertas kosong itu, dan setelah selesai aku mengembalikan pulpen itu dan memberikan kertas yang telah kutulis pada Vikar.    "Kalo ada apa-apa lagi, telpon kakak," ujarku padanya.    Dan Vikar mengangguk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD